Himitsu (Rahasia) #9

40 3 2
                                    

Sabtu, 4 Juni 2011 ....

Ini adalah pernikahan yang dipaksakan!

"Buka bajumu!" perintahnya tegas.

"Tidak mau," tolakku.

"Cepat buka!" ulangnya seraya menghampiriku.

"Jangan!" aku mundur menjauh ke sudut kamar.

Dia mendekatiku. "Aku bilang, lepaskan pakaianmu!" bentaknya.

Aku menggeleng-geleng. "Aku tidak mau ...."

"Kau ..." geramnya. "Kalau kau tidak mau, biarkan aku yang melepasnya!" dia mengulurkan tangannya ke arahku.

"Ayah, jangan!" aku berusaha menghindari jangkauan tangannya. Selama beberapa saat, kami seperti anak kecil yang sedang bermain kejar-kejaran.

"Kaori!" seru ayah sambil berkacak pinggang.

Aku terkejut oleh teriakan ayah. Dia menatapku tajam.

"Cepat buka pakaianmu!" ulang ayah.

Aku mendesah kesal. "Berapa kali harus kukatakan? Aku tidak mau."

"Kalau begitu, tidak ada cara lain." Ayah bergerak cepat ke arahku dan langsung meraih kain bajuku.

"Ayah, apa yang Ayah lakukan?"

"Aku akan melepaskan pakaianmu ini bagaimanapun caranya!" jawabnya masih sambil berkutat dengan kain yang menutupi tubuhku.

"Yamete kudasai (tolong hentikan)!" Aku memegangi kain lebar yang melindungi seluruh kepala dan rambutku itu erat-erat. "Yamete ..." harapku hampir putus asa.

Akhirnya, dengan satu sentakan keras, ayah berhasil menarik lepas kerudungku.

DUK!

Kepalaku terbentur tepi tempat tidur.

"Aduh ..." aku mengelus-elus kepala dengan rambut terurai berantakan.

Ayah mengempaskan kerudungku ke tempat tidur. "Yang akan kau temui itu adalah calon suamimu," ujarnya.

Huh! Calon suami? Siapa yang mau menikah? Aku tidak bisa menikah dengan sembarang laki-laki. Apalagi, dengan laki-laki Jepang yang sebagian besar non-Muslim. Aku harus berhati-hati mencari laki-laki yang beragama Islam dan mampu membimbingku.

"Bagaimana mungkin kau menemui calon suamimu dengan seluruh tubuh tertutup begitu?" kata ayah seraya berjalan menuju lemari pakaianku. Dia mengambil sebuah gaun dari sana lalu menyodorkannya ke dekat wajahku. "Pakailah gaun yang dibelikan ibumu ini."

Aku memalingkan muka. Mana mungkin aku menemui para tamu tanpa kerudung dan pakaian panjangku? Ya, sekarang di ruang tamu ada keluarga Okumura, keluarga laki-laki yang katanya akan dijodohkan denganku.

Jadi, begini ceritanya. Beberapa waktu yang lalu, aku memutuskan memeluk Islam. Tapi, ayah menentang keras saat aku menyatakan keislamanku.

Akhirnya, keputusan ayah jatuh untuk menikahkanku. Ayah mengatakan, jika aku ingin ayah tidak mengusikku lagi dalam beragama, aku harus menerima perjodohan ini. Jika aku tidak menerima perjodohan, aku tidak akan bisa berislam dengan tenang. Dou shiyou? (Apa yang harus kulakukan?)

Ketika aku masih dilanda kebingungan dan belum bisa memutuskan, hari ini keluarga laki-laki yang katanya mau dijodohkan denganku itu datang ke rumahku. Mereka dari Tokyo. Aku bertanya-tanya, apakah mereka juga terkena gempa dan tsunami pada 11 Maret yang lalu. Tapi, kalau saat ini mereka justru sibuk dengan perjodohan putranya, kurasa mereka tidak terimbas gempa dan tsunami secara langsung.

"Cepat ganti pakaianmu dengan gaun ini! Semua orang sudah menunggumu di ruang tamu," instruksi ayah lagi, lalu meninggalkanku.

Sebelum ayah keluar, aku segera berkata, "Kalau aku bersedia menikah dengan laki-laki itu, Ayah akan membiarkan aku tetap dengan agamaku, kan?"

HankachiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang