Dihari-hari berikutnya, memang Ryu belum mabuk lagi. Namun kebiasaannya untuk pulang malam masih menempel dalam dirinya.
Malam ini Ryu tidak bersama teman-temannya yang sangat diyakini sekarang sedang melakukan balap liar.
Termenung sendirian di atas JPO menatap lalu lalang yang dihasilkan dari banyaknya orang berkendara dibawahnya dan langit malam yang tentu saja lebih mendominasi keindahan.
Ryu memangku wajahnya dengan telapak tangan yang menyangga pada pagar pembatas.
Sepertinya malam ini Ryu memilih untuk merenung sejenak ketimbang ia pergi bersama teman-temannya.
"Hidup itu hanya bagaimana kamu menjalaninya. Kamu bisa memilih gimana perjalanan hidup kamu. Yang terpenting hanya satu, jangan sampai dikemudian hari kamu menyesali pilihan kamu."
Mendalami makna kalimat tersebut, Ryu cukup tertampar. Maka ia menundukkan kepala dan mengusap wajahnya gusar.
"Seberat apapun masalah kamu, jangan sampai kamu menyerah dengan keadaan dan melawan takdir."
"Aaakhhh!!" Ryu menjambak rambutnya. Kenapa setiap malam selalu saja ia dihantui rasa bersalah padahal semua nya dimulai bukan karena kesalahannya.
Orang yang daritadi memberi wejangan beberapa kalimat menyodorkan kaleng minuman, "nih minum". Ia menyodorkan kaleng soda kepada Ryu sedangkan minuman untuk dirinya sendiri adalah larutan kaleng. "Saya gatau kamu suka minuman apa jadi saya beliin itu."
Ryu menerimanya dan segera meminumnya. Lelaki disebelahnya sekarang sudah menghadap pada hamparan langit dan pemandangan lampu jalan dan lampu mobil, sama seperti apa yang dilihat Ryu. "Saya gak tau masalah kamu apa, tapi saya mohon jangan menyerah. Kamu masih punya seenggaknya satu orang yang mau kamu buat bahagia, kan?"
Ryu menoleh, ia dapat melihat langsung wajah pria itu dari sisi kanannya karena pria itu terus menatap kedepan tanpa menoleh sedikitpun.
Pria itu meneguk minumannya kemudian tersenyum manis. Siapapun yang melihatnya pasti langsung menyukai senyumannya.
Ponsel Ryu tiba-tiba berdering saat pemiliknya sedang asyik menatap seseorang disebelahnya. Melihat siapa yang menelponnya, Ryu berdecak dan menekan tombol merah.
"Kenapa ga diangkat?" Ryu menggeleng dan memasukkan lagi ponselnya kedalam saku celana nya. "Gakpapa, gak penting."
Namun sepertinya si penelfon memaksa Ryu untuk mengangkatnya. Maka dengan penuh emosi Ryu membuka percakapan nya dengan sedikit suara tinggi "Apasih?!"
"Lo di tempat balapan?"
"Bukan urusan lo," jawab Ryu seadanya. "Kalo gak penting mending matiin telponnya."
"Lo dimana? Mau gue samperin."
"Gak perlu! Gue lagi mau mabok." jawab Ryu bohong. Ia bahkan tidak ada niat untuk pergi ke tempat berdosa itu.
"Lagi?!" sosok diseberang telpon terdengar terkejut. "Lo masih sering mabok? Gila lo ya?!"
Ryu berdecak dan menatap ponselnya nyalang seakan-akan ponselnya lah yang bicara. "Peduli apa sih lo? Berisik banget."
"Gue mau nemuin lo. Lo diem disitu."
"Cih kayak berhasil nemuin gue aja," Ryu terkekeh meremehkan.
"Lo jangan ngeremehin gue."
"Bacot!"
Tiiittt
Ryu langsung memasukkan kembali ponselnya kedalan saku. Sepertinya keputusan ia mengangkat telponnya adalah keputusan yang salah karena sekarang ia merasa sangat kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wishes
FanfictionBagaimana kehidupan Rania yang merawat dan menghadapi adiknya, Ryu, yang bagi Rania penuh dengan rahasia dimasa lalunya. Harapan besar Rania untuk mengembalikan sikap adik nya yang dulu. Namun Rania tidak pernah paham alasan Ryu menjadi yang sekaran...