CHAPTER 11: 12

102 12 1
                                    

Berdebat dengan para bintang bukanlah hal yang menyenangkan, maksudnya, berdebat dengan bongkahan batu besar yang melayang-layang di angkasa lepas? Bisa dibayangkan, sedikit gila. Setidaknya batu tidak terlalu cerewet. Namun, jika dengan wujud lain?

Sekalipun wujud mereka seperti manusia normal, tapi hal itu tampaknya tidak mengubah apa pun. Mereka bintang, sudah pasti memiliki kedudukan yang tinggi serta merta ego yang cukup tinggi pula. Sulit dibantah dan terkadang keras kepala (mungkin karena mereka memang sejenis batu-batuan). Selalu saja mengatakan: "Kami ini bintang, sudah tugas kami mengawasi kalian dan mengatur beberapa hal di alam semesta. Kami tahu mana yang baik dan buruk."

Ya, kalimat itu terkadang menjelaskan banyak hal. Seperti salah satunya, mengawasi banyak kehidupan di alam semesta. Sudah jelas hal yang begitu besar, tugas yang tak mudah. Cakupan mereka terlalu luas, ditambah mereka bukanlah penguasa yang paling tinggi—bisa dibilang hanya utusan, perwakilan, atau apa pun itu sebutannya—dan tidak menutup kemungkinan jika mereka dapat melewatkan beberapa hal kecil atau sesuatu bisa saja mengaburkan pandangan mereka beberapa kali. Lagi pula akan sangat merepotkan untuk mengurusi semua perasaan para makhluk hidup di setiap planet, barangkali akan sangat berisik.

Suatu waktu mungkin mereka akan mendengar keluhan para rumput, "Hei, bisakah aku jadi tumbuhan berduri? Aku lelah terinjak, ingin rasanya aku tusuk kulit kaki bau itu."

Atau mungkin para rusa jantan di hutan, "Bisakah para manusia berhenti memburu kami hanya untuk dijadikan pajangan? Kami juga ingin hidup damai!"

Lainnya mungkin adalah keluhan manusia yang tidak ada habisnya. Para bintang sepertinya akan mengalami sakit telinga berkepanjangan yang cukup parah. Jadi, karena itu mereka tidak diberikan kemampuan untuk mendengar semua hal setiap saat, dan hanya beberapa waktu saja saat mereka benar-benar menginginkannya. Alasan yang cukup untuk membuat mereka terkadang tak mengerti rumitnya pikiran dan perasaan manusia.

Seperti saat ini contohnya, saat Profesor Virous menyarankan untuk tidak melanjutnya tes penerimaan dengan alasan situasi yang terlihat membahayakan.

"Rachilè kembali dari hutan beberapa hari yang lalu dan mengatakan ada sesuatu yang janggal, keadaan yang sunyi dan ketegangan yang dirasakannya bukanlah pertanda baik. Kemudian kemarin salah satu calon lucterius dilukai seekor Satyr dari area tenggara. Selain itu, beberapa hari yang lalu seseorang mencoba melukai Lucterius di arena pelatihan. Sepertinya kejadian ini membuktikan bahwa situasi tidak lagi dalam kendali para bintang, tidak seperti yang dikatakan Libra tempo hari," jelasnya.

"Dan sejujurnya saya tidak mengerti mengapa tes penerimaan ini harus tetap dilanjutkan."

Aries menyatukan kedua tangannya di atas meja, wajahnya terlihat tenang. Bintang itu tidak terusik sama sekali, seperti sudah ratusan kali mendengarnya. "Semua masih dalam kendali."

"Salah satu anak terbaring di ruang kesehatan saat ini." Profesor Virous menekankan kalimatnya.

"Ya, benar. Tidak seperti dugaan Gemini sebelumnya, anak itu baik-baik saja. Hanya tergores ranting pohon, bukan luka yang cukup serius." Lagi-lagi Aries yang bersuara, bintang lain tampak enggan menginterupsi.

"Tetap saja, dia terluka! Di samping itu, sepertinya kalian mengabaikan perihal satir yang dapat meloloskan diri dari area tenggara dan pelindungnya—yang entah bagaimana—hilang begitu saja."

"Sudah kubereskan," timpal Aries santai, duduk bersender di kursinya yang nyaman sembari menyeruput kopi hitam.

"Saya rasa masalah ini jauh lebih serius," ucap profesor, masih bersikeras untuk menghentikan tes penerimaan.

Sebuah suara muncul dalam kepala Scorpio, membuat fokusnya teralihkan. "Ini sebabnya aku tidak setuju sekolah ini jatuh ke tangan manusia, mereka suka membesar-besarkan masalah."

MARALUCT: Into The UN-KnownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang