“Ibu, apa aku benar-benar harus menikah?” aku merajuk saat ibu menemuiku malam itu. Keluarga Okumura sudah pulang.
Ibu merangkulku. “Kuatkan dirimu, Kaori.”
“Tapi, aku masih muda,” aku mencoba beralasan.
“Benar, tapi kau sudah cukup usia untuk menikah.” Ibu mengusap kepalaku.
“Kak Saichi saja belum menikah, kenapa aku sudah harus menikah?” keluhku.
“Saichi itu anak laki-laki,” jawab ibu sabar.
Bibirku mengerucut. “Memangnya kenapa kalau anak laki-laki?”
Ibu tersenyum sebelum menjelaskan, “Laki-laki adalah penanggung jawab di dalam keluarga. Sebelum menikah, Saichi harus mempersiapkan banyak hal.”
“Sou desu ka (begitu, ya)?” sahutku. Tiba-tiba, sebuah kesadaran menyelinap di benakku. “Kalau begitu, laki-laki itu juga harus mempersiapkan banyak hal, kan?” tanyaku sedikit bersemangat.
“Ano otoko (laki-laki itu)?” Ibu mengernyitkan dahi.
Aku jadi gemas dengan tanggapan ibu. “Putra keluarga Okumura itu ...” ujarku gusar.
“Oh, Shinichi ....” Ibu mengangguk-angguk. “Tentu saja dia akan menyiapkan segalanya. Dia laki-laki yang bertanggung jawab. Kau tidak perlu khawatir.”
Perkataan ibu itu membuatku semakin gemas. “Bukan begitu maksudku. Laki-laki itu, kan, lebih muda dari Kak Saichi. Kalau Kak Saichi saja masih harus mempersiapkan banyak hal, laki-laki itu tentu masih harus menyiapkan jauh lebih banyak lagi. Jadi, dia pasti belum siap untuk menikah!” aku menyampaikan argumen yang logis dengan penuh penekanan.
Ibu menggeleng. “Memang benar Shinichi lebih muda daripada kakakmu. Tapi, ibu lihat, dia cukup dewasa dan bijak. Usia tak selalu menentukan kedewasaan seseorang. Orang yang lebih tua belum tentu lebih dewasa daripada orang yang lebih muda.”
Dalam hati, aku membenarkan perkataan ibu.
“Lagi pula, kau ingin tetap dengan agamamu itu, kan?” tanya ibu kemudian.
“Tentu saja!” jawabku yakin.
“Kalau begitu, mantapkanlah hatimu untuk menikah dengan Shinichi.”
“Tapi, aku belum siap ...” aku masih berusaha menyatakan keberatan.
“Kalau berbicara tentang siap, tidak ada seorang pun yang siap! Sampai kapan pun tidak akan pernah siap!” ibu berkata tegas.
Kalau sudah begini, tidak ada yang bisa kulakukan.
“Kaori,” ibu meraih tanganku. “Cepat atau lambat, kau pasti akan menikah juga. Jadi, jalani saja pernikahan ini dengan senang hati, ya?”
Aku tidak menjawab. Tidak mengangguk, juga tidak menggeleng.
“Oh, iya. Berhenti menyebutnya laki-laki itu. Namanya Okumura Shinichi,” lanjut ibu.
“Ayah juga mengatakan hal yang sama,” kataku lemas.
Ibu tersenyum. “Sepertinya dugaan ibu tepat. Ibu rasa kau menyukai Shinichi.”
Dahiku berkerut. “Apa maksud Ibu?”
Ibu masih tersenyum juga. “Kau pikir ibu tidak tahu, ya? Waktu pertama kali melihat Shinichi, wajahmu langsung tersipu.”
Eh? Mukaku memanas mendengarnya. Bagaimana ibu bisa tahu?
“Tidak usah bingung begitu. Makanya, kau mau, ya, menikah dengan Shinichi?” ibu menepuk bahuku sebelum keluar kamar, meninggalkanku yang tercengang sendirian.
Begitu pintu ditutup, barulah aku tersadar. Benar, aku tersipu. Lalu kenapa? Wajah laki-laki itu memang sangat menarik perhatian, kok. Kurasa, setiap wanita normal juga pasti langsung terpana saat melihatnya. Apa ada masalah dengan itu? Aku terkesan bukan berarti aku menyukainya. Aku mau menikah dengannya hanya karena dia seorang Muslim. Itu saja.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Hankachi
EspiritualGara-gara bertabrakan dengan seorang laki-laki di depan Miyamoto Cafe, Kaori kehilangan saputangannya. Dia juga dipaksa ayahnya menikah dengan Okumura Shinichi, laki-laki yang sama sekali tidak dikenalnya. Suatu hari, Kaori menemukan saputangan yang...