Part 10

10 1 0
                                    

Pov 3

Siang.

Panas membakar bumi, seorang gadis melangkah menuju bus yang rute ke Lingga Lama. Sesekali tangannya bergerak, ada sesuatu yang disekanya. Entah keringat atau mungkin air mata.

Dadanya sedang terluka. Mendapati pujaan hati hendak bersanding dengan yang lain.

"Hati-hati, ya," ujar Fattah, sepupunya. "Ini uang untuk Ayah. Bilang, Mas belum bisa pulang." Ia menyerahkan beberapa lembar uang seratus ribu pada Zira.

"Iya, Mas."

Bibir yang terpoles gincu itu memaksa senyum. Matanya kemudian terbuang ke segala penjuru, memindai kendaraan yang keluar masuk terminal. Agar mata yang berkaca-kaca itu tidak tertangkap oleh lawan bicaranya.

Supir bus membawa koper milik Zira ke jok belakang.

Tertanamlah asa, punahlah janji yang pernah dibina.

"Mencintai bisa berakhir kapan saja, Dik. Maka buatlah janji sesederhana mungkin, karena janji yang kita buat sebelum halal itu fatamorgana. Tidak ada janji yang indah melainkan janji di hadapan-Nya nanti." Demikian kata Fattah tadi ketika masih di rumah, menasehati Zira. Agar kuat hatinya menerima perpisahan dengan Ajmul.

Ketika masuk waktu shalat Ashar bus berhenti di sebuah mushalla rumah makan, para penumpang turun untuk menunaikan shalat.

Air dingin membasuh muka.

.

"Ya Khaliq, tiada suatu pun datang dan pergi melainkan dalam pengawasan-Mu." Zira menadah tangan, bermunajat pada-Nya.

Kemudian ia melipatkan kembali sajadah dan mukena.

"Mas Khabab!" Mulutnya tiba-tiba menyebut sebuah nama ketika mendengar lantunan ayat-ayat suci. Orang yang sedang melakukan hal yang sama di sampingnya menatapnya heran.

Apa benar itu suara Mas Khabab? Ah, mana mungkin. Dia, 'kan, lagi desa. Zira menepis prasangkanya.

Zira mengenal suara Khabab karena gadis tersebut pernah mendengar pemuda itu mengaji ketika mengajar anak-anak privat di rumah pakciknya Zira. Zira mengajari bahasa inggris, sedangkan Khabab mengajarkan agama sesekali, kalau ada yang bertanya.

Suatu hari ada anak yang meminta Khabab untuk melengkapi potongan ayat. Khabab membaca sambil mencarinya di Al-qur'an.

Kuat batin Zira mengatakan itu suara Khabab, ia pun mencoba mencari sumber suara.

"Mbak, busnya mau berangkat tuh." Lelaki paruh baya, pengurus mushalla memperingati Zira.

"Oh iya, Pak, makasih," sahutnya sambil menyungging senyum.

Ternyata hanya feeling Zira saja, yang ada hanya seorang lelaki duduk di dekat mimbar sana dengan postur tubuh gemuk. Zira pun berbalik, keluar dari mushalla tersebut.

Suasana yang tadi panas kini mulai meredup, awan pucat menggantung di cakrawala.

"Permisi, Mbak, sendal saya."

Zira yang sedang membungkuk mengikat tali sepatunya sedikit bergeser.

Ting ....

Ponsel Zira berbunyi. Ada sebuah pesan yang masuk dari Fattah.

'Ra, kamu pulang sendiri aja, Khabab gak ada sudah ke kota kemarin kata Ibu.'

Zira dengan cepat menoleh ke sekeliling, menyisir lalu lalang pengunjung mushalla dan juga RM di sampingnya.

Apa benar yang tadi itu Mas Khabab? Kembali ia membatin.

Ingin mencoba mencari lagi. Namun, sudah telat. Bus hendak berangkat. Ia tidak punya waktu lagi.

Azzazira's Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang