Part 13

9 1 0
                                    

Zira dengan gaun pink dusty dan kerudung senada, sudah duduk manis di dalam mobil Fattah. Ia tampak cantik walaupun make up hanya dipoles begitu saja.

“Ngapain Zira di sini?” Fattah sedikit terkejut.

“Mas ke mana?”

“Mas ... Mas mau keluar bentar ....” Fattah mengerling ke kanan, lalu menggaruk kepalanya.

“Lah, kok pakai jas?” Zira semakin menginterogasi. “Sudahlah, bilang aja mau ke tempat Ajmul, 'kan?”

Fattah tidak dapat mengelak lagi. “Kamu sendiri ngapain di sini? Keluar sana!”

“Ikut Mas Fattah, boleh ya?” Zira memelas.

Pria itu membuang napas kesal. “Janji gak nangis?” tanya Fattah, “terkadang kamu sendiri yang mencari masalah, Ra. Sudah pikir matang-matang sebelum menghadiri pernikahan mantan kekasihmu itu?”

Zira menunduk. Membuat janji pada diri sendiri. Ia tidak akan menangis, tidak akan mengizinkan setetes pun air mata jatuh.

“Gimana?” tanya Fattah kemudian, “masih mau ikut?”

Zira mengangguk.

Fattah mengeratkan sabuk, mobil pun meluncur pergi.

Megikhlaskan adalah keputusan terakhir. Dia bukanlah yang terbaik untuk mendampingimu, walaupun hari ini kau anggap dia yang terbaik.

Terima atau tidak, keadaan tetap berjalan. Lantas kita masih di sini dengan keadaan yang sama.  Namun, dipihak lain sudah bahagia terhadap takdirnya. Fattah dan Zira berjalan beriringan memasuki gedung hotel Murti Place, menuju lantai tiga. Sesekali Fattah memperhatikan gadis di sampingnya, ia mencoba menangkap raut wajah yang berbeda. Ternyata datar saja.

Setelah menyerahkan card, bukti tamu terundang. Mereka diizinkan masuk. Ruangan tersebut sudah dipenuhi para konglomerat.

Fattah ikut bergabung dengan tiga orang lelaki paruh baya yang sedang berbincang. Zira tidak ada pilihan lain selain mengikuti.

“Eh, Fattah. Selamat datang,” ujar laki-laki yang berpakaian berbeda dari pengunjung lain. Ia menepuk pundak Fattah sembari tersenyum ramah. Fattah menyalaminya.

Zira mencari tempat keberadaan pengantin. Tidak ada. Ternyata tempat pengantin ditutup dengan tirai. Akan dibuka sesaat lagi.

“Istri Fattah? Selamat datang di pesta pernikahan anak saya,” ujarnya lagi. Zira menangkup dua tangannya di dada.

“Bukan—bukan, Pak. Sepupu saya.” Fattah gelagapan menatap Zira.

“Cantik juga, sama seperti kamu yang tampan,” balasnya.

Zira senyam senyum, Fattah pun menarik kursi menyuruhnya duduk.

Pembawa acara pun memberitahu bahwa tirai akan dibuka. Musik mengalun merdu, seiringnya tirai terbuka. Tampak sejoli sedang duduk di tahta berpakaian adat. Bak raja dan ratu.

Zira tak berkedip, menatap Ajmul yang tampak sangat tampan. Gadis di sampingnya pun tak kalah cantik.

Tepuk tangan meriah dari tamu. Akan tetapi tidak dengan Zira, ia malah membuang pandang ke Fattah. Ia tersenyum kecut. Fattah mengangguk menanggapinya.
Kita boleh saja lama bersamanya, tapi tak menjamin akan bersanding dengannya.

Lelaki paruh baya tersebut berkata pada Zira, “Mempelai pria itu anak saya.” Ia tersenyum bangga.

“Kami permisi dulu pak, ada tugas yang harus dikerjakan.” Fattah tiba-tiba memotong.

“Ah, tidak usah buru-buru Fattah. Sebentar lagi acaranya selesai.”

Fattah hanya mencari alasan agar Zira tidak berjumpa dengan Ajmul. Ia tidak yakin jika Zira mampu bertahan dengan rasa sakitnya. Bila rasa masih tersemat dibilik hati, mustahil tidak cemburu. Wanita cukup lemah dalam masalah perasaan.

“Tidak apa, Mas.” Melalui sorotan mata Zira menyuruh Fattah duduk kembali.

Lalu tiba saatnya bersalaman dengan mempelai. Zira segera beranjak menuju pelaminan. Namun, Fattah menarik lengannya. “Zira yakin?”

“Biasa aja Mas, kok Mas yang tegang?” seloroh Zira.

Mata Ajmul terbelalak saat menatap Zira berjalan dengan Fattah. Ia hampir lupa memberi tangannya.

“Selamat, Ajmul,” ujar Fattah.

“Terimakasih sudah datang,” balas Ajmul.

Sekarang giliran Zira. “Selamat, Mas. Semoga bahagia.” Zira menangkup tangannya di dada. Ia bisa saja menggelabui orang lain dengan raut wajahnya yang tersenyum sumringah, tetapi tidak dirinya sendiri. Jantungnya berpacu kuat.

“Saya tidak akan bahagia,” bisik Ajmul, ia mendekatkan kepalanya dengan telinga Zira.

“Perkataan adalah do'a, Mas.”
Selanjutnya ia berjabat tangan dengan mempelai wanita. Orang-orang dibuat terhenyak olehnya. Fattah dan Ajmul tidak menyangka jika Zira akan melakukan itu. Ia memeluk Kinan—mempelai wanita—dengan kuat. Di situ dia menangis, tidak dapat lagi membendung air matanya.

“Kakak?” ujar Kinan. Ia ikut tersedu, padahal tidak tahu kenapa perempuan yang memeluknya itu menangis.

“Semoga bahagia,” lirih Zira.

“Makasih atas do'anya.”

Lalu mereka saling menyeka air mata.

Ini adalah salah satu cara meredamkan amarah dan kecemburuan di benak Zira. Apapun yang terjadi ia harus bisa melawan rasa itu.

Zira tidak tahu jika yang mendampingi Ajmul sekarang adalah perempuan yang pernah diceritakan Ajmul tempo hari.

Fattah segera menarik lengannya, membawa pergi dari sana. Bisik-bisik dari para tamu menghiasi ruangan itu.

“Fattah!” Panggilan itu datang dari papanya Ajmul.

Fattah tidak peduli.

Tak ada yang lebih penting dari menyelamatkan sebuah hati yang hancur. Fattah membawa Zira keluar dari sana. Ternyata di luar sedang hujan. Menuju tempat parkir, mengambil mobil.

Fattah membuka jasnya, memakaikan pada Zira. “Sudah Mas bilang jangan ikut,” tutur Fattah, “air mata itu tidak bisa diajak kompromi, Zira. Ia jatuh tanpa harus ada izin pemiliknya.” Fattah menuntun Zira untuk masuk.

Tiba di sebuah halte bus, “Boleh kita berhenti di sini?” ujarnya di sela Isak tangis.

“Tunggu sebentar lagi kita mampir di sebuah kafe.”

“Zira bilang berhenti!” bentak Zira.

Fattah meremas setir, geram. Mau tidak mau ia pun berhenti.

Membuka pintu lalu keluar.

“Zira!” Fattah mengejar langkah Zira.

Ternyata Zira hanya mencari hujan. “Aku ikhlas, tapi kenapa hatiku meraung, Tuhan?” desisnya. Berlutut di bawah rinai hujan yang semakin deras.

“Kau keras kepala, Zira.” Mata Fattah panas. Gerahamnya bergemelatuk, lalu berlutut, “dengar, Zira ....” Fattah meletakkan kedua tangannya di pundak Zira. “Cinta bukan jalan untuk menyemai benih luka. Membuat lemah pemilik rasa.”

Zira kemudian dituntun untuk menepi, wajahnya kusut ditampar air hujan.

“Aku ikhlas Mas. Tapi hatiku kenapa berteriak tak menerima?” Zira duduk di kursi halte bus.

“Adakala lisan dan hati itu tak sejalan.” Fattah menatap kedua mata gadis itu, “aku berjanji, akan mendampingimu, tidak akan mencari pendamping hidup sebelum kamu mendapatkan pelabuhan hati. Akan aku pastikan orang yang akan mendampingimu adalah titipan yang terbaik yang Allah kirimkan.”

Zira terkesiap, mendapati bulir bening menetes dari kedua netra Fattah, “Terimakasih, Mas.” Ia semakin terisak.

Padahal Fattah sangat tersiksa dengan rasanya sendiri yang sudah hadir sejak ia masih remaja. Mencintai gadis yang bersamanya sekarang. Ia tidak mampu mengatakannya, sehingga hanya memilih diam dengan menatap foto Zira. Juga melindunginya di saat seperti ini. Namun, sudah lebih dari kata cukup baginya.

Bersambung

Azzazira's Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang