"Bun, hidup berjalan seperti Mas Ean~"
Suara Ical terdengar sesaat setelah masuk ke dalam rumah. Bukannya salam anak itu malah bernyanyi. Padahal hari sudah malam.
Tidak patut dicontoh ya teman-teman.
Ean menoleh memasang wajah bertanya. "Eh apa pulak?"
"Bajingan~"
"Kurang ajar."
Dengan brutalnya Ean memukul Ical dengan sebotol air mineral yang masih tersisa seperempat.
Rama menghela nafas melihat tingkah kedua saudaranya itu. Mereka baru saja pulang membeli makanan untuk si bungsu yang sepertinya sedang bersedih (lagi). Kebetulan saja mereka bertemu di depan gerbang tadi. Ditangannya, Rama membawa sekotak martabak manis dengan toping coklat kesukaan Aksa.
Sengaja dibelikannya untuk sang adik tercinta yang sepertinya marah kepadanya. Sebenarnya Aksa itu mudah sekali dibujuk. Dengan makanan misalnya. Anak itu pasti akan luluh. Apalagi kali ini Ean dan Ical juga membawa makanan.
Tanpa menghiraukan Ical yang masih dianiaya oleh Ean. Rama berjalan menaiki tangga. Niatnya anak itu ingin meminta maaf kepada si bungsu. Bagaimanapun dia tetap merasa bersalah. Tapi dia merasa bingung, karena tak biasanya jam segini Aksa sudah berada di kamar.
Biasanya adiknya itu akan menonton acara talk show di TV. Namun hari ini anak itu bahkan tak terlihat padahal ini masih pukul sembilan lebih lima belas.
"Mas ikut!"
Rama berdecak saat Ical berlari ke arahnya diikuti Ean yang juga masih membawa botol minumnya tadi.
"Rusuh banget sih kalian."
"Mas Ean tuh." Ical menunjuk Ean dengan dagunya.
Ean tak terima dan memukul kepala Ical sekali lagi dengan botolnya. "Enak aja!"
Daripada mendengar perdebatan itu, Rama memilih melangkahkan kakinya menuju kamar Aksa yang berada di pojok, di samping kamarnya. Ical dan Ean yang menyadari langsung ikut menyusul dengan saling mendorong.
"Awas!"
"Mas Ean yang awas!"
"Abang yang awas lah."
"Mas Ean yang tua yang ngalah!"
"Males orang Mas dulu—"
Ucapan Ean berhenti saat melihat Rama tak kunjung membuka pintu kamar si bungsu. Suara Aksa terdengar serak.
"Iya,"
"Iya, Aksa marah sama Papa." Tak lama terdengar suara Aksa yang menangis.
Ean menatap Rama yang masih enggan membuka pintu. Bahkan Rama hanya menatap pintu bertuliskan nama Aksa di sana.
"Kasih tau Aksa. Kasih tau Aksa yang sebenarnya."
Hanya ada suara Aksa di sana. Dan sesekali terdengar sahutan yang tidak terlalu terdengar. Aksa pasti sedang bertelepon dengan Papa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta Milik Papa [Selesai]
Fanfic"Kalian adalah hadiah paling indah yang pernah Tuhan berikan kepada Papa."