“Baru kali ini aku melihatmu begitu cantik. Dan aku menyesal karena tak menyadarinya sejak dulu.”
--Chandra Mallory Dirgantara--
***
“Itu... Em... dia---”
“Kenapa? Bicaralah yang jelas!” perintah Pak Anjas cukup gemas dengan ucapan Kanaya yang terbata-bata.
“Dia yang menyebabkan saya terlambat, Pak”
“Maksud kamu?”
Guru olahraga itu kembali tidak memahami dengan ucapan salah satu siswinya yang berbelit-belit. Sampai-sampai dia mengerutkan dahi berkali-kali.
“Seragam saya kotor dan basah karena dia. Ketika saya berjalan menuju sekolah, mobilnya menginjak genangan air dan mengenai saya. Tapi, dia malah pergi begitu saja. Saya akhirnya kembali lagi ke rumah untuk mengganti pakaian dan akhirnya terlambat datang ke sekolah,” jelas gadis itu panjang lebar. Dia benar. Chandra juga bersalah dalam hal ini. Sebenarnya, gadis itu tidak berharap akan terlepas dari hukuman ini. Dia hanya menginginkan balasan yang setimpal bagi orang yang bersalah tapi tidak mau meminta maaf, seperti laki-laki menyebalkan itu misalnya.
Pak Anjas yang semula fokus mendengarkan penjelasan Kanaya kemudian menoleh ke arah Chandra. “Benar begitu Chandra?”
“Benar,” jawab laki-laki yang dianggap menyebalkan oleh Kanaya singkat.
“Baiklah. Kamu mendapatkan hukuman yang sama seperti Kanaya dan Barra.”
Mendengar hal itu, Kanaya langsung tersenyum lebar lalu menjulurkan lidahnya ke arah Chandra dan tertawa puas. Akhirnya, dia mendapatkan balasannya. Batinnya.
Sementara Chandra, hanya menunduk lalu menghela napas berat dan mengacak rambutnya frustasi. Dia baru tahu, ternyata selain cerewet dan berisik Kanaya juga pandai mengadu.
“Tapi, bagaimana kamu bisa masuk? Bukankah gerbangnya sudah ditutup?” tanya Pak Anjas. Dia menatap gadis itu dengan tatapan menelisik.
Gadis itu hanya mampu menjawab pertanyaan sang guru dengan deheman saja. Dia bingung harus berkata apa. Jika dia mengatakan yang sebenarnya, kemungkinan besar Barra akan berada dalam masalah.
“Maaf, Pak. Jadi pelajaran olahraga?” sela Anwar dengan tatapan bodoh. Hal itu membuat gelak tawa seluruh murid kelas 12 IPS 1 pecah.
Seorang Anwar memang sangat lihai mengundang gelak tawa teman-temannya. Bukan karena perkataannya yang lucu, melainkan karena raut wajah polos dan tingkah konyolnya yang dia bawa sejak lahir. Disamping itu, laki-laki yang kerap disapa Anwar tersebut merupakan sosok yang imut dan menggemaskan. Apalagi lesung pipit yang dia miliki, cukup membuat orang-orang ingin mencubiti pipinya gemas.
“Ah, hari ini kalian olahraga mandiri tentang basket,” tuturnya memberi informasi. “Dary, tolong kamu pandu teman-teman kamu!” lanjutnya. Kebetulan, hari ini dia ada kepentingan yang tidak bisa ditunda. Jadi, dengan terpaksa laki-laki yang berusia sekitar tiga puluh tahunan itu tidak bisa mendampingi muridnya dalam mata pelajaran olahraga kali ini.
“Siap, Pak,” balas Dary si ketua kelas dengan ujung telapak tangan menepel di pelipis, seolah-olah sedang hormat kepada pembina upacara.
Pak Anjas hanya mengangguk lalu menjauh, meninggalkan area sekolah. Kanaya menghela napas lega setelah melihat sang guru pergi dan tidak menunggu jawaban darinya. Jujur saja, jantungnya berdebar sangat kencang saat ditanyai oleh Pak Anjas. Bukan karena jatuh cinta, tapi lebih tepatnya karena takut dan segan.
***
Peluhnya mengucur deras membasahi dahi dan rambutnya. Punggungnya yang kekarpun juga mengeluarkan keringat yang membuat seragamnya sedikit basah. Namun, entah kenapa hal itu membuat ketampanan laki-laki itu bertambah.
“Ini semua salahmu!” tukasnya kepada gadis yang sedang berdiri dengan sikap hormat di sampingnya.
Seolah mengerti dengan perkataan Chandra barusan, Kanaya sontak melirik tajam dan mengibas-ibaskan tangannya yang mulai terasa kebas. “Apa maksudmu? Bukankah kamu yang membuat aku terlambat?”
Chandra menyeringai. “Aku?”
“Tentu saja. Kalau saja aku tidak bertemu denganmu, pasti kesialan ini tidak akan terjadi padaku. Dan kamu juga tidak akan ikut dihukum seperti ini,” balasnya lalu kembali bersikap hormat.
“Terserah. Kembalikan uangku!” pinta Chandra menyodorkan telapak tangan kirinya sembari melirik tak acuh ke arah Kanaya. Sementara tangan kanannya masih dalam posisi hormat.
“Kalau akhirnya diminta kembali, kenapa kamu memberikannya?”
“Kalian bisa tenang tidak? Sebenarnya ada apa ini?” sela Barra yang sedari tadi bergeming.
“Tidak usah ikut campur!” sahut Chandra dengan kalimat sarkasme.
“Dasar cecunguk,” cibir Barra singkat. Dia memutuskan untuk diam, tak peduli dengan apa yang sedang dibicarakan oleh kedua manusia yang tidak pernah akur ini.
“Ini. Aku tidak butuh uangmu!” Gadis itu menaruh uang yang berada di dalam saku bajunya ke telapak tangan Chandra.
Laki-laki itu hanya diam lalu mengantongi uang tersebut. Sebenarnya, dia tidak berniat untuk memintanya kembali dari gadis seperti Kanaya. Dia hanya ingin tahu saja, apakah Kanaya mau mengembalikannya atau tidak. Itu saja. Setelah beberapa detik tenggelam dalam lamunan, Chandra menoleh lalu menatap Kanaya lekat. Baru kali ini dia merasa gadis yang sedang dia tatap itu begitu cantik. Wajah bulat dan bibir merah merekah milih gadis itu mampu membuat pria dingin dan angkuh seperti Chandra mulai meliriknya.
“Chandra... Kamu sedang apa?” ucap Kanaya salah tingkah setelah memergoki laki-laki yang sedang berdiri di sampingnya sedang menatapnya.
Chandra yang terkejut, kemuadian mengalihkan pandangannya dan diam mematung. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Jantungnya seketika berdegup kencang yang membuat dadanya sedikit sesak.
Tet... Tet... Tet...
Mereka bertiga sontak menurunkan tangannya ketika mendengar bel sudah berbunyi. Helaan napas lega terdengar dari ketiganya.
“Nay, ayo!” Barra menggandeng tangan gadis itu tanpa permisi membuat Kanaya tersenyum kaku. Laki-laki itu berjalan sambil menarik tangan gadis yang masih berdiri mematung, namun kemudian dia berhasil mensejajarkan langkahnya.
“Tunggu!”
Kanaya berhenti melangkah ketika seseorang mencekal tangannya. Gadis itu kemudian menoleh ke belakang.
“Kamu? Ada apa?”
---B E R S A M B U N G---
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Long Dream With You [On Going]
Short StoryShort Story Kanaya Birdella. Gadis berparas cantik dan sederhana dengan latar belakang keluarga yang kurang harmonis. Sejak ibunya meninggal, dia kerap memimpikan hal aneh. Dia, mempunyai kemampuan untuk bertemu dengan seseorang yang sedang berada d...