Part 15

4 1 0
                                    

Tengah malam Zira terbangun dan menuju ke dapur. Mendapati pintu kamar Fattah terbuka. Ia berniat menarik knolp pintu tersebut agar tertutup kembali. Pikirnya mungkin sepupunya itu tertidur dan lupa menutup pintu.

"Mas," panggil Zira pelan saat melihat kamar Fattah kosong. Ia memberanikan masuk. Memang benar-benar tidak ada orang.

Lalu Zira menuju ruang tamu. Juga tidak ada Fattah di sana. Menyibak tirai jendela depan, melongok ke luar. Mobil milik Fattah tidak terparkir lagi di depan teras.

Pintu keluar juga tidak bisa dibuka. Terkunci lewat luar.

"Mas ke mana?" menatap jauh ke luar lewat jendela.

Tidak ada pesan apa-apa yang ditinggal Fattah.

Zira akhirnya tidak tidur lagi. Ia memilih duduk di depan layar televisi di ruang tamu. Mengambil selimut dan berbaring di atas sofa.

Malam sudah merangkak menuju pagi, pukul tiga kurang dua menit. Begitu dingin, direkatkan selimut ke tubuh. Saat mata hampir terpejam terdengar deru mobil memasuki halaman.

Zira buru-buru bangun.

Tampak Fattah berjalan memapah seorang lelaki. Zira mengerjap untuk melihat jelas di bawah remang cahaya lampu teras, siapa yang bersama Fattah?

Pintu dibuka Fattah dari luar. Zira mematung.

"Ambilkan alas tidur, selimut, bantal!" perintah Fattah.

"Mas Khabab, kenapa?" Zira membulatkan mata menatap Fattah dan Khabab silih berganti.

Mata Khabab terpejam, ada memar di keningnya. Lebam di bibir bawah sebelah kanan. Bajunya tampak berdebu. Pun celana kain hitamnya yang sudah lusuh. Tampilan Khabab sungguh acak-acakan.

Zira menggelar kasur yang biasa Fattah gunakan saat duduk lesehan di lantai.

"Maaf, Tah, merepotkan kamu dan Zira."

"Gapapa Mas Khabab," cengir Zira. Ia berlutut di depan Khabab sembari merapikan kasur dan bantal. "Ceritanya gimana? Kenapa bisa gini?" lanjut Zira.

"Khabab kena keroyok sama anak-anak genk dekat kafe sana," sahut Fattah. Menatap lurus ke Zira yang hanya memakai piyama tanpa penutup kepala.

Zira lupa pesan Fattah, kenakan penutup kepala setiap keluar dari kamar.

Sekarang Zira paham apa maksud dari tatapan tajam dari sepupunya. Ia segera berlari ke kamar.

Rambut panjang yang lurus lagi hitam legam itu adalah mahkota terindah. Sesaat tadi digerai di depan yang bukan mahramnya. Langsung kena teguran.

Manusia yang satu dengan lainnya saling terikat. Tidak ada yang dapat berdiri tunggal. Jika bukan saling membantu, maka saling mengingatkan. Intinya saling membutuhkan.

***

"Kenapa tidak ke rumah sakit aja?" Zira bertanya pada Fattah. Khabab masih terbaring lemah.

"Dia sendiri nolak," balas Fattah.

"Tidak terlalu parah, Zira," lirih Khabab.

"Tapi wajahnya ini memar-memar. Kalo ada tulang wajah yang bergeser atau retak gimana?" Zira memperhatikan luka wajah Khabab sangat dekat. Refleks jari telunjuk itu menekan kening Khabab.

"Ra!" tegah Fattah.

"Iya loh Mas, ini harus di bawa ke rumah sakit!"

Fattah membawa air hangat dalam baskom dengan sapu tangan. "Awas!" perintahnya agar  Zira sedikit bergeser.

Azzazira's Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang