CHAPTER 10 : Satyr

91 12 3
                                    

Fajar itu gemilang bintang dan rembulan tampak begitu enggan melempar sekadar sapa. Gulita mengambil alih, tak hanya mengaburkan eksistensi semburat cahaya di langit, tetapi juga menerbitkan keraguan yang telah lama hilang dilupa. Dinding-dinding putih bangunan Maraluct tampak begitu piawai menyebarkan ketakutan juga rasa curiga berlebih. Mematahkan satu per satu ranting pohon harapan akan masa depan cemerlang.

Koridor terlihat sunyi, begitu juga dengan kamar para Lucterius yang tanpa penghuni. Sejak pertemuan panjang dengan para Bintang Keduabelasan, ditetapkan bahwasanya rangkaian tes penerimaan siswa baru akan tetap berlanjut setelah jeda satu hari. Spekulasi tentang tersangka utama terpaksa ditentang mentah-mentah karena pikir mereka, para bintang terlalu murni untuk tuduhan tak berdasar yang bersifat terlampau bengis dan tanpa bukti yang akurat. Entah pihak Keduabelasan yang kolot atau memang pihak Lucterius yang terlalu kurang ajar dan sedikit melampaui batas.

Sementara itu, seseorang tampak tak gentar bergerak dan menyelinap di antara kabut. Begitu tersamarkan, kelewat lugu untuk dapat dicurigai. Dia yang bergelimang cahaya keemasan rembulan kini sedang berada di atas angin.

Kedua mata itu merekam jelas seorang gadis yang masih terbaring di atas ranjang bilik ruang kesehatan. Tenang sekali tanpa terusik situasi mencekam di sekitarnya. Tentu setidaknya dia harus memberi ucapan terima kasih atas pengorbanan yang dilakukan tanpa sengaja oleh Veranda untuk membuktikan jika pelindung kawasan tenggara telah benar-benar lenyap.

"Tenang saja, aku tidak berniat untuk menghilangkan nyawa siapapun saat ini. Lekaslah sembuh, Ve. Masih banyak kejutan yang menanti untuk kalian," gumamnya pelan, sangat pelan sampai hanya dia sendiri yang hanya bisa mendengarnya.

Lantas dia mengambil beberapa langkah mundur, kembali menyatu dengan kegelapan di sudut ruangan sembari matanya tetap menatap penuh arti dan seringai tipis terbit di bibir mungilnya.

Veranda sedikit bergerak tidak nyaman, membuka kelopak matanya perlahan. Aroma kuat jamuan herbal menusuk penciumannya. Setelah sadar sepenuhnya, gadis itu melempar pandang berkeliling. Dinding putih, lantai kayu, tirai-tirai putih yang membatasi tiap ranjang kosong. Dan akhirnya manik mata itu jatuh pada figur seorang pemuda di ambang pintu. Air mukanya keras, menatapnya aneh tanpa ekspresi. Bergeming tanpa kata juga tanpa mengalihkan atensi.

"Kenapa menatapku begitu? Sejak kapan kamu berdiri di sana, Keno?" Veranda membuka suaranya, pelan dan tak berenergi. Beruntung suasana ruangan itu teramat senyap sehingga pertanyaannya bisa sampai kepada rungu pemuda di seberang walau samar-samar.

"Tidak ada gunanya juga jika kau mengetahuinya," jawabnya, tertawa sarkas. Kedua tangannya masuk ke saku celana hitam yang dia kenakan, wajahnya terangkat. Terlihat angkuh dengan postur tubuh tegak dan wajah yang cukup rupawan.

Veranda berdecak lemah, baru saja membuka mata malah dibuat dongkol setengah mati. "Sejak kapan aku ada di sini?"

Keno masih menatapnya diam, entah apa yang pemuda itu pikirkan. Veranda tak dapat menerka, karena pada dasarnya pikiran manusia memang sangat rumit dan terkadang hal itu membuatnya takut.

Bukannya memberi jawab, Keno malah mengambil langkah menjauh menuju pintu. Dia memutar kenop, berniat untuk kembali ke kamarnya sebelum ada Lucterius yang menangkap basah aksinya dan berujung memberi hukuman. Namun, dia kembali berhenti dan menolehkan kepalanya ke arah Veranda.

"Sejak siang. Cepat bangun, kamu membuat semuanya khawatir sampai nyaris hilang akal." Pemuda itu menurunkan volume suaranya pada kalimat kedua. Kemudian figurnya hilang di balik pintu coklat yang tertutup pelan.

Veranda menghela napas, dia tidak suka dengan cara bicara dan sikap Keno yang terkesan sarkastis. Tetapi jujur, akan lebih baik mendengar perkataannya yang tak berperasaan dan menerima tatapan dingin pemuda itu dibanding harus terbaring sendirian di ranjang ruang kesehatan yang sunyi dan menyeramkan di bawah temaram lampu. Apa tidak ada siapa pun yang berinisiatif untuk menemaninya? Ke mana mereka semua?

MARALUCT: Into The UN-KnownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang