Jay tidak akan pernah lupa dengan senyum indah milik mendiang istrinya. Diana. Sosok periang yang senang sekali tersenyum. Hadirnya bagai matahari pagi yang menghangatkan. Jay juga tidak pernah lupa bagaimana sosok itu memeluknya erat dibawah derasnya hujan di awal bulan Februari.
Bulan yang seharusnya menjadi bulan baik untuk dirinya, namun menjadi awal pelik yang diderita.
Februari, 22 tahun yang lalu. Jay tidak pernah terpikir akan seperti ini. Menjadi anak tunggal yang kesepian membuatnya terus-menerus mengemis kasih sayang. Untuk pertama kalinya bagi Jay remaja merasakan kehancuran. Ayah dan ibunya bercerai karena saling berkhianat.
Ayah dengan wanita lain yang diperkenalkannya sebagai sekretaris ternyata memiliki hubungan yang lebih dalam. Juga Ibu dengan salah satu pelanggan setia tokonya. Hatinya seperti ditimpa kiloan batu tajam. Melukai dan menyesakkan hati.
Seharusnya Jay tahu lebih awal. Seharusnya dia tahu kalau yang ditunjukkan oleh kedua orangtuanya adalah topeng semata. Hari-harinya berlalu tanpa warna. Sampai kala dia bertemu dengan Diana. Gadis berparas cantik yang selalu ditemuinya di toko bunga. Gadis yang selalu membeli setangkai bunga matahari.
Gadis itu dengan tangan terbuka memeluknya erat. Menjadi topangan kuat untuk hatinya yang terluka. Setelahnya mereka menjadi dekat. Berbagi cerita dan memiliki satu sama lain. Kini hari-hari miliknya berubah cerah seperti bunga matahari yang selalu dibeli oleh Diana.
Bertahun-tahun setelahnya, Jay dengan lantangnya meminta Diana agar menjadi miliknya. Hal itu tentu saja diiyakan oleh Diana. Singkatnya mereka memutuskan untuk menikah.
"Diana, aku tau aku bukan laki-laki sempurna. Jadi, sempurnakan aku. Mari hidup bersama."
Ucapan Jay tak urung membuatnya tertawa. Jay itu kaku. Sangat kaku, tampangnya yang bak seorang pangeran membuat banyak wanita mendekatinya. Namun Jay dengan polosnya menolak dan berkata,
"Maaf, saya tidak suka kamu."
"Maaf, saya sudah punya Diana."
Bukan satu dua wanita yang pernah ditolaknya.
Pernikahan mereka dilangsungkan sederhana. Diana yang memintanya. Wanita itu tidak menyukai kemewahan. Bahkan awal pertama pernikahan mereka, Diana mengajak Jay untuk tinggal di kontrakan. Namun hal gila itu jelas-jelas ditentang oleh keluarga keduanya.
Setahun setelah keduanya menikah, mereka dianugerahi putra kembar mereka. Sepasang putra kembar mereka yang sangat tampan. Dua tahun setelahnya mereka kembali dianugerahi oleh seorang putra. Si kembar yang kala itu masih terlalu kecil juga sangat rewel.
Keduanya memutuskan untuk mencari pengasuh untuk membantu Diana mengasuh ketiga putranya. Ketiganya tumbuh begitu menggemaskan. Rama dan Ean yang tidak banyak bicara disandingkan dengan Ical yang tak pernah berhenti mengoceh. Membuat keluarga sederhana itu terasa begitu ramai.
Awalnya Jay menginginkan satu anak perempuan di keluarganya. Keduanya sepakat untuk kembali memiliki anak. Namun kehendak Tuhan mengatakan sebaliknya. Diana kembali melahirkan anak lelaki. Begitu mungil karena memang belum cukup umur.
Anak bungsunya terlahir prematur. Alih-alih menolak, Jay malah merasakan keinginan untuk melindungi putra kecilnya itu. Bayang-bayang bagaimana Diana yang kesakitan karena terpeleset di kamar mandi membuatnya merasa bersalah.
Keluarga kecil milik Jay hidup begitu bahagia. Jay dan Diana menjadi pasangan yang harmonis. Tidak pernah bertengkar hebat, orang-orang mungkin berkata berlebihan namun itu kenyataan. Hanya ada keributan kecil yang terjadi. Itupun karena Jay yang terlalu memanjakan putra-putranya. Membuat Diana marah karena takut anak-anaknya akan menjadi manja dan memanfaatkan kebaikan ayahnya.
"Kan aku udah bilang, Jaiz! Anak-anakku jangan dikasih es terus!"
Suara Diana terdengar begitu marah. Wanita yang mengenakan daster bermktif bunga itu menopang tangannya di pinggang. Membuat Jay yang berdiri di depan pintu dengan Aksa digendongnya hanya tersenyum canggung menatap istrinya itu.
Sedangkan keempat putranya malah terkekeh lucu menatap ke arah ayah mereka. Akhirnya Jay mendapatkan hukuman dengan menjemur seluruh pakaian basah yang baru saja dicuci oleh Diana. Sedangkan Diana dan anak-anaknya bersantai di ruang tengah menikmati tontonan mereka.
"Mama! Mama kok sering marahin Papa sih?" Rama kecil bertanya dengan tatapan polos.
Putra sulungnya itu pemerhati yang baik. Padahal umurnya baru saja genap enam tahun. Walau terlihat cuek. Berbeda dengan Ean yang memang benar-benar cuek, kecuali dengan adik bungsunya.
"Papa nakal sih. Jadinya Mama marahin deh."
"Tapi, Mama. Papa baik lho. Papa beliin kita es kyim." kali ini si bungsu yang bersuara. Ketiga saudaranya mengangguk menyetujui tetapi masih sibuk menghabiskan es krim mereka masing-masing.
Wajahnya yang belepotan karena selai coklat yang dimakannya membuatnya terlihat lebih menggemaskan. Diana memekik gemas melihatnya. Mengelap wajah Aksa dengan tisu basah. Mengangkat tubuh si kecil ke atas pangkuannya dan mencium setiap inci wajah Aksa.
"Ya karena itu Papa dihukum."
"Loh kok gitu sih." lagi-lagi Rama bertanya.
Diana senang sekali dengam Rama yang senang bertanya. Rama itu memang terlihat seperti tidak perduli akan sekitarnya, tetapi kenyataannya anak sulungnya itu adalah anak dengan keingintahuan yang besar.
"Kalau Papa terus-terusan kasih kalian es, nanti pada sakit. Mas Rama, Mas Ean, Bang Ical sama Adek nggak mau sakit kan?"
"Nggaaaa." kompak keempatnya menjawab. Mata bulat dan wajah menggemaskan itu tak mungkin tidak membuat Diana gemas.
Satu harian penuh mereka bersantai-santai saja. Karena hari ini libur dan mereka tidak ingin pergi kemana-mana, jadi mereka memutuskan untuk menonton saja. Film yang dipilih adalah kartun dengan karakter mobil yang dapat berbicara.
Semuanya larut dalam suasana film. Jay tersenyum menatap istri dan anak-anaknya yang tertawa. Senang sekali rasanya memiliki mereka. Jay bersumpah untuk terus menjaga senyum dan tawa milik mereka.
Ini cuma kilas balik ya sayang sayang. Biar semesta milik Papa nggak berdebu banget hihi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta Milik Papa [Selesai]
Fiksi Penggemar"Kalian adalah hadiah paling indah yang pernah Tuhan berikan kepada Papa."