VIII

37 9 0
                                    









Pening.

Itulah yang Vante rasakan saat ini, sudah dua hari ia tak bisa tidur nyenyak semenjak tragedi panggilan yang menyakitkan itu. Dan sudah dua hari pula Vante mengurung dirinya dikamar, sang Ibu berkali kali membujuknya untuk keluar sekedar mencari udara segar, namun Vante diam tak menggubris bujukan sang ibu.

Ia hanya membuka kamar nya ketika sang ibu meninggalkan makan didepan pintu kamarnya, dan itu mungkin hanya satu kali dalam sehari ia mengambil makanan, perutnya tak ada gairah untuk mencerna apapun itu. Keadaannya? jangan ditanya lagi, benar benar buruk.

Ia tak menangis, sama sekali tidak. Air matanya mengerti keadaan jiwa dan raga sang tuan, maka dari itu sang air mata tak membiarkan dirinya keluar. Namun jiwa dan raganya lah yang sakit, hati? sudah pasti. Vante berkali kali memukulkan tangannya pada dinding, menyebabkan beberapa memar.
Ia seperti orang gila saat ini, setengah hidup dan jiwa nya dibawa pergi oleh sang kekasih, tunggu, bukan kekasih lagi namun sudah menjadi mantan kekasih.

Keadaan kamarnya pun tak jauh buruk dari sang pemilik, barang berserakan, beberapa buku catatan tergeletak di lantai juga gelap. Vante tak membiarkan udara ataupun cahaya matahari masuk sedikit pun.

Sebegitunya kah? kan masih banyak wanita lain di dunia ini, jangan terlalu bersedih seperti itu.

Tidak semudah itu kawan, tujuh tahun dilewati bersama, banyak sekali momen yang telah diukir, ratusan bahkan mungkin sudah ribuan. Tentu hal ini berat bagi Vante, mengingat betapa ia selalu bergantung pada Soora. Soora itu bagaikan bayangan milik Vante, selalu ada kapan pun, disaat Vante benar benar kehilangan jati dirinya ataupun disaat paling terburuk, Soora selalu jadi penopang nya agar tidak jatuh. Tapi itu dulu, ingat dua hari yang lalu Soora memutuskan sepihak hubungan indah dan nyaris sempurna itu.

Vante tengah terduduk dilantai, punggung nya bersandar pada sisi ranjang. Ponselnya tergeletak tak jauh darinya, ia masih berusaha menghubungi Soora. Media sosial, email, semuanya namun hasilnya nihil.

Sang Ibu yang tak tega dengan kondisi sang anak pun turut membantu, namun hasilnya juga sama saja.

Vante mengusap wajahnya kasar, badannya lemas, matanya memerah, dibawah kelopak matanya pun sudah menghitam, wajah yang benar benar tak terurus.

Saat Vante hendak memejamkan matanya, sebuah nada dering dari ponsel miliknya menginterupsi rungunya. Meraih ponselnya yang tergeletak lantas melihat nama yang tertera disana, nomor tak dikenal.

Vante menghela napas kecewa, lantas menjawab panggilan tersebut.

"Ha-" belum selesai ia menyapa, suara dari seberang memutus sapaan nya.

"ini aku yungi"

Membelalakkan matanya tak percaya, Vante seketika menegakkan badannya.

"H-hyung?"

*****

Disinilah Vante sekarang, Incheon International Airport. Setelah pagi tadi ia mendapat panggilan dari Yungi, ia segera membersihkan dirinya lantas memesan tiket pesawat menuju korea saat itu juga.

"Jika pekerjaanmu disana telah selesai, datanglah kembali ke Korea jika ingin tahu yang sebenarnya terjadi" Lalu panggilan itu diputus oleh Yungi.

Itulah yang dikatakan Yungi pagi tadi, yang membuat Vante segera melakukan penerbangan menuju Korea. Ia tak banyak membawa barang, hanya sebuah tas berukuran sedang yang tersampir apik di bahunya.

Tak membuang waktu, ia segera mengirim pesan kepada Yungi

Hyung, aku sudah di Korea.

La Perfection De L'amour [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang