L D W Y - part 10

7 1 0
                                    

Aku tidak mampu mengartikan perasaanku. Sangat sulit dimengerti.

--Barra Rafeyfa Zayan--

***

Wanita itu bernama Angel. Ya, wanita yang sempat datang di mimpi Kanaya. Parasnya yang rupawan dengan senyuman serta perkataan yang lembut memang pantas disebut malaikat.

Setelah mengarungi hal yang menegangkan bersama di alam mimpi akhirnya mereka kembali bertemu di dunia yang sesungguhnya. Entah takdir dari tuhan atau hanya sebuah kebetulan, yang pasti mereka sama-sama senang bisa bertemu kembali. Apalagi Angel yang selalu berterimakasih seakan Kanaya yang benar-benar menyelamatkannya dari jurang kematian. Apakah wanita itu tidak percaya dengan adanya takdir?

Semenjak pertemuan ke dua mereka di rumah sakit, Kanaya dan Angel menjadi dekat layaknya kakak beradik. Beberapa minggu belakangan mereka sering kali bertemu dan berbincang mengenai masalah yang sedang mereka hadapi. Rasa sungkan yang ada di antara mereka seakan terkikis seiring berjalannya waktu. Kanaya senang akhirnya ada seseorang yang bersedia menjadi tempat bercerita untuknya selain mendiang ibunya.

Bel pulang sekolah sudah berbunyi sekitar lima belas menit yang lalu. Kanaya memilih berdiri di halte depan sekolah karena tempat duduk di sana sudah penuh.

“Nay, kamu sedang menunggu siapa?” tanya Anggun-teman sekelas Kanaya.

Senyum Kanaya mengembang. “Em, aku menunggu kakakku,” jelasnya kemudian kebali menatap jalanan. Sebegitu sayangkah Kanaya dengan Angel sampai-sampai dia menganggapnya sebagai kakak?

Beberapa menit berdiri sambil memperhatikan jalan raya di depannya, akhirnya mobil Angel datang juga. Kanaya pun sontak berpamitan dengan Anggun yang berdiri di sebelahnya lalu masuk ke dalam mobil.

“Nay, bagaimana sekolah hari ini?” tanya Angel berusaha mencairkan keheningan.

Kanaya menoleh setelah selesai memasang seatbelt-nya. “Lancar, kak. Kenapa repot-repot menjemputku?”

Angel terkekeh pelan lalu berkata, “Aku sedang senggang saja. Mau membeli milkshake?” sahutnya sambil menatap penjual milkshake melalui kaca mobil di sampingnya.

Kanaya hanya mengangguk. Dia memilih menunggu Angel membeli milkshake cokelat kesukaannya sembari memainkan ponselnya berharap dapat mengusir kejenuhan yang tercipta.

***

“Nay,” panggil seseorang dari belakang sana.

Kanaya yang sedang sibuk menyiram tamaman pun sontak membalikkan badan. "Ada apa? Tumben ke sini," sahutnya sambil tersenyum ramah.

Seseorang itu membalas tersenyum dengan gigi putih rapinya yang terlihat. “Aku ingin mengajakmu jalan-jalan.”

Kanaya meletakkan gembor yang sedari tadi dia pegang. “Tapi ak-u.” Barra menarik tangan Kanaya begitu saja kemudian menggenggamnya tanpa persetujuan sang pemilik.

“Barra!” pekik Kanaya sambil melepaskan tangannya dari pegangan lelaki itu.

“Kenapa, Nay? Kan kita sudah sering melakukannya waktu kecil,” jelas Barra yang membuat keduanya teringat kepada masa kecil mereka.

Barra dan Kanaya waktu itu baru berusia sekitar delapan tahun. Mereka berdua memang bertetangga dan sangat akrab dulunya. Pagi itu, mereka berjalan berdampingan dengan tangan yang bertautan. Sesekali, mereka berlari-lari kecil dan bercanda bersama. Kanaya sangat senang waktu itu karena Barra mengajaknya ke taman yang penuh dengan bunga-bunga indah. Wajahnya berseri dan sering kali gadis itu memetik bunga di sana dan membawanya pulang.

“Tapi itu dulu, Bar. Sekarang berbeda,” ucap Kanaya memecah keheningan yang tentunya membuat lamunan Barra buyar.

“Iya aku tau,” Barra menautkan kembali tangannya pada tangan Kanaya. Gadis itu hanya diam saja kali ini, tak berusaha menipis genggaman Barra lagi. Jujur saja, sangat risih jika bergandengan tangan seperti ini. Lagi pula mereka tidak mempunyai hubungan apapun.

Memang benar Barra sejak dulu sering kali memberikan perhatian lebih kepada Kanaya. Tapi gadis itu tidak berpikir terlalu jauh. Dia mengira bahwa perhatian Barr sama seperti kasih sayang kakak kepada adiknya. Mengingat dulu waktu kecil lelaki itu sangat menyayangi Kanaya seperti adik kandungnya sendiri.

Beberapa menit berjalan, mereka berdua sampai di taman yang tak asing di mata Kanaya. Ya, ini adalah taman yang pernah mereka berdua kunjungi sewaktu kecil. Gadis itu tertegun. Dia bertanya dalam hati apa tujuan Barra membawanya kemari?

Senyuman Barra mengembang. Dia mengajak gadis yang sedang berdiri di sampingnya tersebut duduk di kursi besi panjang berwarna putih di sebelah kirinya. Lelaki itu memandang Kanaya lekat. Sedangkan Kanaya sendiri malah diam saja dengan pandangannya yang jatuh ke arah air mancur di tengah-tengah taman.

“Nay.”

Kanaya tersadar dari lamunannya kemudian menoleh ke arah Barra.

Melihat Kanaya menatapnya membuat lelaki itu gugup. Kata-katanya yang sudah dia susun jauh-jauh hari tertelan kembali, membuatnya mengurungkan niatnya untuk mengatakan hal yang baginya begitu penting kepada Kanaya. Jantungnya berdetak sangat kencang. Mungkin, Kanaya bisa mendengarnya jika mendekat beberapa senti lagi.

“Kenapa?” tanya Kanaya secara tiba-tiba membuat Barra salah tingkah sendiri.

Barra menggeleleng. "Bagaimana perasaanmu sekarang setelah mengunjungi tempat ini lagi?" tanyanya berusaha memecah kegugupannya.

“Em, cukup senang. Ngomong-ngomong kenapa kamu membawaku ke sini?”

Desahan kecewa terdengar dari mulut Barra. Jawaban dan ekspresi Kanaya tidak seperti yang dia harapkan. “Em, aku hanya ingin mengenang masa kecil kita dulu. Tidak lebih,” dalih Barra. Sebenarnya dia tidak sepenuhnya berbohong. Memang benar dia bermaksud untuk mengenang masa kecilnya yang indah itu bersama Kanaya. Namun, juga ada maksud yang lain lagi. Tapi dia mengurungkan niatnya untuk memberi tahu Kanaya yang sebenarnya. Dia rasa ini belum waktunya.

Kanaya hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. Pelan-pelan dia menghirup udara pagi yang menyejukkan. Dia sangat menyukai udara pagi hari, ditambah lagi aroma bunga mawar di sampingnya membuat suasana hatinya menjadi tenang.

Melihat Kanaya yang sedang menikmati keindahan taman ini, Barra tersenyum senang. Dia kembali memandang lekat Kanaya dari samping kemudian meletakkan lengannya di kepala kursi. Lelaki itu hendak merangkul Kanaya dari belakang, namun dia kembali mengurungkan niatnya.

“Kalian di sini?” tanya seseorang yang membuat Kanaya dan Barra secara bersamaan menoleh ke belakang.


--BERSAMBUNG--

Long Dream With You [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang