Jalan diguyur hujan rintik-rintik. Lama-kelamaan terdengar guyuran air yang deras dari arah barat, sebalik hotel Indah Sentosa. Diiringi mendung hitam legam berarakan menuju ke timur. Surya yang baru kembali dari warung soto mendadak kebingungan. Kalang kabut merasakan badannya tertiup angin yang membawa tetes-tetes air yang semakin lama semakin membesar sebesar biji jagung. Semakin besar lagi, seperti biji salak yang dilemparkan tepat ke wajah Surya.
Surya percepat langkahnya. Ia perlebar langkahnya. Lari adalah jalan satu-satu cara menghindar dari basah. Tak akan mampu hujan itu mengejar dirinya. Sebab dulu Surya seringkali dimajukan oleh sekolah dasar untuk mewakili pada lomba lari tingkat kecamatan. Dan dirinya membawa satu piala kecil bertuliskan Juara II Lomba Lari tingkat Kecamatan Jatiretna tahun 1990. Sampai sekarang piala itu masih tersimpan di rak rumah. Pasti sudah tak berkilau lagi piala itu. Karena debu-debu dan sawang. Laba-laba menjadikan pialanya tempat terbaik untuk membangun rumah. Setiap kali Surya atau ibunya membersihkannya, membuang laba-labanya, selalu saja rumah baru dibangun kembali.
Karena penasaran ia sambil duduk di kursi melihat laba-laba lain sedang membangun rumah di pialanya. Laba-laba itu Surya namakan Paija. "Paija, aku ingin melihatmu membangun rumahmu yang indah tapi menyebalkan itu. Cepatlah! Tapi maaf, setelah itu lima hari kemudian kau kuusir dari pialaku. Jika kau ingin memiliki piala sepertiku ini, ikutlah lomba lari tingkat kecamatan sepertiku. Kau harus menang! Boleh juara 3, 2 atau 1. Terserah kau mau pilih yang mana. Saranku kau menangkan juara pertama. Pialanya paling besar dan gagah. Paling berpendar cahaya emasnya. Lalu, kau akan dikirim ke kabupaten untuk lomba lari. Siapa tahu kau bisa dapat juara juga. Aku sebenarnya berharap dulu bisa juara 1. Bisa menuju ke kabupaten. Belum pernah aku pergi ke kabupaten. Satu kali pun belum pernah. Tapi naasnya, ketika aku akan menyalip pelari yang di depanku, tiba-tiba kakiku terasa lemas. Semakin tak kuat. Langkah kakiku mengecil. Napasku tersengal-sengal hebat. Mengembang mengempis dengan cepat. Mataku buram. Ada gerombolan semut di banyak tempat dimana pandanganku kusapukan. Mataku seakan memaksa untuk kupejamkan. Untuk kutidurkan. Kupaksakan kaki tetap berlari dengan bantuan lengan-lenganku yang berayun. Syukur, pelari dibelakangku tak menyalipku. Syukur lagi, sebenarnya aku hampir pingsan. Tetapi, tak jadi."
Surya berlari menghayati dirinya saat sedang lomba lari di desanya. Bersama teman-temannya, Surya berlarian melewati pematang sawah yang telah retak dan rekah saat hujan tak pernah turun. Hujan tak turun sudah lama. Musim kemaraulah itu.
Melewati orang-orang yang bersamanya juga ikut lari menghindari hujan yang semakin deras. Seperti lomba lari betulan. Bedanya lomba lari ini adalah lomba lari halang rintang yang dulu juga Surya ikuti. Tetapi sayang tak dapat ia bawa pulang salah satu dari ketiga piala itu. Halang rintang dengan yang menghalangi dan merintangi yaitu orang-orang yang lalu-lalang, pedagang-pedagang keliling, pedagang-pedagang yang berjualan di pinggir jalan tanpa izin. Tambah lagi, dengan sepeda-sepeda motor yang menjadikan trotoar sebagai jalan raya baru baginya. Serakah bukan main. Jalan untuk pejalan kaki pun diembatnya. Banyak orang mengumpat kepada si pengendara. Mengumpat sana-sini. Meludah ke si pengendara. Bibir Surya rasanya ta kuasa untuk mengumpat. Ditahannya. Untuk apa mengumpat ke orang-orang yang keras kepala. Tak ada gunanya.
Hujan lebih dulu mencapai garis akhir. Sepuluh meter sisa, ia berhasil disalip dengan sombongnya. Surya dikalahkan oleh sabda alam. Alam yang rindu dengan Surya. Air memeluk Surya dengan satu persatu pada tengkuknya yang mulai basah.
Tibalah di toko. Surya mengibas-ngibaskan badannya. Saat hendak mengganti kausnya, Mbak Tini memanggil Surya. Mbak Tini menunjukan sepucuk surat dengan amplop coklat ditaruh di meja yang sama-sama coklat. Amplop seakan hewan yang sedang berkamuflase.
"Itu di atas meja ada surat dari kampungmu. Pak Pos baru saja meninggalkannya untukmu sepuluh menit yang lalu. Cepat bacalah!" Mbak Tini mendekati Surya sambil menunjukkan surat tersebut menggunakan jarinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jingga di Balik Bintang
Ficción GeneralJingga di Balik Bintang adalah cerita pertama dari Restu El Tungguri yang mengisahkan kakak beradik yang berjuan bersama-sama mengharumkan nama bapak dan ibuknya. Jingga adalah adik perempuan dari Mas Bintang. Mereka berdua lahir dari kasih sayang...