Langit angkasa sedang mendung. Awan hitam seolah dengan lantang mengatakan bahwa ini adalah masanya untuk datang. Tangisan mengiringi kepergian Jaiz. Keluarga serta kerabat mengantarkannya sampai di peristirahatan terakhirnya. Bergantian menabur bunga di gundukan tanah basah itu.
Sebelumnya Aksa pernah merasakan ini. Merasakan ketakutan akan kehilangan. Berulangkali menenangkan diri namun lagi-lagi hati berteriak nyeri. Aksa tidak pernah ingin hari-hari itu terulang kembali. Kala semua orang menatap orang kesayangannya dengan tatapan sendu dan mata yang memerah juga basah. Aksa tak pernah ingin terbiasa akan rasa sakit yang sulit sekali terobati. Aksa tak ingin kehilangan lagi.
Kepergian Mama bahkan belum hilang dalam bayang-bayang sakitnya. Luka yang nyaris mengering itu kini kembali terkoyak dan berdarah. Aska tidak ingin merasa sakit lagi. Dia hanya ingin bahagia bersama Papa dan kakak-kakaknya. Juga Mama yang kini tinggal di hatinya.
Tapi sepertinya Tuhan ingin menguji Aksa sekali lagi. Tuhan ingin mengetahui seberapa kuat dan tabah dirinya. Tapi Aksa bukan seseorang yang akan kuat dan tabah saat salah satu alasannya bertahan satu persatu kembali kepelukan Tuhan.
Aksa hanya seorang anak yang lemah.
"Yang tabah, ya, Sa."
Satu persatu teman-temannya menghampirinya. Mengusap bahunya pelan sembari mengucapkan kalimat itu berulang kali.
Aksa hanya diam tak menjawab. Kini yang dilakukan olehnya hanya terduduk di samping nisan dengan nama ayahnya disana dengan pandangan kosong.
“Jaiz Abyan Angkasa
bin
Danuarta Angkasa
Lahir: 14 Februari 1980
Wafat: 27 Desember 2020”Papa memilih menyerah dan pulang. Meninggalkan Semesta miliknya yang sedang diterjang angin topan. Pagi itu, bahkan sebelum fajar menyingsing. Papa lebih memilih menyusul Mama ke surga. Jadi Semesta miliknya tidak boleh bersedih. Karena Papa dalam perjalanan pulang ke rumah. Sebentar lagi Mama akan menyambut lelah Papa dengan senyum seindah bunga matahari kesukaannya. Karena Mama tahu kalau Papa pasti sudah lelah berjuang. Dan sekarang adalah waktunya untuk pulang.
"Papa pulang, ya?"
Pertanyaan itu terus dilontarkan sang ayah sejak malam tadi. Setelah selesai mereka memeluk satu sama lain. Hanya Rama, Ean, dan Ical yang berani menjawab. Berkata kalau tak apa kalau Papa ingin tertidur. Tapi sepertinya Papa menunggu jawaban dari si bungsu. Sampai akhirnya sang ayah tertidur, Aksa tak menutup mata.
Aksa takut kalau nanti ketika netranya terpejam. Papa juga ikut pergi dari pandangannya. Dia takut. Sangat takut. Bahkan sedari tadi, yang dilakukannya hanya menatap dada sang ayah yang bergerak naik turun seperti tergesa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta Milik Papa [Selesai]
Fiksi Penggemar"Kalian adalah hadiah paling indah yang pernah Tuhan berikan kepada Papa."