Part 09

15 1 0
                                    

Shalat Isya pukul sepuluh malam. Entah kenapa, air mata ini tidak bisa berhenti keluar. Sudah kuusahakan.

"Zira!"

Lelaki itu terus memanggilku, "Keluarlah, biar kita cerita di sini." Suaranya pelan.

"Sudahlah Mas, jangan ganggu Zira," ketusku.

Kemudian senyap. Tak lama setelah itu terdengar alat-alat dapur berdenting. Suara sendok jatuh, panci jatuh, entah apa lagi. Ia kenapa?

Aku tak peduli.

Pagi sebelum Shubuh aku keluar ingin ke dapur untuk mengambil minum. Semalaman mata tak bisa terpejam. Padahal aku tidak perlu segila ini, tapi ini terjadi tanpa keinginanku.

Saat aku membuka pintu, sedikit terhenyak. Sosok pemuda yang kupanggil Mas Fattah, tidur sambil memeluk lutut, bersandar di dinding kamarku.

Aku tidak mengganggunya, terus ke tujuan. Sekembali, masih kulihat ia di sana. Apa dirinya juga tidak tidur semalam?

"Engkau tidak perlu ikutan gila, Mas. Cukup adikmu saja." Aku hanya bergumam, sambil berlutut di dekatnya.

Air mata kembali jatuh, kali ini karena terharu terhadap perlakuan Mas Fattah.

***

"Apa yang ingin kau bicarakan lagi?" Mas Fattah seperti sedang berbicara dengan seseorang di ruang tamu, aku menghentikan langkah menyimak pembicaraan mereka di balik dinding pembatas antara ruang tamu dan dapur.

"Aku ingin menjumpai Zira."

"Tidak perlu."

Mas Ajmul tampak geram, hal itu terlihat dari raut wajahnya.

"Fattah, kamu tahu bukan aku mencintai Zira?"

"Tidak." Kulihat Mas Fattah membuka toples kue kacang di meja.

"Fattah!"

"Justru seandainya aku tahu Ajmul, aku tidak akan pernah membiarkannya! Aku tahu kamu itu orang yang setia, tapi jatuh kelingkaran keluargamu seperti jatuh ke kandang harimau! Semua gila harta!" tegas Mas Fattah.

"Iya, itu keluargaku, tapi tidak denganku, Fattah," keluhnya, "biarkan aku memiliki Zira, Fattah. Biarkan aku menikahinya."

"Apa kamu ingin membuat sepupuku dicemooh oleh kerabatmu, dicap perusak rencana, begitu? Dia tidak terlahir dari benih pelakor, Ajmul."

"Zira! Berkemas cepat, sebentar lagi Mas mengantarmu pulang ke desa. Sudah kutelepon Ibu untuk menyuruh Kbabab menjemputmu."

Aku masih berada di balik dinding, terpaku.

Akhirnya jatuh terduduk di lantai.

"Fattah, biarkan aku menikah dengan Zira." Lagi, Mas Ajmul mengatakan hal yang sama.

Mas Fattah tidak menanggapi. "Zira, kamu dengar?!" Ia masih bertanya padaku.

Aku diam.

"Bila kau mencintaiku, maka akan melakukan adorasi bersama membelah ombak yang menjadi rintangan. Namun, ini hanya sebelah pihak yang berjuang. Apa kau tidak cinta padaku?"

Ada rasa sakit yang mendalam hingga aku menekan dada sangat kuat. Aku mencintaimu, Mas. Aku ... mencintaimu, Mas!

Cinta itu membawa kebahagiaan bagi si empunya rasa, menjaga satu sama lain hingga tidak ada yang terluka. Akan tetapi bila ada yang terluka alangkah baiknya akhiri saja, jangan atasnamakan cinta luka tersebut. Cinta hanya memberi kebahagiaan. Cinta adalah penyembuh luka, bukan pemberi luka.

Rasa yang datang adalah kehendak Tuhan. Yang pada dasarnya suci, setelah itu ternodai. Karena kita mengelolanya dengan salah.

Cinta kepada makhluk hanya seindah senja. Ada cinta yang lebih indah. Mencintai MahaCinta, pemilik segala rasa.

"Zira, kamu di mana?" Seiring dengan itu, ada yang melangkah ke arah kamar, dia Mas Ajmul. Mencariku.

"Baiklah, Zira pulang ke desa." Aku berujar sambil menyeka air mata. Mas Ajmul menoleh ke belakang. Sedangkan Mas Fattah berdiri dekat rak buku.

"Aku ikut," ujar Mas Ajmul dengan cepat.

"Hei! Pulang! Sebelum aku melempar vas-vas bunga ini!" kata Mas Fattah bernada emosi.

"Aku cukup tahu, Fattah. Kamu itu penjilat! Sekongkol dengan orang tuaku."

"Apanya yang sekongkol? Penjilat apa maksudmu?"

Prank!

Akhirnya vas yang terletas di atas nakas dekat rak buku jatuh.

"Papaku membayarmu untuk menyingkirkan orang yang yang membuat perjodohanku dengan pilihannya gagal."

Kulihat Mas Fattah melangkah cepat ke hadapan Mas Ajmul, memegang kerah bajunya.

"Asal kamu tau, Zira, dia akan dibayar setelah menyingkirkanmu pulang ke desa sana!" pungkas Mas Ajmul lagi.

Dug!

Gumpalan tangan Mas Fattah mendarat di sisi rahang kirinya.

"Mas, Mas! Sudah, Mas!" pekikku sambil memeluk belakang Mas Fattah. Berusaha meleraikan perselisihan yang terjadi, "Mas, sudah!" ujarku lagi dengan isak tangis.

"Tolong sekarang pulang! Pulang kamu dari rumahku!" bentak Mas Fattah, "aku tahu, mana yang pantas mendampingi adikku, yang jelas bukan kamu! Sekarang pulang!" Menggelegar suara Mas Fattah di ruang tengah.

Bila memang kita tak berjodoh, apa tidak bisa dengan cara baik-baik? Tetap menjadi saudara.

Mas Ajmul akhirnya dengan langkah gontai menuju pintu keluar. Ia menatapku. Tatapan itu, masih sama. Aku memang masih merasakan cinta dari sana.

.
Mas Fattah duduk di tepi ranjangku
"Mas nggak kerja?" Aku mencari topik lain. Tangan terus memasukkan baju ke koper.

"Nggak," sahutnya singkat.

"Memang Mas Khabab mau jemput Zira?" tanyaku, "bilang aja Mas, Zira bisa pulang sendiri. Merepotkan Mas Khabab saja."

"Zira!"

"Iya?"

"Apa kamu sepemikiran dengan Ajmul menganggapku penjilat? Kamu tahu, 'kan, Mas melakukan ini supaya kamu nggak dihina nantinya. Dan kamu pun tidak akan bahagia bila menikah dengan cara seperti itu walaupun saling mencintai. Karena ada orang tua yang tersakiti."

Aku menatap Mas Ajmul, "Aku percaya pada sudaraku." Punggung tangan kuseka air mata yang keluar.


Bersambung

Azzazira's Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang