CHAPTER 7: Log 10

227 39 14
                                    

Matahari telah berada pada titik tertinggi ketika para calon Lucterius bersiap meninggalkan ruang makan. Jam di arloji menunjukkan pukul satu lebih lima menit waktu siang. Seluruh calon Lucterius berjalan bersama menuju gelanggang timur, melanjutkan latihan pertahanan diri dan bersenjata seperti yang telah dijadwalkan kemarin.

Veranda, menghentikan langkahnya termenung. Ingatannya kembali pada saat dirinya tak sengaja melihat sulur bunga pada pintu asrama. Merasa janggal melihat sulur bunga yang biasanya mekar dan menyerbakan wewangian kini nampak layu. Secara spontan pikirannya tertuju pada tugas selanjutnya yang kabarnya akan dilakukan secara berkelompok. Mungkinkah kejadian yang Veranda lihat tadi pagi ada hubungannya dengan tugas kelompok nanti?

Veranda mengembuskan napas, kembali berjalan menyusul langkah teman-temannya yang sudah berada jauh di depan.

Hans dan Shirokuma seperti biasa sudah menunggu di sana. Tanpa diberi instruksi para calon Lucterius secara inisiatif melakukan pemanasan mandiri, setelahnya menuju rak-rak besi mengambil peralatan masing-masing.

Rakabumi, pemuda yang sedari tadi memperhatikan Hansen memainkan pedangnya berdecak kagum melihat besi kokoh tipis nan tajam berayun mengikuti gerakan tangan si pemain, seolah keduanya telah menyatu, terlihat sangat keren. Bumi memandang peralatan memanahnya, beberapa saat kemudian kembali melirik Hans, secara tiba-tiba mengembalikan peralatan memanah yang baru saja ia ambil, berubah pikiran dengan merasa dirinya lebih cocok apabila menggunakan pedang daripada panah.

Hansen menghentikan aksinya. Meneliti para calon Lucterius yang berbaris di hadapannya, memastikan semua lengkap tanpa terkecuali. Ia mengernyit, bersitatap dengan pemuda berambut pirang di barisan ketiga bagian ujung.

"Ngapain kamu di sini?" Pertanyaan Hans mengundang sebagian calon Lucterius melihat ke arah orang yang dimaksud. "Kemarin tempatmu bukan di sini."

"Ya, tidak apa-apa kak. Nanti, kalau panah saya habis, bisa langsung sreng sreng pakai pedang," jawab Bumi mengundang gelak tawa para calon Lucterius lainnya.

Hans tersenyum miring, mengizinkan Bumi melatih pedangnya.

Sementara itu, Juwa yang kebetulan sedang melamun terkesiap ketika Shiro memintanya mempraktikkan apa yang sudah dijelaskan.

Dengan malas Juwa melangkahkan kaki ke depan. Meneguk ludah, ia mulai memeragakan apa yang telah di ajarkan oleh Shiro. Tangannya yang gemetar membuatnya sedikit kesusahan menarik nock anak panah. Juwa menggigit bibir bawahnya berusaha tenang.

Shiro yang mengerti segera melemparkan senyuman tipis. "Tidak apa-apa, tenang saja. Panah itu tidak akan berbalik ke arahmu."

Juwa mengangguk. Menghela napas pelan, mulai menekuk lengan untuk menarik nock. Juwa menahan napas begitu anak panah berhasil ia lesatkan. Dengan cepat anak panah melaju memangkas jarak. Namun, sayang, anak panah tersebut meleset mengenai pinggir lingkaran target.

Juwa menghela napas kecewa. Mengembungkan pipi, ia berjalan kembali menuju tempatnya. Shiro tersenyum menenangkan, berjalan ke arah papan target hendak mencabut anak panah yang masih menancap. Baru saja menjulurkan tangan, sebuah anak panah lain melesat cepat menuju pemuda bermata sipit itu. Beruntung ia mempunyai insting yang kuat, membuatnya dengan cepat menghindar tepat sebelum anak panah barusan mengenai dirinya.

Shiro berbalik, menatap tajam para calon Lucterius.

"Siapa yang melakukannya?!"

Para calon Lucterius menunduk takut. Tatapan yang dilayangkan Shiro membuat seisi gelanggang merasa terintimidasi, membuat suasana menjadi canggung karena amarahnya.

"Tidak ada yang mau mengaku?!"

Nihil, tidak ada yang berani menjawab.

"Katakan, siapa yang melakukannya?!" Shiro semakin meninggikan suara, menarik atensi Hans dan para calon Lucterius yang berlatih pedang.

MARALUCT: Into The UN-KnownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang