CHAPTER 2: (1÷0 ≠ 1)

492 62 19
                                    

Suara alas kaki yang bergesekan dengan rerumputan membuat Kelvin mematung. Matanya melirik kecil, mencoba melihat apa yang ada di belakangnya. Sia-sia. Dia tidak dapat melihatnya. Kelvin tidak dapat membayangkan entah kesialan apa lagi yang akan menimpanya. Bila diingat kembali, dia sudah cukup banyak menerima kesialan hanya dalam kurun waktu kurang dari satu hari. Mulai dari ketahuan menyelinap masuk, temannya hilang dan dia berakhir dimarahi sendirian, juga semua hukuman yang dia kerjakan sendiri di bawah terik sinar matahari. Dan tentu tak lupa dengan apa yang baru saja terjadi, Kelvin ditarik paksa oleh sesuatu yang tidak dia ketahui jelas menuju tempat asing, ditambah sekarang seseorang atau mungkin sesuatu —Kelvin tidak tahu karena dia enggan untuk menoleh—, berada tepat di belakangnya.

"Hei, Vin." Satu tepukan mendarat di bahu kanan Kelvin bersamaan dengan sebuah suara yang berhasil membuatnya seketika menoleh dengan raut terkejut. Reynald berdiri dengan santai. Seperti tak merasa bersalah sama sekali, dia tersenyum simpul. "Syukur kau juga ditarik ke sini. Aku sudah panik tadi karena tidak menemukan manusia lain."

Reynald meringis kesakitan saat satu pukulan mendarat tepat di kepalanya. "Sialan. Apa yang baru saja kau katakan? Syukur?" bentak Kelvin. Dia berdecak, kedua alisnya menukik tajam. Kesal tentu saja. 

"Ada apa denganmu?" tanya Reynald tak terima. Berakhir dengan perkelahian kecil antara keduanya.

Beberapa saat berlalu. Setelah puas saling memukul dan berdebat, Kelvin melangkah pergi. Meninggalkan Reynald di belakang. Kembali ke tujuan awalnya, mendekat ke arah bangunan besar yang menarik perhatiannya dari awal dia menginjakkan kaki ke tempat asing itu. Kelvin tidak tahu berapa banyak waktu yang dia habiskan untuk melampiaskan kekesalannya pada Reynald, yang pasti tidak mungkin kurang dari sepuluh menit karena langit di atasnya sudah berubah warna. Dia ingat jelas langit masih berwarna merah muda saat dia pertama datang, dan sekarang langit telah berubah menjadi warna biru gelap.

"Kau sungguh akan pergi ke tempat aneh itu?" tanya Reynald sedikit berteriak karena jaraknya dengan Kelvin terpaut lumayan jauh.

Kelvin tidak menjawab, dia hanya terus melangkah maju. Sedangkan Reynald menghembuskan napas kasar sebelum akhirnya mengikuti langkah temannya. Mereka berjalan dalam diam. Semakin dekat, semakin jelas mereka melihat betapa megah dan kokohnya bangunan itu. Tentu mereka tahu, tempat yang akan mereka kunjungi adalah sebuah sekolah, hanya saja bangunan yang mereka lihat sekarang lebih mirip dengan sebuah kastel. Sukar dipercaya, tetapi memang begitu adanya.

Berjarak hanya beberapa meter lagi, mereka dapat melihat sedikit bagian halaman sekolah itu. Ada cahaya-cahaya kecil yang berterbangan, dan sepertinya ada seseorang berdiri di sana, terdiam, entah apa yang dilakukannya. Penerangan yang mereka dapat terlalu sedikit di luar gerbang, hanya dapat bergantung pada cahaya bulan yang bersinar keemasan dan kerlip bintang di langit. Membuat keduanya harus memicing melihat ke kejauhan.

Gerbang perlahan terbuka diiringi raungan mengerikan yang mengejutkan keduanya. Dua buah patung di sisi kanan dan kiri gerbang perlahan berubah menjadi sosok hewan mengerikan. Tubuh hewan itu setengah singa dan setengah kambing, kedua kaki depannya adalah kaki singa, sedangkan kedua kaki belakangnya adalah kaki kambing. Di punggungnya mencuat sebuah sayap besar. Ekornya bergerak kesana kemari seraya menjulurkan lidahnya dan mendesis, sebuah ular. Yang paling mengejutkan, hewan itu memiliki tiga kepala. Singa, naga, dan kambing.

Kedua sahabat itu bergidik ngeri, juga seseorang di dalam sana yang langsung menoleh dengan raut sama terkejutnya. Kelvin mundur beberapa langkah, tak sengaja menubruk Reynald.

"Sudah aku bilang untuk tidak pergi kan," bisik Reynald, matanya bergetar. Mengawasi pergerakan hewan mengerikan di depannya.

"Makhluk aneh apa itu?"

MARALUCT: Into The UN-KnownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang