Hujan turun dengan derasnya di bulan April. Membasahi tanah-tanah humus perkampungan dan segala rumah di seluruh dusun. Suara riuh genting-genting yang bertalu-talu sore itu menambah kesyahduan menunggu matahari pamit menuju ke peraduan. Hujan bulan ini memang sedang lebat-lebatnya. Bahkan sehari saja bisa hujan sampai tiga kali. Juga. hujan bisa turun dari pagi sampai sore atau dari malam sampai pagi. Hujan adalah rahmat tak terkira kiranya bagi para petani. Menggenangi sawah mereka tanpa harus menunggu waktu atau jatah untuk mengairi sawah mereka sesuai jadwal masing-masing. Searif itu masyarakat dalam kehidupan bersama. Penjadwalan pengairan sawah merupakan kearifan local yang turun temurun dari nenek moyang, sehingga keadilan pembagian air bisa terjadi. Apabila, tidak ada penjadwalan seperti ini bisa dipastikan mulut-mulut akan saling beradu. Dapat dikira bahwa mulut-mulut orang desa tak kalah tajam dan menusuk seperti orang-orang kota.
Keesokan harinya, subuh, udara dingin menyapa dari ufuk timur. Berpapasan dengan para jamaah langgar yang terhuyung-huyung kembali ke rumah. Sorot cahaya mulai timbul menyusupi sela-sela pepohonan rindang. Dingin terusir oleh hangat. Uap dari mulut yang terlihat seperti di luar negeri itu mendadak tak terlihat lagi.
Hari Ahad, waktunya seisi kampung, kampung di mana pun itu melakukan rutinan yaitu bersih-bersih area lingkungan mereka. Rumah, kandang, halaman, terutama jalan lah yang harus benar-benar terlihat bersih dan asri. Jalan dilewati banyak orang. Apabila suatu jalan di depan rumah seseorang tidak terawat, maka akan menjadi bumerang bagi si pemilik rumah. Adat pergunjingan yang terkadang banyak orang tidak menyukainya, tetapi sebenarnya memiliki manfaat besar dalam mengatur tingkah laku masyarakat.
"Sreg-sreg-sreg", suara sapu menderu di mana-mana. Surya menyapu bagian halaman rumah dan mencabuti rumput yang tumbuh lebat di hadapannya. Dicabutinya menggunakan tangan dan bagi rumput yang susah, ia menggunakan sabit bekas tak terlalu tajam. Rumput-ramput yang dicabuti dikumpulkan mejadi satu. Lalu, dimasukkan ke karung kresek putih. Dibawalah ke kandang kambing di belakang rumah mereka. Kambing bersahutan-sahutan menunggu sang pemilik menuangkan sarapan mereka. "Sabar-sabar, jangan berebut!" Ucap Surya sambil memberikan rumput-rumput itu ke kambing. Ada kambing yang ketika rumput itu masih di tangan Surya dengan tiba-tiba langsung digigit dan ditarik kuat. Sontak Surya terkaget. Terpeleset. Terpelanting ke tanah. "Dasar kambing! Ngawur tenan! Celanaku jadi kotor begini." Umpatan itu terucap sambil berdiri dari tanah yang licin dan basah oleh hujan kemarin sore.
Ibu menyapu jalan, sedangkan Bapak Surya pergi membantu tetangga sebelah memperbaiki gubug di tengah sawah. Pagi menjelang siang, tidak nampak lagi orang-orang berlalu lalang di jalan atau pekarangan. Semua telah hilang dari tatapan mata. Mungkin ditelan panas matahari atau ditidurkan hembusan angin.
***
Malam setelah salat Isyak waktunya menggelar makanan di tikar. Piring-piring telah mengambil isi yang akan menemaninya menikmati sang pemilik melahap mengentaskan kelaparannya. Kembali tempe goreng tersaji di hadapan mereka. Kali ini lauk-pauknya tertambahi ikan asin yang Ibu Surya beli di tukang sayur tadi pagi. Ikan asin adalah tanda penghematan telah terjadi di keluarga ini. Hanyalah ikan asin yang tak pernah diambil secara utuh. Hanya seperempatnya saja atau malah lebih sedikit dari seperempat. Lalu, ikan asin itu bisa dimakan lagi untuk beberapa hari kedepan, sampai daging dengan tulang-tulangnya habis.
"Pak, bagaimana?" Surya berseru lirih di hadapan bapaknya yang sedang menghisap rokok linthingan. Ia lanjutkan, "Bisa lanjut sekolah atau tidak Pak?"
"Ada apa Le?" Bapak Surya menjawab sambil menaruh rokoknya yang masih terbakar di asbak dari kayu itu. "Sekolah, lanjut sekolah di kecamatan yang jauh itu?" Jawabnya dengan nada setengah bertanya dan setengah heran.
"Inggih Pak di Ngadirojo."
"Le, Bapak tahu kau memang anak dusun ini yang berbeda dari teman-temanmu. Hal itu Bapak dan Ibumu rasakan sejak dirimu dari bayi. Kau suka memainka kertas-kertas dan mencoret-coret di buku. Dengan itu ibumu dulu tak pernah repot menjagamu. Segala tugas rumah bisa dilakukan olehnya. Tuntas tanpa sisa. Karena kau jarang rewel, dikasih buku yang ada gambarnya saja kau langsung diam. Lalu, setelah kau bisa baca, seluruh mainan-mainanmu itu kau lupakan. Lalu, setiap bapak pergi ke pasar kecamatan, kau tak pernah meminta aneh-aneh. Malah meminta buku majalah, Koran, cerita, dan buku-buku bekas yang lainnya. Apakah kesukaan bacamu itu menurun dari ibumu yang suka membaca bungkusan-bungkusan tempe atau makanan sebelum dibakar tungku api."
Suasana mendadak menjadi hangat dengan perbincangan bapak dan anak itu. Angin semilir malam yang biasanya tembus dari luban-lubang rumah tak berani masuk atau mengintip. Suara jangkrik yang di belakang rumah berbunyi dengan merdunya. Tak membisingkan telinga seperti yang sudah-sudah. Halaman, pekarangan, rumah-rumah, pepohonan disirami oleh pesona purnama. Pasti karena itulah Bapak Surya berbicara bisa sepanjang itu. Ini mantra alami dari alam atas campur tangan Tuhan.
"Maaf ya Le, sebelumnya Bapak ndak bisa menjawab pertanyaanmu. Bapak masih bingung. Jangan kau kira pertanyaan-pertanyaan sebelum-sebelumnya yang kau brondong ke bapak dan ibu tidak kami gubris. Kami rundingkan bersama baiknya. Hanya saja kau tak tahu dan pasti membuat pikiranmu kemana-mana."
Bapak Surya masih berbicara panjang lebar. Tak kunjung selesai. Surya menjadi objek yang tepat dari petuah-petuah yang dilontarkan bapakya. Setengah jam petuah bernas telah berkicau-kicau di telinga Surya.
Ini petuah yang panjangnya lebih dari khotbah. Aku hanya dapat mengangguk-angguk takzim. Ucap Surya dalam hati.
"Coba Le, bicarakan ke bapak sebenarnya apa yang membuatmu ingin sekali lanjut ke SMP. Padahal anak-anak desa ini 90% ndak ada yang lanjut. Yang 10% itu anak-anaknya orang punya yang bisa dengan mudah sekolah di mana pun. Ingat Le, kamu itu hanya anaknya orang tani. Tidak ada kemewahan menggantung badanmu."
Dua kalimat terakhir membuat keyakinan menjadi pudar. Perlahan suara Surya mengutarakan mimpi-mipinya kepada bapaknya dengan malu-malu. Hingga akhirnya klimaks gelora semangatnya menggebu-gebu, "Mau jadi orang sukses Pak. Banggain bapak dan ibu."
"Buk, sinilah! Seperti yang aku bilang kepadamu sepekan yang lalu tentang Surya. Bapak memutuskan untuk Surya melanjutkan sekolah di SMP." Raut muka Surya mendadak berubah drastis dari yang menunduk, membisu, dan pucat menjadi begitu sumringahnya.
"Benarkah itu Pak? Bapak ndak bohong kan? Bapak sekolahkan Surya ke kecamatan Ngadirojo kan?"Peluru-peluru pertanyaan diletuskan ke bapaknya berkali-kali.
"Iya lho Le, bapak setuju." Sahut Ibu Surya wanita yang tak lulus SD, hanya sekolah sampai kelas satu saja dan belajar memebaca.
"Tapi ada syaratnya, Le. Kita sebentar lagi mau panen padi. Kamu harus membantu bapak dan ibuk sampai selesai. Hasil panenan ini bapak serahkan padamu untuk pembayaran awal di SMP nanti. Syukur-syukur bisa digunakan untuk selanjutnya. Kau harus sangat dekat dengan padi kali ini. Karena mimpimu tadi ditentukanolehnya." Bapak Surya masih berkhotbah selama satu jam lebih.
Malam menyisakan suara hujan yang turun bergerimis di dusun itu. Katak-katak bersahutan mengalunkan orkestra di kolam dadakan atas perbuatan hujan. Para manusia pun tertidur dengan lelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jingga di Balik Bintang
General FictionJingga di Balik Bintang adalah cerita pertama dari Restu El Tungguri yang mengisahkan kakak beradik yang berjuan bersama-sama mengharumkan nama bapak dan ibuknya. Jingga adalah adik perempuan dari Mas Bintang. Mereka berdua lahir dari kasih sayang...