Part 16

5 1 0
                                    

Zira menelan ludah merasa gugup saat Khabab menatapnya. "Saya minta izin, Zira, mau kembali ke tempat kerja."

"Iya, tapi Mas Khabab yakin itu udah sembuh beneran?" Perempuan itu mencoba bersikap normal. Walau padahal matanya masih tidak berani membalas tatapan Khabab. Masih teringat tentang kejadian semalam.

Namun, Khabab menyadari sikap Zira. Sehingga ia sengaja menjatuhkan pandangan ke dua bola mata Zira.

Jika ada menyangka diri dapat mengalahkan nafsu, sungguh bualan. Nyatanya tidak ada.

Khabab lelaki yang alim. Tetap ada godaan besar. Meskipun demikian, ia berusaha membatas diri. Maka oleh sebab itu tidak ingin berlama-lama di tempat Fattah. Walau nyatanya tubuh belum sembuh sepenuhnya.

***

"Ra! Ngelamun aja nih anak!" Fattah berjalan pelan di belakang Zira yang sedang merapikan bunga dekat jendela kamarnya.

Zira mengerling Fattah dengan ekor mata. "Ntar malam Zira keluar, ya," ujar Zira.

"Dalam rangka?"

"Memperingati hari kemerdekaan." Zira berkata diiringi gelak tawa.

Fattah menarik ujung kerudung bagian belakang Zira yang terjuntai panjang.

"Ih, Maas!" teriak gadis itu.

"Makanya, jawab yang serius."

"Will meet some one," sahut berlagak sok inggris.

"Ga boleh!" Fattah melangkah masuk.

"Mas!"

"Boleh asalkan keluar dengan aku."

"Tapi aku pengen keluar sendiri." Zira masih bersikeras.

"Yasudah, kalo gak boleh ya gak usah keluar." Fattah membuang tubuh ke sofa, melonggarkan dasinya.

Zira mendelik. "Udahlah, gak jadi. Kalo Mas ngekor juga." Tampak kesal dari intonasi suara Zira yang meninggi.

Fattah menyungging senyum. Lalu acuh.

Zira berbalik lagi, menatap Fattah. Ia mengira Fattah akan berkata iya setelah berpura-pura merajuk. Ternyata malah tak peduli.

Fattah memejam pelan matanya mengintip Zira yang masih berdiri di dekat sofa dengan tampang cemberut.

"Mampus," desisnya pelan.

***

Memasak sudah menjadi kewajiban Zira di tempat Fattah.

Hari ini tidak seperti biasanya, Fattah baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk kecil di kepala. Mencium bau menyengat dari dapur.

"Masya Allah!" Kuat tangannya menarik Zira menjauh dari dapur. Asap yang mengepul membuatnya batuk-batuk.

"Kalo marah nggak dikasih keluar, ya jangan gini juga dong. Balasannya gak sesuai," sindir Fattah, "cuma gak dikasih keluar eh malah mau bakar rumah."

Zira tidak berkutik. Detak jantungnya di luar normal. Telapak kaki dan tangan sudah menjadi dingin.

Fattah mengambil kain lap basah lalu menutupi kompor. Ia biasa-biasa saja. Terlihat tidak linglung sama sekali. Malah tertawa meledek Zira yang sudah ketakutan bukan kepalang.

Tubuh perempuan itu tiba-tiba merosot ke lantai, tergugu. Benar-benar takut.

"Hei!" Fattah mendekat. "Tenang aja, gapapa, kok." Memegang pundak Zira, membantunya bangun.

Sepersekian detik baru paham apa yang membuat Zira seperti itu, trauma masa lalu.

Ragu-ragu, membenamkan kepala Zira ke dadanya. "Tidak apa-apa, semua baik-baik saja," bisiknya untuk menenangkan.

Azzazira's Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang