Himitsu (Rahasia) #7

25 3 0
                                        

"Malam ini kita akan makan yakiniku (daging bakar/panggang)," kata ibu ketika menghidangkan makan malam.

"Wah ..." seruku tertahan. Aku menatap hidangan yang tersaji dengan penuh minat.

Di meja sudah tersedia alat pemanggang, lemak, dan daging segar yang siap dipanggang. Hmm ... benar-benar menerbitkan air liur.

"Putra sahabat ayah sudah ditemukan dalam keadaan selamat. Sekarang dia sedang menjalani perawatan untuk memulihkan kondisinya," ayah menjelaskan dengan wajah cerah, sementara tangannya sibuk memanggang daging di alat pemanggang.

"Benarkah? Yokatta ne (syukurlah) ..." kataku.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku pun mengurungkan maksudku untuk memakan daging yang dipanggang itu. Sumpitku yang sudah terulur, kutarik kembali.

"Kaori, kenapa tidak dimakan?" tanya ibu.

"I, itu ... aku ... aku makan dengan sayur saja ..." jawabku terputus-putus.

Ayah dan ibu berpandangan.

"Mungkin Kaori sedang diet. Akhir-akhir ini dia tidak pernah makan daging setiap kali kita makan daging," jelas Kak Saichi.

"Ya, ya, begitulah ..." ucapku gugup.

"Diet? Kau sudah kurus begitu." Ayah memandangiku.

"Ya, ya ...." Aku tersenyum kecut, kemudian kembali melanjutkan makan.

"Oh, iya. Saichi, Kaori, malam ini kalian temani ayah minum, ya? Ayah ingin merayakan kebahagiaan sahabat ayah."

"Baik," sahut Kak Saichi.

"Kalau begitu, ayah dengan Kak Saichi saja, ya? Aku sedang tidak ingin minum," ujarku sambil cengar-cengir.

"Tumben. Biasanya kau paling suka minum. Kau takut kukalahkan, ya?" goda Kak Saichi.

Aku hanya tersenyum. Biasanya aku dan Kak Saichi beradu siapa yang lebih lama bertahan menemani ayah minum. Ayah memang tidak melarang kami minum asal tidak sampai mabuk berat. Kali ini ayah dan Kak Saichi yang saling melempar pandang.

Usai makan malam, ibu tiba-tiba duduk di sebelahku dan mengusap kepalaku. "Kaori ...."

Aku agak terkejut dengan perlakuan ibu. "A, ada apa, Bu?" tanyaku tergagap.

"Kau sedang ada masalah?" ibu bertanya balik.

"Apa maksud Ibu?" aku balas bertanya lagi.

Ibu menarik napas dalam. "Ibu merasa akhir-akhir ini kau bersikap aneh. Kalau memang sedang ada masalah, kau bisa berbagi dengan ibu. Barangkali ibu bisa membantu," jelas ibu masih sambil mengelus-elus rambutku.

"Aku baik-baik saja, Bu. Shinpai shinaide kudasai (jangan khawatir) ..." ujarku tersenyum.

"Kaori ..." panggil ibu lagi.

"Apa, Bu?"

"Yang namanya orang tua memang selalu mengkhawatirkan anaknya. Itulah naluri orang tua. Meskipun anaknya baik-baik saja, orang tua tetap memikirkan anaknya. Tapi, orang tua senantiasa berusaha untuk tidak membuat anaknya khawatir. Setiap orang tua ..." ibu menatapku seraya tersenyum lembut. "Pasti menginginkan yang terbaik bagi anaknya," lanjutnya.

Aku tertegun mendengar perkataan ibu. Perlahan aku mengangguk dan tersenyum. "Wakarimashita (aku mengerti)."

Ibu merebahkan kepalaku di bahunya, lalu membelai-belai rambutku dengan sayang. Ah, aku sudah sebesar ini, tetapi masih manja kepada ibu. Kekanak-kanakan sekali. Kapan, ya, aku bisa dewasa?

***

HankachiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang