Part 03

15 2 0
                                    

Aku bercerita panjang lebar pada Mas Ajmul tentang ke sawah hari ini.

"Ra, kamu tidak terbiasa. Itu bukan pekerjaanmu," pungkas Mas Ajmul.

"Sekarang aku tidak tinggal di kota lagi, Mas, jadi harus menyesuaikan diri."

"Dibilang ngeyel. Aku nggak mau kekasihku sampai lecet tangannya."

"Uwek," ejekku.

Ia malah tertawa.

"Mas, gimana cewek yang kemarin itu?" Aku mencoba mencari topik lain.

"Nggak ada lagi di sini, udah dipindahkam ke tempat lain sama Papa." Mas Ajmul memberitahu.

Aku bersandar di kaki tempat tidur. Satu bantal dalam pangkuan. "Nggak ada yang ganggu Mas lagi berarti."

"Itu loh, padahal dia anaknya kawan musyarikat Papa."

"Oh, ya?"

"Ra, sudah makan?" Kenapa sih Mas Fattah tiba-tiba nimbrung?

"Adekku, sudah makan?" ulangnya.

Kesal bukan main pada lelaki itu, kenapa sih Tuhan mengirimku sepupu seperti Mas Fattah?

"Siapa, Ra?" Mas Ajmul bertanya.

"Mas Fattah."

"Bilang apa?"

"Nyuruh aku makan," ucapku.

"Jadi kamu belum makan siang? Udah jam dua ini."

Mas Ajmul pun ikut sewot.

"Belum, lagian asyik ngobrol sama kamu," elakku.

"Gimana sih, punya pacar nggak perhatian banget. Suruh kek cewek makan."

"Mas Fattah, tolong diam bisa nggak?" teriakku pada Mas Fattah, kemudian berujar sama Mas Ajmul, "udah dulu Mas ya, Zira mau makan."

"Okay, Assalamu'alaikum, ntar malam Mas nelpon lagi, ya."

"Ya."

Selasai makan Mas Fattah mengajakku ke rumah Mas Khabab, aku ikut saja.

Sebenarnya ia pemuda yang pintar, lebih pintar dari Mas Fattah. Namun, cita-citanya terpaksa dihapuskan karena melihat kondisi sang bapaknya yang sakit-sakitan. Jadi sekarang ia memilih berkebun, kadang membantu orang lain menggarap sawah. Ia menjadi buruh serabutan. Meskipun demikian, Ia tetap diidolakan oleh gadis-gadis desa ini, termasuk salah satunya anak Pak Lurah namanya Putri.

Bahkan, ada orang tua si gadis yang dari kota datang melamarnya. Awalnya menawar pekerjaan, tapi setelah itu meminta Mas Khabab menjadi menantu. Namun, dengan cara sebagaimana orang berilmu, ia menolak halus.

Budi bahasanya, sopan lagi santun dan keramah tamahannya membuat orang terhipnotis. Betah berlama-lama dengannya.

"Sungguh beruntung, siapapun gadis yang mendapatinya. Pemuda sederhana, tapi memiliki sejuta kharisma." Mas Fattah menutup cerita.

Pria bertubuh tegap itu menyambut kami. Aku dan Mas Fattah memilih duduk di luar, di sebuah balai kecil samping rumahnya.

Bayu menerpa, menbawa ketenangan. Sekeliling rumah, pokok kelapa menjulang tinggi. Tumbuhan kakao luas di kebun belakang rumahnya.

Sepertinya bukan milik Mas Khabab, karena pagarnya tak menyatu dengan pagar rumah Mas Khabab.

Kemudian keluar dari dalam rumah seorang lelaki, "Kenapa Fattah tidak disuruh masuk, Bab?" tanya ia.

Sebagian rambutnya sudah mulai memutih. Meskipun demikian, tampak ia pernah menjadi lelaki tampan pada masanya.

"Di sini saja, Pak, sambilan mencari angin," tutur Mas Fattah.

Azzazira's Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang