Chit-chat

16K 796 32
                                    

Sinta mengenakan pakaian lengkap yang tidak terlalu menimbulkan kesan sensual berlebihan, bahkan malah cenderung formal, menurut Hanum. Blusnya sedikit ketat, tidak menunjukkan belahan dada, tapi menampilkan seberapa besar payudara si pemakai. Tepian rok polos Sinta sekitar satu ruas jari dari atas lutut. Tidak ada yang aneh atau terlalu sensual dari pakaian ini.

Masalahnya, pikiran Hanum sudah terlanjur tersetel bahwa layanan escort ini termasuk sampai hubungan seksual. Sulit jadinya tidak berpikir bahwa pakaian Sinta semuanya mudah dilepas dalam hitungan detik.

“Ini pertama kalinya aku tahu nama lengkapmu lho,” kata Sinta. Ia duduk di sebelah Hanum dan menuangkan minum ke gelas. Aneh rasanya diladeni untuk hal-hal yang bisa Hanum lakukan sendiri. Masalahnya, ini bagian dari servis.

“Muncul di registrasi, ya?”

“Iya.” Sinta mengulum senyum. “Sri Endang Hanuman. Dan waktu SMA kukira 'Hanuman’ itu olok-olok aja, ternyata memang namamu gitu.”

“Bapak sama Ibuku katanya ketemu waktu nonton bareng pentas Ramayana,” Hanum menjelaskan. “Mereka terkesan banget sama scene yang ada Hanuman-nya dan entah gimana ceritanya mereka pikir keren ngasih nama anaknya 'Hanuman’. Mereka cerita waktu itu lagi booming ngasih nama anak pakai bahasa daerah atau Sanskrit, jadilah ….”

“Sebetulnya nama 'Sinta'-ku juga dari Ramayana. Tapi orangtuaku nggak konsisten, jadilah nama ujungnya 'Aphrodite’.”

“Cocok sih, soalnya kamu kan yang paling cantik di angkatan kita.”

Hanum langsung menutup mulutnya kembali. Kok bisa-bisanya dia spontan bilang begitu? Kalau situasinya mereka sedang mengobrol biasa, ketemu di kafe atau tempat makan, sama sekali tidak ada masalah, tapi status Hanum dan Sinta sekarang ini klien dan escort dan celetukan tadi jadi terdengar … “salah”.

Tapi Sinta meresponsnya dengan tawa kecil. “Makasih,” katanya. Entah reaksi ini adalah bagian dari formalitas pekerjaan atau Sinta benar-benar tulus. “Sekarang Hanum kerja di mana? Kalau lihat dari bajunya sih kerja kantoran ya? Jenis yang baju bebas asal rapi dan sopan?”

“Iya.” Hanum menarik kerah kemejanya sedikit. “Di kantor akuntan. Urusannya sama pajak tahunan dan laporan keuangan. Klien kita perusahaan menengah ke bawah.”

“Perusahaan besar punya tim akuntansi sendiri, ya?”

“Yap.”

“Udah berapa lama di kantor akuntan? Sejak lulus kuliah?”

“Kira-kira setahun sehabis lulus. Aku bantuin perusahaan temen di semester terakhir. Perusahaannya kongsi sama saudara, tapi sehabis jalan setahun, mulai deh PHK sana sini. Ganti model bisnis. HRDnya agak nggak beres kalau menurutku.”

“Mungkin karena bagian manajemennya sesama kenal, jadi sungkan kalau ada salah dan mau negur?”

“Bisa jadi.” Hanum tersenyum masam. “Habis itu aku keluar dan dapat kerjaan di tempat sekarang.”

“Betah di tempat sekarang?”

“Lebih betah.” Kali ini Hanum tertawa, teringat teman-teman sintingnya yang merencanakan hadiah ultah luar biasa ini. “Temen-temen kantor sekarang anaknya lebih gila-gilaan. Ini aku didaftarin di sini kan hadiah ultah dari mereka.”

Sinta kelihatan kaget. “Serius?”

“Iya.” Hanum menghindari bertatap mata dengan Sinta. Servis escort yang dipesankan teman-teman Hanum adalah yang paling VVIP. Paling mahal. Paling komplit sampai boleh meniduri escort-nya.

“Keren.”

“Ngomong-ngomong, Sinta ….”

“Ya?”

Hanum langsung menutup mulutnya dan minum. Dia hampir mengutarakan pertanyaan soal bagaimana ceritanya Sinta bisa sampai bekerja di tempat ini, tapi rasanya pertanyaan itu terlalu sensitif.

“Ya?” ulang Sinta. “Tadi mau bilang apa?”

“Nggak, nggak jadi.”

Sinta menuangkan minum lagi ke dalam gelas Hanum. “Boleh lho tanya apapun.”

“Nggak deh. Terlalu pribadi.”

“Aku jarang dapat klien VVIP kayak Hanum lho yang ngajak ngobrol duluan gini.” Sinta tersenyum. Senyumnya manis sekali.

“Biasanya … langsung … begitu?”

“Ada yang langsung, ada juga yang semacam dirty talk dulu.”

Hanum tidak kekurangan ilmu tentang hubungan sesama jenis, tapi jelas dia kekurangan referensi untuk jasa semacam escort ini. Di mana asyiknya begitu datang langsung bugil dan “main”?

“Yang jenis kedua itu ada yang lucu sih.” Sinta mengulum senyum. “Bilangnya 'Tante garap kamu semalaman sampai memek kamu nggak karuan’, tapi nyatanya dia baru satu jam udah ketiduran.”

“Buset.” Hanum tergelak. “Itu tante-tante? Umur berapa?”

“Kalau nggak salah empat puluhan. Yang pakai jasa ini banyak tante-tante umur segituan lho,” ujar Sinta serius. “Denger-denger mereka pakai sistem arisan. Tiap bulan ada sumbangan wajibnya buat bayar escort, terus diundi siapa yang dapat.”

“Mereka … single semua?”

“Seingatku malah banyak yang udah nikah. Sembunyi-sembunyi dari suaminya atau suaminya di luar negeri. Tapi ada juga yang suaminya udah meninggal.”

“Wow. Aku baru tahu.”

Sinta menyelipkan rambut ke balik telinga. “Makanya senang juga dapat klien sekali-kalinya kayak kamu, Num.”

Hanum jadi grogi. Dari awal sebenarnya dia berencana menghabiskan waktu bersama si escort dengan mengobrol ngalor ngidul dan tidur saja tanpa berhubungan badan. Tapi melihat escort-nya adalah teman saat SMA … pikiran Hanum jadi malah teringat cerita-cerita dan komik-komik yang dibacanya. Plot “teman masa kecil yang bertemu kembali saat dewasa berakhir dengan pengakuan cinta (dan seks ekstra panas)”.

Tapi Hanum sama sekali tidak ada perasaan apa-apa pada Sinta, dari dulu sampai sekarang, jadi plotnya berbeda. Plot cerita Hanum hari ini adalah dia tergoda untuk berhubungan badan dengan teman SMAnya. Murni birahi. Sama sekali tidak romantis.

“Sinta, kamu … udah makan belum?” tanya Hanum, berharap bisa mengulur waktu dan meredakan birahinya. Setahunya, seorang escort boleh diajak jalan-jalan asalkan masih dalam radius tertentu.

“Memangnya kamu belum makan?”

“Udah sih ….” Wajah Hanum merah padam. “Aku … grogi, Sin ….” Akhirnya ia mengaku.

Hanum dan Sinta [R18] [GxG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang