Epilog

3.8K 395 124
                                    


"Sayang, kamu bisa bawa kotaknya ke sini?"

Rylie tersentak dan buru-buru menoleh ke arah datangnya suara. Mama kini melambaikan tangan padanya. "Ah, iya, Ma."

Rylie buru-buru menjejalkan kembali ponselnya ke dalam saku celana dan mengambil kotak yang diperintahkan oleh mamanya. Setelahnya dia menaruh kotak itu bersama tumpukan lain di dalam mobil yang akan mengangkutnya ke lokasi tujuan.

"Kamu sudah siap?"

"Iya, Ma."

"Kita mulai sekarang dan jangan lupa tersenyum ya, Sayang!"

Rylie mengangguk sambil menatap tumpukan barang yang kini ada di beberapa mobil pick up. Tangannya mengepal dan dia menguatkan tekad. Semuanya memang seharusnya begini. Mama menepuk pundaknya dan tersenyum seolah-olah sedang mengatakan kalau Rylie sudah melakukan tindakan yang benar. Setelahnya wanita itu menggandeng tangannya dan mengajaknya untuk masuk ke dalam mobil.

"Rylie!"

Saat suara panggilan itu terdengar, Rylie langsung menoleh. Ivar berlari cepat dengan napas memburu. Pemuda itu menyapa Mama sambil memasang senyum terbaiknya. Akan tetapi, Mama tidak menyambut sapaan Ivar sama sekali. Mungkin banyak kejadian yang menimpanya. Perundungan tim basket sampai insiden dirinya yang mencoba terjun dari atap masih membuat mamanya marah. Meski akhirnya putrinya tidak mati karena jatuh di kasur penyelamat setelah Ivar mengulur waktu di atas sampai kasur penyelamat itu siap digunakan, tidak membuat kesalahan pemuda itu berkurang. Walaupun Ivar juga ikut terjun bersama Rylie saat itu, tetap tidak meluluhkan hati wanita itu. Ivar sudah mengunggah rekam medis dan diagnosis dokter soal kondisi Sofi yang selama ini disimpannya. Pemuda itu juga meminta maaf berkali-kali sejak hari itu, hanya saja orang tuanya tetap membenci pemuda itu. Meski begitu, wanita itu memberikan waktu bagi Rylie dan Ivar agar bicara berdua asal tidak lama-lama.

"Kamu sudah mau pergi?"

"Iya, mau ke yayasan."

"Lho kupikir kamu jadi pindah hari ini?"

"Minggu depan."

"Ah, iya. Minggu depan," sahut Ivar nyaris terdengar sedih.

"Kenapa? Kamu masih ingin aku mati?"

"Jangan bercanda hal mengerikan begitu, Ry!" Kelopak mata Ivar langsung melebar seketika. Bibirnya juga terlihat gemetar.

"Iya, maaf."

"Aku yang minta maaf karena semua ini salahku."

"Maafin juga, aku udah nuduh kamu soal kejadian di lapangan basket itu," sahut Rylie tulus. Dia baru tahu setelahnya kalau perundungan di lapangan basket itu di luar kehendak Ivar dan pemuda itu sama sekali tidak tahu menahu soal itu.

"Bukan salahmu juga, Ry."

"Jadi gimana nasib tim  basket kalian?"

"Dibubarin."

"Ah, aku ikut sedih, Var."

"Tapi, itu memang salah kami sendiri kok, Ry. Masih syukur mereka enggak dikeluarin," katanya sambil menggaruk rambutnya.

"Lalu, apa rencanamu?"

"Mungkin aku tetap sekolah di sana."

"Setelah semua yang terjadi?"

"Iya," sahut Ivar sambil mengangguk.

"Apa kamu ingin aku tetap tinggal?"

Pemuda itu langsung mengangkat pandangannya dan menatap Rylie lekat-lekat. Kepalanya menggeleng cepat. "Kamu harus pergi!"

"Kamu ngusir?"

"Bu—bukan, aku cuma pengen kamu ngelupain semua ini!"

"Tapi, kamu pilih tinggal?"

Ivar menggangguk. "Aku hanya berharap dengan begini, aku bakal jadi salah satu kenangan baik di tempat terburukmu."

"Ngarep!"

"Aku terlalu berharap ya?"

Rylie menyentuh tangan Ivar dan memandangi pemuda itu lekat-lekat. "Aku akan berusaha."

Pemuda itu tersenyum sekali lagi. Senyuman tertulus yang pernah dilihatnya selama ini. Rylie mengarahkan jemarinya dan mengusap kepala Ivar. "Terima kasih," ucap pemuda itu.

"Kamu enggak bawa cokelat sekarang!"

"Tapi, kamu jawabnya tidak terus!" keluh Ivar.

"Kalau begitu, kamu harus nunggu aku sampai mau jawab iya."

"Oke, ini lampu hijau ya!"

Rylie tersenyum sementara Ivar tergelak. "Kuning dulu deh."

"Kalau kamu kembali nanti, kuharap jawabanmu jadi iya," katanya.

"Mungkin aku lama akan kembali."

"Enggak apa-apa, aku tetep nunggu sampai kamu mau maafin aku. Aku juga akan usaha ekstra keras buat dapatin hati calon mertua," katanya.

"Idih, old soul!"

"Biarin!"

"Kalau kamu mau lebih cepet kamu nyusul aku ke New Haven!"

"Serius!"

"Kalau kamu mampu!"

"Ngejek. Tapi, aku akan usaha. Jadi percaya sama aku!"

"Aku percaya kok. Jadi berbahagialah selama aku enggak ada, Ivar Prabaswara!"

"Kamu juga, Rylie. Tetaplah hidup dan bahagia!"

Siapa sangka semua jadi seperti ini. Mungkin benar kata Ivar untuk tidak sembarangan bicara, karena satu atau dua patah kata bisa menghancurkan hidup orang lain. Meski niatnya baik, itu sama sekali tidak membuatnya memiliki validasi untuk hal semacam itu. Papanya juag benar, banyak kejadian yang sepertinya terlihat besar, akan tetapi hanya secuil dari kehidupan. Jika dia memilih mati dan menyerah maka semuanya tidak akan ada jawabannya. Untuk itu,dia harus tetap hidup untuk melihat hasilnya.

Pada akhirnya dia hanya perlu jadi Pandora yang hanya bisa menggenggam harapan meski sudah melepaskan banyak malapetaka. Dia berniat membagi harapan itu ke semua orang sekali lagi. Tanpa menghakimi dan sok-sok-an memberi solusi. Rylie tersentak kala ponselnya bergetar. Dia membuka akun instagram dan ada satu pesan masuk. Dia mengetik pesan balasan dengan cepat sementara bibirnya mengulum senyuman.

"Hai, Sweetheart, ada yang bisa MinTalk bantu. MinTalk akan dengarkan semua masalahmu."




Note:


Alhamdulillah akhirnya SweetTalk selesai, dengan tambahan 6 buah side story dari Ivar. Semoga bagian itu menjelaskan sedikit hal yang enggak tersampaikan dari bukunya ya.

Terima kasih banyak udah nemenin Ivar dan Rylie selama ini. Love you all, kirim peluk jauh


Btw, hari ini baru bikin grup wa baru nih, buat ngobrol santuy saja sih. Namanya Jaspiner, kalau mau gabung boleh banget ya. Buat yang mau gabung, feel free to join us, di link ini ya: bit.ly/Jaspiner

atau klik link di bio aja ya.

SweetTalkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang