Chapter 42

464 97 21
                                    

Nissa sedang menyuapi April bubur. Pagi-pagi sebelum berangkat sekolah Nissa menyempatkan diri untuk melakukan hal itu. Nissa itu memang tipr-tipe menyebalkan, kekanak-kanakan dan besar kepala. Tapi perlu diketahui, Nissa tidak pernah main-main soal persahabatannya. Apalagi kepada April, sudah dia anggap sebagai saudara sendiri.

"Kak Nissa kayak biasa, kan, berangkat sama Aji?"

Nissa menurunkan mangkuk yang ada di tangannya. Dia melipat bibir, lalu menggeleng. Di hari pertama April siuman, Nissa dan Fajri mengaku kalau mereka sudah baikan, padahal tidak. Itu hanya untuk membuat April senang dan tidak terus kepikiran.

"Ril, sorry, ya, sebenernya gue sama Aji belum baikan."

Tapi sepertinya kerja sama Nissa dan Fajri kurang tepat. Buktinya sekarang April langsung merubah mimik wajahnya. Apa April marah? Nissa hendak menyuapi April lagi, tapi April menolaknya dengan cara menggeleng.

Tuh, kan, April benar marah. Nissa harus mengalihkan topik pembicaraan. Kenapa juga harus bilang sekarang? Memang mulut Nissa tidak dapat dijaga.

"Ril, makan lagi," bujuk Nissa menyodorkan sendok tepat di mulut April.

"Udah kenyang, Kak."

"Baru aja dua suap." Hening, April malah semakin memalingkan kepalanya ke samping yang lain. "Ril ... lo marah, ya?"

Masih belum ada jawaban yang keluar dari mulut April. Nissa berembus kasar lalu menyimpan mangkuk bubur di nakas. Pelan, tapi sedikit menibulkan bunyi. Nissa sedikit kesal karena cukup lama April mengabaikannya.

"Ril—"

"Aku nggak marah, Kak."

Karena suasananya semakin canggung, Nissa memutuskan pamit karena dirinya harus sekolah. Nanti siang Nissa akan merubah suasana lagi, pasti. "Gue sekolah dulu, lo baik-baik."

Nissa menyampirkan tasnya di pundak, lalu mengambil langkah menuju pintu.

Sesekali Nissa masih mencuri pandang dengan terang-terangan. Sepertinya April marah beneran. Nissa mengembuskan napas berat lalu turun ke bawah. Tidak lupa berpamitan kepada Tari, ada Fenly juga di sana.

Setelah menutup pintu rumah April, langkah Nissa terhenti karena seseorang berhasil meraih tangannya.

"Lo apa-apaan pakek bilang gitu sama April?" sembur seseorang yang tiba-tiba muncul di balik tembok.

Nissa mengempaskan tangannya dari cekalan Fajri. "Dari tadi lo ngintipin gue sama April?" Benar, Fajri tadi hendak masuk ke kamar April. Namun, dia berhenti di balik pintu setelah mendengar suara Nissa di dalam sana, dan jadi lanjut menguping.

"Menurut lo?"

"Gue capek pura-pura akur terus di depan April. Sedangkan gue emang udah terlanjur muak sama lo. Lebih baik April tahu semuanya dan nggak ada sandiwara lagi diantara gue sama lo," ujar Nissa masih dengan kesabarannya.

"Egois, lo bener-bener egois, Nis. Yang lo lakuin ini bisa bikin April tambah kepikiran. Bisa nggak sekali aja lo gak mikirin diri sendiri. Katanya lo sayang sama April, tapi mana buktinya?" kata Fajri dengan pertanyaan yang menantang.

"Justru karena gue sayang sama April, gue bilang yang sejujurnya sama dia. Gue gak mau kasih harapan terus sama April kalau gue sama lo udah baik-baik aja, padahal nggak!"

"Ini bukan waktu yang tepat. Lo umur aja yang tua, pikiran lo emang bener-bener sempit. Sebenernya yang lo mau itu apa, sih, ha? Lo mau lihat April menderita? Lo mau lihat April kayak gimana?!" bentak Fajri.

Tidak, Fajri kelepasan meninggikan suaranya. Entah sejak kapan, Fajri jadi seolah kasar seperti ini kepada perempuan. Mata Nissa mulai berembun, pipinya juga sudah memerah. Tapi Nissa berusaha untuk tidak meloloskan air matanya, sebisa mungkin ia harus menahannya.

Fajri baru menyadari beberapa detik lalu, lagi dan lagi membentak seseorang yang disukainya. Apa ini saat yang tepat untuk Fajri mengalah? Keadaannya pun sudah semakin kacau. Iya, Fajri harus meminta maaf detik ini juga. Atas kejadian beberapa pekan terakhir. Walaupun menurutnya bukan dia yang salah.

Ini saatnya Fajri membuktikan kalau dirinya gentle.

Baru saja Fajri keceplosan melontarkan kata maaf kepada Nissa, tapi suara klakson motor menggagalkannya. Nissa dan Fajri sama-sama menoleh ke sumber suara.

"Gue benci lo!" seru Nissa, setelah itu dia keluar gerbang menaiki motor yang barusan memberi kode. Si pengendara motor pun membuka kaca helmnya kemudian menganggukkan kepada Fajri.

Fajri tidak menggubrisnya. Malas sekali, pikirnya. Untung saja perkataan maaf itu belum sempat diucapkan. Nyaris saja dia menyesali itu. Lebih baik dia menemui April, sesuai dengan niat awalnya.

Masih ada waktu lima belas menitan sebelum bel masuk. Mungkin nanti Fajri akan mengendarai motornya dengan kecepatan penuh, entahlah. Atau mungkin merelakan dirinya terkena hukuman karena terlambat.

***

"Akhir-akhir ini muka lo dilipet terus perasaan," celetuk Fiki dengan dua cup minuman di tangannya.

Fajri menyenderkan punggungnya di tembok kelas dan mengangkat kedua  kakinya ke atas meja. Kalau pak Ricky lihat bisa habis dia kena omelan.

"Mana dari pagi diemin gue lagi," lanjut Fiki sembari memberikan satu minumannya. Fiki nyogok, ya, supaya Fajri tidak mendiamkan lagi?

"Lo kenapa tadi dateng di waktu yang nggak tepat, sih, Fik? Hampir aja tadi gue mau—"

"Nembak Nissa?!" seru Fiki heboh.

"Minta maaf sama dia. Nembak-nembak pala lo."

Tadi pagi itu Fiki, karena Fiki masih menjalankan misi yang diberikan Fajri untuk menjaga Nissa, mengantar dan menjemput Nissa sekolah. Itu juga kalau Nissa tidak dengan Farhan.

Salah satu alasannya, waktu itu Fajri melihat Nissa kehujanan di halte depan sekolah. Melihat itu, Fajri membuang rasa kecewanya dulu terhadap Nissa. Dia menghampiri Nissa dan mengajaknya pulang, tapi Nissa tidak mau. Katanya dia sedang menunggu Farhan.

"Lo ngapain masih di sini? Gerimis gini, pulang!"

"Nuggu pacar gue, dan lo nggak usah cari muka."

"Percuma lo nungguin si tengil Farhan, palingan dia udah pulang duluan sama pacarnya," kata Fajri masih setia di atas motor.

"Gue pacarnya."

"Sayang, bukan satu-satunya."

"Aji!"

Itu salah satu, karena Fajri beberapa kali melihat Nissa menunggu di gerbang sembari memainkan ponselnya. Dan tanpa seorang pun yang tahu, Fajri juga diam-diam berantem lagi dengan Farhan waktu itu.

Sejak saat itu, Fajri memutuskan untuk menyuruh Fiki jadi sopirnya Nissa dan jelas Fiki tidak dapat menolak itu. Kata Fiki itu rezeki.

"Aji? Lo dengerin gue ngomong nggak, sih?"

Fajri terbangun dari lamunannya, dia menghirup oksigen kuat-kuat dan mengembuskannya lesu.

"Fik, nanti pemantapan izinin gue, ya?"

"Lo kenapa, sih, sakit?" tanya Fiki sok perhatian, menempelkan punggung tangannya di kening Fajri.

Fajri tidak menggubris, dia mengerubungi kepala dengan jaket lalu membaringkannya di atas tumpuan tangan. Ada waktu sepuluh menit sebelum istirahat berakhir, tidur lebih baik.

"Aji, lo sakit beneran?"

__________

Ini double up, ya, cek part sebelumnya takutnya kelewat hihi.

Bandung, 25 Februari 2020.

Tentang Kita | FAJRI UN1TY [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang