Bare Naked Ladies

20.8K 718 11
                                    


Entah sejak kapan, display hologram muncul di meja kecil dalam ruangan, menampilkan statistik mendetail tentang Sinta, termasuk kapan terakhir ia melakukan pemeriksaan kesehatan. Hanum melihatnya sekilas saat ia menanggalkan pakaiannya sendiri.

Hanum merasa wajahnya panas. Sinta tertawa pelan dan meletakkan kedua belah tangan di wajah Hanum. Tangan Sinta terasa dingin.

"Padahal cuma aku yang telanjang juga tidak apa-apa lho," kata Sinta.

"Rasanya ... nggak fair kalau gitu," gumam Hanum. Ia mengarahkan pandangannya ke tempat lain, salah satu usahanya menahan diri.

"Memang kalau dua-duanya telanjang lebih enak juga sih."

Jawaban Sinta serasa membuyarkan seluruh usaha Hanum untuk menahan diri. Hanum mendorong Sinta perlahan hingga rebah di atas sofa, mencium bahu dan leher si escort. Tubuh mereka bersentuhan.

Hanum menyentuhkan pangkal paha ke selangkangan Sinta, hanya berniat memberikan sedikit rangsangan tambahan. Respons Sinta agak di luar dugaan: ia dengan sengaja menggesekkan bagian luar kemaluannya ke paha Hanum.

Sinta mendesah. Gerakannya tidak terburu-buru, terkendali, berirama, dan ... merangsang.

Jangan cium bibir lagi, kata suara di ujung jauh benak Hanum yang terasa berkabut. Lakukan yang lain selain cium bibir.

Hanum tak mempertanyakan kenapa dia berpikir demikian. Yang pasti, Hanum menuruti perkataan tersebut dan selama beberapa saat menyibukkan diri dengan dada Sinta: mengulum dan menjilati yang satu, sementara tangannya meremas yang satu lagi.

"Mmm ... ah ...." Sinta melingkarkan tangan di sekeliling leher Hanum, menarik si klien ke dadanya. "Enak ...."

"Boleh masukin jari?" bisik Hanum. Ia masih menahan diri. Pikirannya yang berkabut gencar mendesaknya bermain lebih liar dan lebih berani, tapi Hanum merasa belum waktunya.

Sinta menjawab pertanyaan dengan mengarahkan tangan Hanum ke kemaluannya. Hanum menyentuh perlahan permukaan luarnya.

"Mmh ...."

Satu jari menyelusup masuk. Lancar dan mudah.

"Ah ... mmm ...."

Satu jari lagi.

Sekelebat, Hanum bertanya-tanya apa Sinta memasang selaput dara artifisial setiap kali mendapat klien untuk memberi kesan si klien memerawaninya. Dari yang pernah Hanum dengar, ada cukup banyak yang menganggap bahwa merobek selaput dara adalah suatu pencapaian, bahkan meskipun mereka tahu ada versi buatan untuk bagian tubuh tersebut. Sekarang ini tidak aneh mendapati seseorang bisa berulang-ulang diperawani, tapi kebanggaan yang berasal dari masa lebih primitif itu tetap ada.

Hanum tidak terlalu memikirkan soal itu. Segalanya saat ini terasa tidak riil, jauh, mengambang, samar-samar, dan ... perasaan ... nikmat?

Ketika benak Hanum sedikit menjernih, ia mendapati dirinya agak menindih Sinta, dan menggerakkan tubuhnya seiring dengan gerakan jarinya, seakan-akan dia pria yang tengah mempenetrasi pasangannya. Desahan Sinta mulai diselingi pekikan tertahan.

"Ah! Ah! Mmm!"

Hanum membenamkan jarinya ke dalam kemaluan Sinta dan menyentuh langit-langit, mengusap sedikit keras.

"Ah! Aaah!"

Sinta tersentak. Ia memeluk Hanum erat-erat. Hanum tersengal. Rasanya ada yang berputar di dalam perutnya, di bawah pusar. Jari Hanum terhimpit erat dan menggerakkannya sedikit membuat tubuh Sinta menggelinjang.

Seiring desahan lega, Sinta melepaskan pelukannya, dan rebah di atas sofa. Napasnya tersengal. Hanum pelan-pelan mengeluarkan jarinya dari dalam Sinta.

"Mau minum?" tanya Hanum pelan.

"Boleh." Sinta tersenyum. "Air aja."

Saat beranjak dari sofa, Hanum baru menyadari selangkangannya begitu basah, hingga bagian dalam pahanya.

Dan ia tidak sengaja menyentuhkan bagian yang saat ini luar biasa sensitif itu ke kaki Sinta.

"A—!"

Rasanya ada yang meledak. Hanum kehilangan keseimbangan dan bahunya terantuk meja, tapi dengan sensasi dahsyat yang menyebar ke seluruh tubuhnya, Hanum sesaat tak menyadari apa yang terjadi.

Ketika segalanya reda, Hanum mendapati dirinya terbaring di lantai yang berlapis karpet tebal. Rasa dingin perlahan menyebar mulai dari punggungnya, meredakan sensasi intens yang tadi menggulung Hanum.

"Hanum?" Suara Sinta terdengar khawatir, sekaligus agak geli bercampur tak percaya. "Nggak apa-apa?"

Wajah Hanum langsung terasa panas.

Dia orgasme gara-gara selangkangannya tidak sengaja menggesek lutut Sinta.

Ini memalukan.

Kok bisa segitunya?

"Nggak apa-apa." Hanum tidak berani menoleh ke arah Sinta. Ia berdiri, meyakinkan bahwa pijakannya mantap dan dia tidak akan oleng sebelum mencapai meja yang jaraknya bahkan kurang dari dua meter dari sofa, lalu mengambilkan minum untuk Sinta.

Hanum dan Sinta [R18] [GxG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang