Mungkin bagi orang lain, dirinya adalah matahari lalu Sofi seperti bulan. Redup, tidak bersinar, kadang terlihat saat malam dan menghilang sepenuhnya kala siang. Padahal matahari pun menghilang ketika senja datang, tetapi manusia mencari pembenaran semua klaimnya dengan teori sains kalau bulan memantulkan sinar matahari. Hanya perantara dan tidak sepenuhnya berguna. Dengan cara seperti itu, manusia menganggap remeh bulan. Seperti Sofi yang hanya terlihat oleh beberapa orang yang peduli padanya dan diabaikan oleh orang-orang lain.
Namun, perumpamaan paling tepat bagi Ivar bukanlah bulan dan matahari, tetapi planet dan satelitnya, Jika dirinya adalah planet maka Sofi adalah satelitnya. Sepupunya itu mungkin tidak terlihat bagi orang lain, hanya kompartemen planet yang tidak penting. Tetapi, layaknya planet yang mengenali setiap satelit yang bergerak pada orbitnya, Ivar tahu betapa berharganya Sofi. Meskipun untuk orang lain Sofi setidak penting satelit tidak bernama yang tidak tercatat dalam buku astronomi manapun, bagi Ivar gadis itu sepenting fungsi satelit untuk melindungi planet. Sofi adalah pelindungnya, jimat keberuntungan sekaligus sumber senyumnya.
"Kalau kamu planet maka aku lubang hitam," kata Sofi sambil memainkan joystick di tangan dan mencoba melawan Ivar yang kini menatap layar dengan tangan sibuk.
"Kenapa lubang hitam sih? Meromantisasi?" tanya Ivar setengah hati sambil terus memainkan stick permainan di tangannya. Dia masih mencoba menendang dan memukul karakter yang dimainkan oleh Sofi.
"Karena aku ingin lenyap."
Lagi. Ivar mencoba menahan desahan. Obrolan soal kematian ini tidak pernah membuatnya jadi terbiasa meski beberapa kali pun dibicarakan. Sebal dan putus asa di saat bersamaan. Mau marah tidak menyelesaikan masalah, menasehati tidak akan didengarkan. Bukan salah Sofi, tetap menyalahkan penyakit mental sialan itu tidak artinya, akhirnya Ivar hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri yang tidak pernah becu menjaga sepupunya.
"Lewat lubang hitam?" tanya setelah berhasil menenangkan dirinya sendiri.
"Iya."
"Bagaimana kalau lubang hitam enggak melenyapkanmu?" tanya Ivar sambil melirik sepupunya.
Sofi menarik napas lalu menatap langit-langit. Matanya menerawang. "Entahlah."
"Coba pikirkan ulang kalau lubang hitam bukannya melenyapkanmu, tapi membawamu ke dimensi lain yang buruk dari ini. Apa kamu masih berminat masuk ke dalamnya?"
"Aku enggak tahu jawabannya."
"Cobalah mencari tahu dan selama itu, aku akan cari jalan keluar agar kamu enggak ke lubang hitam itu."
"Memangnya kau bisa?" Sofi terkekeh pelan.
"Kalau enggak dicoba mana tahu, kan?"
"Semoga kamu lebih cepat, Var. Kamu tahu kan kalau aku enggak bisa nunggu lebih lama lagi." Bibir tipis Sofi mengulaskan senyuman.
"Jangan bercanda!" tegur Ivar, tanpa bisa menahan kekesalannya.
"Kamu tahu kalau aku serius, aku cuma berpamitan lebih awal."
Jari Ivar tergelincir dari tombol joystick kala akhirnya dia menatap Sofi lekat-lekat. Gadis itu langsung bersorak kala tokoh yang dimainkannya di video games berhasil membuat karakter milik Ivar terkapar. Namun, Ivar tidak ikut bersorak. Bibirnya bahkan tidak mampu menenun sedikit pun senyuman. Mungkin bagi orang lain, Sofi hanya meracau tidak jelas. Tetapi, Ivar tahu kalau racauan Sofi adalah kebenaran. Sepupunya juga tidak sedang mencari perhatian pada siapa pun seperti yang dituduhkan orang-orang selama ini. Kata-kata Sofi memukul kesadarannya. Dirinya sedang berkejaran dengan waktu. Dia harus cara menyelamatkan Sofi sebelum gadis itu menyerah. Meski dia tahu sepenuhnya kalau tidak ada yang bisa dilakukannya untuk Sofi. Dia juga tidak punya cara untuk menyelamatkan sepupunya itu. Itulah alasan Sofi mengejeknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SweetTalk
Teen FictionTidak ada satupun yang tahu kalau Rylie menjadi admin SweetTalk, akun instagram yang menanggapi curhatan dan memberikan saran. Namun, semua masalah dimulai ketika seorang siswa terjun dari atap sekolah setelah curhat pada Rylie di akun SweetTalk. Ry...