4

202 5 0
                                    

#ISTRIKU_BOCAH_4

Sebelumnya  https://www.facebook.com/groups/kbmfiksi/permalink/10157928394555945/

Sudah dua minggu ibu dirawat, tapi tidak ada perubahan. Kata Dokter harus di operasi, biayanya bukan main. Puluhan juta!

Dari hasil jualan rokok dan permen di lampu merah, dapat sepuluh ribu setengah hari saja sudah membuatku bahagia. Malu? tentu saja tidak! lebih baik malu daripada lapar, itulah prinsip kami sebagai anak yang kurang beruntung.

Sebenarnya aku sudah mencoba melamar kerja yang layak, seperti di warung makan, toko klontongan bahkan warung kopi. Tidak ada yang menerima pekerja paruh waktu, karna sampai jam satu siang aku harus sekolah. Kelas tiga sekolah menengah atas. Apalagi umurku saat ini masih enam belas tahun sembilan bulan. (Ngitung dah wkwkkwkw). Jadi, tidak ada yang percaya untuk mempekerjakanku, kecuali juragan pemilik dagang keliling di lampu merah.

Mendengar biaya operasi yang fantastis, langsung membuatku kejang seketika. Berkali-kali aku mencari pinjaman, tapi nihil! siapa yang mau memberi pinjaman tanpa jaminan saat ini.

Sepulang sekolah, aku langsung ke rumah sakit di temani Satria. Dia sudah kuanggap sebagai abang kandung. Rumah kami berdekatan, dari kecil dia selalu melindungiku.

"Sat, apa aku harus minjam uang sama bapakku ya?"

Satria terdiam, matanya menatapku iba. "Kalau bapakmu menolak gimana? kamu gak akan nangis kan?"

"Aku udah dewasa, gak cengeng lagi kayak dulu. Setidaknya harus kucoba," lirihku, namun sarat akan semangat.

"Maaf ya Ngel, upahku bekerja bangunan tidak mencukupi."

"Gak apa-apa, namanya juga pekerja paruh waktu. Syukur kamu diterima disana, lah aku? masih jualan jajanan di lampu merah."

"Aku temani ke rumah bapakmu ya?" tawarnya.

"Tidak usah Sat, lebih baik kamu kerjain tugas sekolahku saja. Biar besok aku gak kelimpungan lagi."

"Yaudah, ini uang untuk ongkos." Satria mengangsurkan uang dua puluh ribu.

"Gak usah Sat, lebih baik kasih ibumu saja. Aku masih punya uang kok."

Satria meraih tanganku, lalu meletakkan uang itu di telapak tanganku. "Ngel, doain saja aku sukses. Biar aku bahagiain kamu dan ibumu!" janjinya, aku tau dia mengucapkannya dengan tulus.

Dengan menaiki angkot, aku langsung ke rumah bapak. Berharap dia memberiku uang, walau harus kupinjam.

Jaraknya sekitar setengah jam, dari Grogol ke rumah Bapak. Sesampainya disana, aku langsung mengetuk pintu. Sekilas rumah ini terlihat berbeda dari sebelumnya, jadi semakin bagus. Dadaku bergemuruh saat istrinya yang membukakan pintu, senyumnya terlihat meremehkanku.

"Masuklah!" suruhnya, agak sinis.

Aku langsung masuk, ini ke empat kalinya aku kesini. Terakhir kesini saat aku butuh uang untuk membeli seragam SMA.

"Kamu datang lagi?" sapa Bapak, wajahnya datar tanpa senyuman. Dari bentuk wajahnya, bisa dikatakan kami cukup mirip.

"Iya, Pak," lirihku pelan.

"Pasti minta uang lagi, haduuuh minta terus! untukku saja masih kurang, masih mau dibagi dengan anakmu itu!" jerit istri keduanya, lebih tepatnya ibu tiriku. Ah, tidak akan pernah kuanggap! dia perebut kebahagiaanku.

Kutatap langit-langit rumah yang putih, cara agar air mataku tidak tumpah terlalu cepat.

"Butuh berapa?" tanya Bapak, tanpa menanggapi omongan istri mudanya.

ISTRIKU BOCAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang