Pagi ini aku sudah siap dengan pakaian panjangku.
"Kaori, apa yang kau pakai itu?!" tanya ayah keras. Ibu dan Kak Saichi sampai ikut menoleh ke arahku. Mereka sedang bersiap-siap untuk sarapan.
"Ini adalah pakaian wanita Muslim," jawabku kalem. "Aku pergi dulu, ya ..." pamitku seraya berjalan ke pintu.
"Kau mau ke mana?" kejar ayah.
"Tentu saja aku mau berangkat kerja," sahutku tenang.
"Kau mau keluar dengan pakaian sebesar itu? Kau mau tetangga, orang-orang di jalan, juga teman-temanmu di kantor melihatmu berpakaian aneh begitu? Memangnya kau tidak malu?" nada bicara ayah meninggi.
"Kenapa harus malu, Ayah?" aku mencoba bersabar.
"Kau terlihat aneh. Sebaiknya kau ganti bajumu," ayah kembali menurunkan suaranya.
Aku menghela napas panjang. "Ayah ini bagaimana? Dulu waktu aku memakai rok pendek, Ayah marah karena tidak mau teman-teman laki-lakiku melihat kakiku. Ayah juga tak mau aku jadi korban pelecehan seksual. Sekarang aku berpakaian panjang, Ayah malah bilang memalukan. Ayah mau apa?"
"Sudahlah, Ayah. Kaori, kan, harus bekerja," dukung ibu.
Ayah diam sejenak sebelum berkata, "Ayah memang tidak suka kau memakai rok pendek seperti teman-teman perempuanmu itu. Tapi, itu bukan berarti kau harus berpakaian seperti orang Arab begini ..." ujarnya pelan.
"Tenang saja. Aku begini bukan karena Ayah, kok. Lagi pula, ini bukan pakaian orang Arab. Ini pakaian wanita Muslim," jelasku santai. "Sudah, ya? Aku berangkat," aku kembali berpamitan.
"Sarapan dulu, Adik Bodoh. Makanmu, kan, banyak. Kau bisa pingsan kalau tidak sarapan." Kak Saichi yang bicara.
Aku hampir meledak mendengarnya, tapi akhirnya aku hanya melambai, kemudian berlalu. Kak Saichi memang suka menggodaku.
Seperti yang dikatakan ayah, orang-orang yang berpapasan denganku, melihatku dengan tatapan heran. Ada yang tersenyum geli, berbisik-bisik dengan temannya, ada juga yang masih terus mengawasiku bahkan sampai aku melewati mereka.
Sejak mengetahui keislamanku, ayah memang selalu memprotes pakaianku setiap aku hendak keluar rumah. Di tempat kerjaku pun aku sempat menjadi pusat perhatian ketika awal-awal aku masuk Islam. Tapi, sekarang rekan-rekan kerjaku sudah terbiasa denganku dan agama baruku itu.
Pulang dari tempat kerja hari ini, aku mampir dulu ke rumah Natsumi-senpai, seniorku semasa kuliah dulu. Karena semasa kuliah kami sama-sama bergabung di klub jurnalistik, kami pun cukup akrab dan tetap berhubungan sampai sekarang meski kami sudah lulus. Dari Natsumi-senpai aku mengenal Islam untuk pertama kalinya.
"Natsumi-senpai!" aku langsung memeluknya begitu dibukakan pintu.
"Kaori, ada apa?" Natsumi-senpai tampak kebingungan menghadapiku.
Aku berusaha mengendalikan diri. Natsumi-senpai lalu mengajak aku masuk dan duduk, menyajikan minuman, kemudian membiarkan aku bicara. Aku pun menceritakan perjodohanku.
"Subhanallah ..." ucap Natsumi-senpai setelah mendengar ceritaku.
Aku merengut karena Natsumi-senpai justru memuji Allah, padahal aku merasa tertimpa musibah.
"Kaori, kau harus bersyukur laki-laki yang dijodohkan denganmu itu seorang Muslim. Menyatunya dua Muslim bisa menguatkan barisan dakwah umat Islam," nasihatnya kepadaku. Natsumi-senpai memang masih muda, tetapi pengalamannya banyak. Natsumi-senpai sudah menikah dengan pria asal Turki dan memiliki seorang putra berusia satu tahun.
Natsumi-senpai masih memberikan beberapa nasihat lagi. Aku mendengarkannya sungguh-sungguh. Memang aku ini membutuhkan siraman ruhani untuk menghadapi hari pernikahanku yang kian dekat.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Hankachi
روحانياتGara-gara bertabrakan dengan seorang laki-laki di depan Miyamoto Cafe, Kaori kehilangan saputangannya. Dia juga dipaksa ayahnya menikah dengan Okumura Shinichi, laki-laki yang sama sekali tidak dikenalnya. Suatu hari, Kaori menemukan saputangan yang...