Part 17

3 1 0
                                    

Seiring berjalannya waktu, cita-cita pun berubah. Ingin menjadi seorang reporter, ternyata hanya sebatas ingin. Semua melarang mewujudkan. Lantas untuk apa bersekolah tinggi?

Hari ini adalah hari pertama Zira bekerja. 

“Memangnya Zira kerja untuk apa? Toh, kalo mau apa-apa tinggal bilang Fattah aja, bukan?”

“Ah, nggak enak, Mas. Mas Fattah tuh harus nabung buat nikah. Kasihan kalo Zira minta terus.” Zira mengumpulkan piring dan gelas kotor. Sedangkan Khabab membersihkan meja dengan kain lap. 

Khabab tersenyum simpul. “Zira terlalu banyak berpikir tidak enak.” 

“Ya, begitulah. Masa jadi parasit selalu, Mas, hehehe ....” Zira membawa beberapa piring dan gelas kotor ke belakang. 

Khabab mengedar pandangan, tampak ada pengunjung baru. Lelaki itu mendekat menyambut mereka dengan hangat dan bertanya menu yang akan dipesan. 

Di dapur Zira tampak akrab dengan karyawan lain. 

“Biasanya Kakak jadi pengunjung. Lah, sekarang jadi pelayan,” ledek gadis berambut dikucir. Memakai seragam yang sama dengan Zira yaitu warna hitam, namanya Rania. 

“Hidup itu ibarat roda,” sambung yang lainnya sembari menyenggol pinggal Rania. 

“Dan kita harus ikhlas ditempatkan di mana pun,” tukas Rania lagi. 

“Nah, itu tau. Tidak ada tempat yang baik dan tidak ada tempat yang buruk,” tutur Zira. Ia mencuci piring bersama Rania. 

“Hai, Dik, namaku Gia.” Mengulurkan tangan ke arah Zira mencoba bersalaman. 

Fatia, gadis di samping Rania sudah terlanjur tertawa melihat lelaki bernama Gia itu. Dengan gaya ala-ala perempuan ciri khasnya. 

“Eh! Jauh-jauh sana! Bagian elu tuh bersama Mas Khabab bukan di sini.”

“Masalah buat you apa? Gua mau kenalan sama dia. Eneg banget liat Si Nek Lampir ini,” ketus Gia menatap Rania sinis. 

“Udah-udah!” seru Zira meleraikan. 

“Cuma becanda, Kak,” ujar Fatia, “kami tuh udah sering begini, kadang berebut untuk menyambut pelanggan yang tampan.”

“Itu elu kali,” bantah Rania. 

Khabab tampak berjalan ke arah mereka. Sekejap dapur berubah hening. Fatia menyikut lengan Zira. “Si Mas itu tampangnya dingin beud.”

Khabab pun tersenyum ke arah mereka. 

“Es krim, Fat, es krim,” kode Rania. Maksudnya meleleh dengan senyum Khabab. 

“Zira,” panggil Khabab. Sekarang sudah berada di samping Zira. Mata gadis di samping Zira membulat. 

Khabab memperlihat jam tangannya.

‘Pamer jam?’ batin Zira. Ternyata dua gadis di sampingnya juga berpikir hal yang sama. 

“Salat dulu,” ujar Khabab.

“Oh iya, Mas.”

Zira merasa malu sendiri. Lupa sudah masuk waktu salat lantaran azan Zuhur tidak terdengar olehnya. 

Zira mengikuti ke mana Khabab pergi, tidak ada mushalla di sini. Khabab membawanya ke sebuah kamar yang terletak di lantai dua. “Kalo mau salat lain hari, di sini aja.” 

Kamar tersebut merupakan kamar untuk Khabab yang disediakan pihak kafe, karena sudah tahu Khabab seorang perantau.

Zira berwudu terlebih dahulu. Sementara Khabab sudah turun lagi ke bawah. Katanya ia mengambil wudu di kamar mandi bawah saja. 

Azzazira's Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang