➥¹³𝚚𝚞𝚒𝚎𝚝 𝚗𝚒𝚐𝚑𝚝

383 45 1
                                    

-ˋˏ ༻❁༺ ˎˊ-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-ˋˏ ༻❁༺ ˎˊ-

IA PANDANGI KOTA DENGAN HENING. Tak ada yang bisa ubah suasana hatinya sekarang, segala hal tentang wanita itu masih berporos pada benaknya—tak ada satu pun yang tertinggal. Bahkan detil kecil seperti senyum yang mereka serta tawa merdu miliknya masih menetap.

"Kau tidak pulang Kambe?" Suara Haru membuatnya melirik sekilas, lantas kembali menatap gedung pencakar langit.

"Nanti."

Haru membuang nafasnya, pandangi punggung Kambe dengan wajah bertanya. "Ada apa? Seminggu ini kau selalu pulang larut. Apa istrimu tidak khawatir?"

Apakah dia wanita yang seperti itu? Khawatir tentangnya? Jika iya, apa yang harus ia lakukan untuk membuat kekhawatiran wanita tersebut sirna, sebab Kambe terlalu pengecut.

"Baiklah sepertinya aku tidak bisa ikut cam—"

"Menurutmu, apa yang akan kau lakukan jika, kau mencintai wanita yang akhir-akhir ini menemanimu, dan membuatmu seolah lupa bahwa ada segudang masa lalu yang tak ingin kau ingat. Namun kau juga tidak bisa melupakan bahwa kau mempunyai rasa pada wanita yang dulu kau cintai padahal sudah lama kau ingin melupakannya."

Pria dengan surai coklat pudar posisikan dirinya di samping kiri Kambe, dua tangan disemat pada saku. Ia menimbang sejenak, sementara matanya ikut menatap gedung tinggi.

"Sejujurnya aku tidak tahu harus menjawab apa, tapi jika kau bertanya padaku mungkin aku akan menjawab. Kau harus mengikuti kata hatimu, apa kau bahagia, apa kau merasa dicintai atau tidak, apa kau merasa bahwa dengannya kau ingin melanjutkan hidupmu bersamanya. Maka jawaban tepat itu yang harus kau pilih," ujar Haru berharap jawabannya membuat Kambe mengerti.

*

Segala hiruk pikuk manusia padati kota, lanskap gedung tinggi dengan segala gaya futuristiknya mencoba hilangkan penat.

Ada figur yang berjalan dalam kerumunan orang, trotoar jalan ia tapaki guna mencapai tujuan. Sengaja tak membawa mobil sebab ingin nikmati malam penuh sesak dari bahagianya jiwa setiap insan berlalu lalang.

Memasuki sebuah restoran ternama, mata kelamnya mengerling hingga tertuju pada figur yang lama hilang tak ada kabar lalu hadir munculkan perkara hati. Tak serta merta menyapa, pria itu duduk dengan tenang hingga wajah si wanita mendongak dari layar gawai yang sedari tadi ia tatapi.

"Dai-kun, sudah lama ya?"

Daisuke hanya mengamati durja wanita yang sedikit berubah itu dalam diam, bibirnya belum sedikitpun terbuka sejak lima menit dirinya duduk pada kursi restoran.

"Kau tidak merindukanku?"

Tidak tahu. Kambe hanya bingung dengan perasaanya sekarang, "Dai-kun anone maaf—"

"Kenapa kau datang sekarang?"

"Eh?"

Hanya pertanyaan itulah yang sedari tadi ingin Kambe tanyakan, "Aku pindah bersama orang tuaku, belajar di sana dan juga belajar mengurus perusahaan Tou-sama."

Gelas berisi Sampanye sedikit diteguk oleh si pemuda, pupil jelaganya melirik dari bibir gelas. "Lalu bagaimana?"

"Apanya?"

"Di sana."

Wanita itu terkekeh, jemari lentik menyugar rambut blonde miliknya. "Kau tidak pernah berubah ya, masih irit bicara. Aku heran, apa ada yang mau menjadi istrimu?"

Netra tajam dibalik bulu mata dipoles maskara itu tengah menatapnya memicing, "Aku yakin wanita yang sedang mendekatimu akan muak dengan sikapmu."

Kambe menarik seutas senyum, "Kau juga sama, masih bermulut pedas."

"Hey, aku berbicara fakta tahu. Yah tidak semua wanita seperti itu, karena aku tidak termasuk." Ujarnya dengan senyum penuh arti dan saat itu Kambe tahu bahwa kalimat Emberly membawa dampak baginya.

*

Ia masuki rumah yang seperti tak berpenghuni, hanya lampu temaram terangi setiap sudut. Daisuke tidak pernah merasakan hal yang seperti ini, pulang dan tak mendapatkan sambutan. Rasanya seperti ada hal yang berbeda tak memenuhi ekspetasinya, kaki jenjang yang masih terbungkus celana hitam itu menelusur untuk mencari presensi yang sekarang memenuhi isi kepalanya.

Sudah berapa lama ia menghindari untuk menatap wajah itu, ia terhenti tepat pada ambang pintu, matanya menangkap figur yang tertidur pada ranjang besar.

Perlahan dekati daksa tersebut dan berdiri pada sisi tilam, mata perhatikan teduhnya durja yang terlelap. Tanpa sadar senyum terulas, mengerti bahwa dunianya sedang menggeluti mimpi.

Tindakan inisiatif tangan terulur untuk menarik selimut hingga tutupi pundak berkulit sita, jemari itu usap surai sang adiratna lembut hingga merasakan halus menyentuh epidermis, tubuhnya perlahan turun hingga condong ke depan.

Singkirkan untaian surai yang tutupi dahi, labium dingin milik pemuda jelaga tersebut sentuh kening sang maharani. "Maaf," gumamnya.

Ia benar-benar seperti seorang pecundang sekarang, yang hanya bisa terpaku pada insting labilnya saja.[]

[]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
𝐒𝐖𝐄𝐄𝐓 𝐄𝐒𝐂𝐀𝐏𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang