Part 04

13 1 0
                                    

Hari berlalu, dari bulan merangkak ke bulan. Silih berganti.

Tak terasa sudah enam bulan aku di desa Keumala.

Desau angin pagi menyapa, embun belum pergi, masih dikenali. Memburamkan kaca jendela.

Ayam pun riuh memperebut makanan, jagung parut yang Pakcik berikan.

Burung-burung berkicau bak rakyat menyanyikan lagu kebangsaan.

Aku kira suasana alam seperti ini memang kebahagiaan bagi nestapa. Namun, di luar perkiraan, dari puncak surau sebuah pemberitahuan menggema.

"Innalillahi wa-inna ilaihi raaji'uun, telah berpulang ke Rahmatullah salah seorang saudara kita, yaitu, Zainul Arifin. Maka oleh sebab itu, kita sama-sama ke rumah duka."

Entah kenapa jantungku berdegup ketika mendengar pemberitahuan tersebut. Namun, tidak kutahu itu siapa.

"Abang, bapaknya Khabab meninggal!" seru Bunda tergopoh-gopoh dari arah dapur.

Bapak Mas Khabab?

Iya, bukan? Keadaan alam bertolak belakang. Tidak membawa ketenangan bagi semua hati.

Ya Allah, berilah ketabahan atasnya.

Sudah tiga hari ini aku tidak melihat Mas Khabab. Kata Putri, bapaknya sakit.

Pakcik dan Bunda bergegas ke rumah Mas Khabab. Aku sudah mengambil penutup kepala ingin mengikuti mereka. Namun, mereka melarang.

'Mas, bpk mas Khabab meninggal.' Aku mengirim pesan untuk Mas Fattah.

Tak lama kemudian Mas Fattah menelepon.

"Innalillahi wa-inna ilaihi raji'un." Sapaan Mas Fattah terganti bukan salam lagi.

Aku langsung bertanya ia pulang atau tidak.

"Tapi di sini sedang sibuk, apalagi nggak ada yang bantu. Biasanya ada anak si bos, tapi sekarang dia lagi nyiapin acaranya," pungkas Mas Fattah.

"Aku gak nanya acara anak bosmu, pulang nggak? itu aja."

"Insya Allah, Mas usahain dulu."

Minggu lalu, aku dan Putri ke rumah Mas Khabab meminta ramuan untuk Pakcik yang disengat lebah. Berjumpa dengan bapaknya. Sempat duduk berbincang-bincang, sedangkan Ia sedang mencari daun yang hendak dijadikan obat di belakang rumah.

Terbayang masih raut wajah lelaki tua itu yang sumringah saat bercerita.

Tidak ada yang abadi, semua akan pergi bila waktunya tiba.

***

Mendung menggantung. Aku tercenung sedang membayang rupa dua jiwa, yang lama tak bersua. Orang tua.

Meninggalnya Bapak Mas Khabab, mengingatkanku kembali pada Ayah dan Ibu yang sudah tiada tiga tahun lepas. Didera rindu pada yang telah tiada itu perih. Walau kalbu berlagu ingin temu, tak pernah bisa tersapa.

Pintu diketuk teratur.

Berdiri seorang pria dengan tatapan keteduhan, aku rasa tidak benar-benar teduh, ada hati yang gersang akibat kehilangan.

Ia datang untuk meminta daun salam.

Kuserahkan pada Mas Khabab dua ikat daun salam kering. Ia pun melangkah pulang. Kali ini tidak kulihat senyum di bibirnya.

Sinar mentari mulai meredup, kakiku melangkah menyusuri jalan setapak hutan belakang rumah hendak menuju ke sungai untuk mengambil kelapa yang di taruh Pakcik tadi siang.

Ada beberapa ekor kambing di sana sedang memakan rumput. Kemudian hal aneh terjadi, terdengar suara teriakan. Hewan-hewan tersebut berlari tunggang-langgang. Perasaanku mulai tak enak. Pelan-pelan melangkah, untuk melihat apa yang terjadi di depan sana.

Seorang pria berdiri menghadap ke sungai, di tangannya ada batu sebesar telur puyuh. Sesekali ia melemparnya ke sungai, saat itulah ia berteriak. Aku rasa itu salah satu cara melepaskan kalut yang bergelayut di benaknya. Kasihan sekali.

Apa kuurungkan saja mengambil kelapa dan aku katakan pada Pakcik tidak tahu di mana. Ah, masa sih? Jelas-jelas kelapa itu ada di dekat pria tersebut. Namun, di satu sisi aku tak ingin mengganggu ketenangannya.

"Mbak Zira? Kenapa di sini?"

Saking lamanya aku berbimbang, hingga tak sadar bahwa ia sudah melihat keberadaanku.

"Mau ambil kelapa, Mas," sahutku pelan.

Kulihat tampang dinginnya, ia tak berkata apa-apa lagi. Aku mendekat untuk memgambil satu buah kelapa, lantas buru-buru balik.

"Mbak Zira," panggilnya pelan.

"Iya?" Panggilannya membuatku mengurung langkah.

"Bagaimana caramu menghadapi ujian hidup?"

Sekarang posisi saling membelakangi.

"Mengerjakan sendiri dengan Rabbi, tanpa menoleh kiri kanan, karena menoleh ke arah orang lain bukan mendapatkan jawaban, tapi malah memperburuk keadaan. Karena setiap ujian hidup memiliki soal yang berbeda-beda."

Hening.

Aku pun pamit pulang. Tak kutahu apa yang ada di benaknya tentang jawaban yang aku beri.

Angin berhembus membuat tudung yang kupakai melambai. Pun entah kenapa, ada detak yang beda saat menjawab pertanyaannya. Aku bahkah sempat menarik napas dua kali di pertengahan kalimat tadi.

Mas Khabab, apa ini menyangkut tentang kehilangan? Bila iya, ikhlaskan yang sudah pergi dan hargai yang ada.

Ikhlas? Tidaklah semudah berucap memang. Namun, seiring berjalannya waktu hati akan menerima kenyataan. Jika ingin berlari pun tidak bisa, karena ia nyata terjadi.

Garis tangan tak bisa dihapus. Langkah kita hanya mengambil hikmah atas setiap peristiwa. Tunduk atas setiap tindak Tuhan. Ia tahu hati kuat tak akan mengeluh, pun tak kan merintih walau perih.

Tersenyumlah hati, munajatkan asa tanpa lelah di pelataran do'a
Hingga membawa harsa
Bagi hati yang gulana
Tak lagi merintih berteriak pedih
Ikhlas menerima setiap tindak takdir-Mu
Dalam lengkungan harap
Hirap gelap yang menyergap
Kita bercerita buana pendengarnya
Tuhan menjadi saksi
Ia Mahamencintai

Bersambung








Azzazira's Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang