Chapter 41

436 101 22
                                    

Umur itu takdir. Takdir yang sudah ditentukan dan tidak dapat diubah. Itu sudah kehendak Tuhan. Ada ribuan orang di luar sana yang divonis dokter tentang berapa lama lagi detak itu akan bertahan. Yep, orang-orang si pemilik penyakit yang mematikan seperti April contohnya.

Hari ini semua orang mengucapkan syukur kepada Tuhan. Transplantasi berjalan dengan lancar dan berhasil. Tari sebagai pendonor menangis bahagia di pelukan Farida. Iya, Tari yang mendonorkan sumsum tulang belakangnya untuk sang anak, karena memang cocok.

Tadinya dokter Keenan ragu mengizinkan Tari sebagai pendonor. Karena kesuksesan mendonor sumsum tulang belakang orangtua dan anak kemungkinannya kecil dibandingkan dengan saudara kandung. Jika dibandingkan, 25% kesuksesan antara saudara kandung dan hanya 0,5 persen untuk kecocokan antara orangtua dan anak.

April masih belum boleh ditemui siapa pun sampai keadaannya benar-benar stabil dan siumam. Sedangkan Tari masih mendapatkan penanganan lebih dari Fenly.

Di sini kita saksikan aksi Fajri dan Nissa yang diam-diaman sok sibuk dengan diri sendiri. Fajri dengan ponselnya yang sesekali mencuri pandang ke arah Nissa yang sedang duduk berdampingan dengan Farida.

Fajri beranjak, mendekat ke tempat Farida dan Nissa duduk. Nissa langsung memutar bola matanya malas, dia pikir Fajri hendak menghampirinya. Ternyata Fajri perlunya dengan sang Bunda.

“Bunda kayaknya capek, mau pulang dulu? Biar yang di sini Aji sama om Arman aja. Bunda sama lo,” Fajri terpaksa melirik Nissa, “pulang dulu aja,” kata Fajri setelah duduk di samping Farida. Dia menurunkan jaket yang disampirkan di pundaknya.

Pulang sekolah, Fajri dan Nissa tidak ke rumah, tapi langsung mampir ke tempat ini. Tentunya yang lagi dan lagi Nissa diantar Farhan seperti sebelumnya. Iya, memang mereka belum resmi berbaikan juga. Entahlah dua insan ini nyatanya memang sama-sama keras dan egois.

“Mendingan Aji sama Nissa, gih, yang pulang dulu. Kalian ganti baju dulu sama isi perut. Pulang sekolah langsung ke sini pasti belum makan siang, kan?”

“Nggak mau, Bun, aku mau di sini sampai April buka mata. Lagian males banget harus pulang dibonceng si Tengil,” ujar Nissa dengan nada merajuk.

Farida tersenyum, dia tidak tahu kalau anaknya dan salah satu sahabatnya sedang ada masalah. Tapi mendengar sapaan yang Nissa buat untuk Fajri, Farida jadi curiga kalau sedang ada sesuatu diantara mereka. Terlebih lagi sekarang Nissa main ke rumahnya kalau Fajri sedang tidak ada di rumah.

Untungnya juga, kejadian Fajri dan Farhan berantem tidak sampai harus membawa orang tua. Jadi, Farida tidak tahu-menahu mengenai hal tersebut. Beda lagi awal kejadian berantem yang pertama, masalahnya sampai merembet ke orang tua.

“Kalian lagi slek, ya? Anak-anak bunda ....” Farida merangkul pundak Fajri dan Nissa. “Bunda nggak mau ikut campur, ah, biar kalian yang selesain sendiri. Wajar, kok, karena emang kehidupan remaja itu cukup kompleks. Apalagi lagi labil-labilnya kayak kalian, kadang masalah kecil juga di besar-besarin. Yang bunda bilang, bener?”

Iya, Bunda, bener banget.

Sejenak Farida menengok dua orang yang sedang dirangkulnya bergantian. “Ji, bunda percaya sama kamu, kalau kamu bisa ngelindungin Nissa sama April. Dan inget, ya, sebenci apa pun kamu sama seseorang apalagi itu cewek, jangan sampai kamu berlaku kasar. Ini berlaku bukan cuma buat Nissa sama April, tapi juga semua orang yang kamu kenal.”

Ucapan Farida yang berbau nasehat tersebut membuat hati Fajri tersenggol. Dia jadi teringat kejadian tempo hari yang sudah membentak Nissa, lalu kejadian lain menabrak bahu Nissa yang dirinya sendiri tahu, kalau itu keras banget.

Tapi balik lagi, Fajri kukuh kalau dirinya tidak salah. Dia seperti itu karena ada alasannya. Kata Farida barusan “Sebenci apa pun”. Tapi Fajri tidak membenci Nissa sedikit pun. Dia tidak akan pernah membenci seseorang yang dia sayang dan sukai.

Tentang Kita | FAJRI UN1TY [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang