L D W Y - Part 06

9 4 0
                                    

Wanita itu berharga. Mereka pantas untuk mendapatkan perlindungan.”

--Chandra Mallory Dirgantara--

***

Beberapa detik memandang lekat wajah cantik milik wanita itu, lelaki itu mulai menyentuh leher wanita tersebut lalu berusaha membuka kancing baju berwarna maroon miliknya. Wajah mesumnya kini benar-benar terlihat mendominasi.

“BERHENTI!!!” Chandra memekik yang membuat seluruh laki-laki mesum tersebut kaget dan beralih mencari sumber suara. Sedangkan wanita berbaju maroon itu mengancingkan beberapa kacing pakaiannya yang sempat terbuka, akan tetapi posisi tubuhnya masih terbaring di tanah. Salah satu laki-laki yang sedang berbaris tadi menghampirinya dan meletakkan tangannya di lehernya seakan ingin mencekik.

Mulai merasa takut, Kanaya refleks memegang lengan Chandra yang sudah berada di samping pohon. Dasar bodoh. Kenapa kamu bersuara. Gumamnya menyerapahi Chandra dalam hati. Sedangkan gadis itu sendiri masih bersembunyi di balik punggungnya. Ah, kenapa dia melakukan hal ini? Sungguh memalukan. Sejak kecil dia dikenal sebangai orang yang pemberani, tapi entah kenapa kini tulang-tulangnya terasa melembek dan nyalinya berkurang delapan puluh persen ketika melihat wajah seram para laki-laki itu.

Seseorang yang dipanggil 'bos' tadi memicingkan mata melihat seseorang yang tertangkap basah terlihat sedang menguntitnya dari balik pohon, semua anak buahnya pun sama.

“Siapa kalian?” tanyanya sambil bangkit dari posisi jongkoknya dan menghampiri mereka berdua. Merasa seseorang yang hampir mencekiknya pergi, si wanita pun ikut bangkit dan duduk sambil memeluk kedua kakinya ketakutan.

Mendengar suara berat itu, Kanaya mengeratkan pegangannya kepada Chandra yang membuat laki-laki yang bisa dibilang tampan itu menoleh ke belakang.

“Tidak apa-apa,” ucapnya dengan tatapan dingin andalannya.

Satu pukulan mendarat di wajah Chandra ketika dia kembali menghadap ke depan membuat bibirnya mengeluarkan darah segar. Tidak banyak, tetapi cukup membuatnya meringis menahan perih.

“Apa kalian mencoba menguntit?” ucapnya sambil berkacak pinggang. Dia melayangkan tatapan marah kepada seseorang yang mengganggu ketenangannya.

Dengan pelan, Chandra mengusap darah yang mengalir dari bibirnya lalu tersenyum miring.

“Kalau iya kenapa?”

“Brengsek!”

Plak

Satu pukulan kembali melayang membuatnya kembali mengangkat salah satu ujung bibirnya. Dia tidak akan membalas pukulan laki-laki mesum itu sebelum para anak buahnya ikut melawan. Kali ini dia cukup lihai dalam mengontrol emosinya.

“Cukup, Bos Roy!” celetuk salah satu anak buah itu yang dihadiahi tatapan tajam dari Roy. Tatapan laki-laki berperut buncit tersebut seakan-akan bertanya mengapa anak buahnya mengatakan hal demikian. “Biar kami yang urus,” sambungnya kemudian.

Ketika anak buah Roy hendak melangkah maju, mereka sontak berhenti karena perkataan lantang Chandra. “Lepaskan wanita itu setelah aku menghabisi kalian!”

Sebagai teman sekelas yang baik, Kanaya mulai bersuara berharap agar lelaki itu menarik kata-kata yang barusan keluar dari mulutnya.

“Chandra, cukup! ini akan membahayakan kita,” bisiknya lirih namun masih terdengar.

“Dengar, aku akan menghadapi mereka dan kamu bawa wanita itu pergi. Jangan menolak!” katanya yang masih menghadap ke depan namun hanya dibalas helaan napas berat dari gadis di belakangnya.

“Baiklah, tapi kamu juga harus menyerahkan wanitamu jika kamu kalah,” sahut Roy lalu tertawa puas.

“Menjijikan.”

Chandra dengan penuh keberanian maju dan perkelahianpun akhirnya dimulai.

***

Dengan sekuat tenaga, Kanaya berlari sambil menarik tangan seorang wanita. Tidak penting kemana tempat yang akan dia tuju untuk sekarang ini. Yang terpenting dia harus segera menyelamatkan wanita itu sebelum para brandalan mesum tadi menyadari kepergian mereka berdua.

Gadis itu tidak peduli selecet apa kakinya karena berkali-kali menginjak rongga di tanah kering dan keras ini. Meskipun peluh membanjiri tubuh dan wajahnya namun lagi-lagi dia tidak memperdulikannya.

“A—aku lelah,” bisik wanita itu lirih sedikit merintih, laju larinya pun hampir terhenti.

“Kita tidak punya waktu sekarang. Ayo lari!”

Mereka kembali berlari dengan sisa energi yang dimiliki dan nafas yang terengah. Sampai akhirnya berhenti di bawah pohon rindang. Jujur saja Kanaya baru menemui pohon berdaun sejak memasuki kawasan hutan.

Dengan jantung yang berdesir hebat Kanaya berusaha mengatur napasnya kembali kemudian menelan salivanya pelan untuk membasahi teggorokannya yang sudah mengering. Masih sedikit terengah, kanaya menoleh ke arah wanita yang sedang duduk bersandar pada batang pohon di sampingnya. Wanita tersebut terlihat memejamkan matanya, entah hampir pingsan atau pun sudah pingsan Kanaya tidak tahu.

Ketika pandangannya masih jatuh di wajah wanita itu, derapan langkah terdengar. Hal itu tentunya membuat jantungnya kembali berdetak cepat. Apakah itu Roy dan anak buahnya? Atau siapa?

Saking takutnya,  gadis itu memejamkan matanya dan menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangannya. Sampai akhirnya derapan langkah itu mendekat dan seperti berhenti di hadapannya.

Beberapa detik kemudian suara khas dari seseorang terdengar.

“Kamu tidak ap—”

Ucapan seseorang tersebut terpotong akibat Kanaya menabrak kalimatnya.

“Jangan ... jangan mendekat!” serunya sembari menggeleng-gelengkan kepala.

“Hei, ini aku.”

Setelah mendengar suara itu gadis itu membuka matanya yang masih tertutup oleh telapak tangannya. Pelan-pelan jarinya membentuk celah dan dia mengintip seseorang itu melalui sela-sela jarinya tersebut. Helaan napasnya kembali terdengar membuat seorang lelaki di depannya memutar bola matanya.

“Kamu baik-baik saja, kan?” tanya lelaki itu sambil berkacak pinggang.

“Iya. Kamu mengagetkanku,” sebal Kanaya dengan memasang raut wajah datar.

Chandra menghela napas kasar lalu duduk di samping Kanaya dan meluruskan kakinya. Kedua tangannya diluruskan ke belakang untuk menopang tubuhnya.

“Hei, itu dia!”

Ketika mendengar teriakan seseorang dan langkah kaki segerombolan manusia, mereka bertiga sontak bangkit dan berlari. Untungnya wanita itu tidak benar-benar pingsan tadi.

Setelah sekitar lima belas menit berlari, Chandra memberanikan diri untuk melihat kondisi di belakangnya. Dan ternyata Roy dan anak buahnya tidak terlihat, mungkin tertinggal agak jauh.

Dorrr

Deru tembakan terdengar nyaring di telinga membuat Chandra Refleks menghadap ke belakang. Jantungnya berdegup tak terkendali, tangannya mengepal dan rahangnya mengeras menahan amarah yang bergejolak di dadanya.

“Tepat sekali,” gumam Roy sambil meniup ujung pistolnya lalu tersenyum miring melihat pelurunya melesat tepat sasaran.


--BERSAMBUNG--

***

Long Dream With You [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang