Panas terik membakar permukaan aspal-aspal yang kian terlihat mongah-mongah di antara gedung-gedung dan toko-toko yang berdiri dengan tegaknya. Hembusan angin yang kering tak memberikan kesejukan sedikit pun. Malah menambah kegerahan di tubuh orang-orang. Tak terkecuali pada tubuh-tubuh manusia yang sedang sibuk mengaduk semen dan pasir di seberang jalan Ir. Sutami. Baju mereka basah oleh keringat yang sejak dari pagi bebas terjun ke dasar muara. Kening yang meranggas bersama keringat yang menjadi mata air, yang nantinya tetesan itu akan menjadi lembaran-lembaran kertas bertuliskan angka. Angka yang bisa ditukarkan satu bungkus nasi sayur. Bisa juga nasi ayam, nasi telur, nasi ikan, nasi kuah, dan apa pun itu.
Tangan-tangan mereka masih sibuk mengangkat ember berisikan adukan adonan pasir dan semen untuk membangun tembok. Kaki mereka masih menahan beban mengangkat bahan bangunan yang harus dibawa menuju atas. Punggung mereka masih menggendong karung sak semen bercap tiga gajah menuju tempat pengadukan.
Bangunan yang dibangun ini cukup besar. Berada di pinggir jalan raya membuat keadaannya semakin strategis. Kata bos, bangunan ini akan dipakai untuk dijadikan rumah makan bergaya klasik. Bergaya adat Jawa. Itu yang mereka dengar dari bos mandor proyek ini. Ya mau dibuat apa pun nantinya yang namanya kuli hanya sebagai tangan dan kaki yang sedia melakukan apa saja yang diinginkan oleh otaknya. Mau memanjat langit atau menendang pegunungan pun akan dilakukan.
Proyek ini sudah berjalan empat bulan, rencananya pada bulan keenam harus sudah selesai bentuk bangunannya. Lalu, akan dilanjutkan oleh para ahli furnitur agar lebih cantik bakal rumah makan bergaya klasik Jawa itu. Sejak pagi orang-orang sibuk itu berendam di teriknya matahari. Hingga bayangan kepala mereka tepat tegak berada di bawah matahari. Tepat di atas kepala disusul azan-azan yang bergema dipantulkan bangunan dan kendaran yang lalu lalang.
"Surya, istirahatlah dulu! Makanlah dulu! Lalu, sembayanglah! Setelah itu kau makan dulu! Pakdhe menyusul. Pakdhe mau beli the di warung seberang. Kau akan Pakdhe belikan juga." Perintah Pakdhe pada Surya sambil berjalan hendak menyeberang jalanan yang padatnya semakin menjadi-jadi di tengah siang hari.
Surya melaksanakan semua apa yang diperintahkan pamannya itu. Pakdhe Mariman adalah paman yang membawanya sampai ke daerah ini. Daerah yang ramai. Daerah yang menjadi tujuan orang-orang mencari uang. Daerah padat manusia yang menjelma menjadi kota, yang sedari dulu tersohor di penjuru negeri. Termasuk di desa Surya. Sepertinya kota ini adalah tempat uang-uang negeri ini dicetak. Lantas banyak orang yang berbondong-bondong ngumbara merantau ke kota ini.
Sebuah cita-cita banyak orang desa untuk mencari pundi-pundi harta di kota. Mereka yang tak sabar menanam benih kesabaran di tanah-tanah kakek-neneknya. Mereka yang tak cukup waktu untuk menunggu buah-buah segar nan ranum dari pepohonan milik buyutnya. Mereka memutuskan mengundi nasib ke kota yang mendapat julukan ibu dari kota-kota lain. Ibu dari provinsi lain, bahkan ibu bagi negeri.
Surya bukanlah yang bercita-cita merantau di kota. Ia hanya mengikuti aliran kisah yang akan membawanya. Kisah itu untuk kali ini membawanya ke ibu kota Jakarta. Pakdhe Mariman mendekatinya sambil berkata, "Surya, kau minum air teh ini dulu! Baru lanjutkan pekerjaanmu. Pakdhe akan ke atas terlebih dahulu."
"Inggih Dhe." Jawab Surya pelan.
Ini sudah tiga tahun lalu sejak Surya meminta izin bapaknya untuk pergi ke kota. Ia berkeinginan untuk membantu mencari uang bapak-ibunya. Apalagi setelah kejadian tiga tahun lalu. Tragedi alam yang membuat warga desa menangis sepanjang pagi tak terkecuali keluarganya. Saat itu keluarga Surya benar-benar butuh uang untuk mengembalikan sawah mereka seperti sedia kala. Seperti sebelumnya dengan tanah yang diberi terasering, ditanami padi, dan menunggu waktu dipanen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jingga di Balik Bintang
General FictionJingga di Balik Bintang adalah cerita pertama dari Restu El Tungguri yang mengisahkan kakak beradik yang berjuan bersama-sama mengharumkan nama bapak dan ibuknya. Jingga adalah adik perempuan dari Mas Bintang. Mereka berdua lahir dari kasih sayang...