CHAPTER 9: Unlocked

150 16 9
                                    

Derap langkah cepat terdengar melewati jalan setapak hutan Athermyst menuju ke arah tenggara, beberapa dedaunan kering terinjak juga terlempar saat mengenai sepatu bot para Lucterius. Wajah mereka diliputi kerutan-kerutan kecil karena panik dan juga khawatir. Salah seorang dari mereka yang tampak lebih tenang dibanding lainnya tiba-tiba berhenti, membuat seseorang yang berlari dekat dengannya juga ikut berhenti dan memasang ekspresi bertanya.

"Kenapa?" tanyanya cepat, masih dilanda kepanikan.

"Ada yang salah, bagian tenggara, bukannya bagian terlarang? Kenapa ada calon Lucterius yang bisa sampai ke sana?"

"Oh, yang benar saja!" geram Ilham, memutar bola matanya. "Itu yang kau pikirkan sekarang? Dia dalam bahaya!"

Navy yang menangkap ekspresi marah lawan bicaranya pun merasa kesal.

"Karena itu wilayah terlarang! Kamu dengar aku tidak, sih? Tidak ada yang bisa masuk ke sana kecuali—"

Gadis itu tercekat, wajahnya yang kelelahan pun memucat, matanya bergetar seiring arah tatapannya beralih menatap para Lucterius berlari lebih jauh ke arah tenggara. "Pergilah dulu, aku akan beri tahu salah satu Bintang."

Ilham yang sama sekali tak menangkap maksud gadis di hadapannya segera menghentikan langkah Navy dan menghalanginya. "Untuk apa? Kita bisa menyelamatkan sendiri, lagipula seharusnya mereka juga sudah tahu. Mereka kan Bintang."

"Jangan konyol! Pergi saja dulu, aku hanya ingin memastikan salah satu Bintang datang untuk menolong kita jika dibutuhkan," pungkasnya, kemudian berlari ke arah yang berlawanan. Meninggalkan Ilham yang masih bergeming di tempatnya. Lantas setelah beberapa menit, pemuda itu segera menyusul teman-temannya.

Sementara para Lucterius hampir mencapai wilayah tenggara hutan Athermyst, sesuatu tampak menyeringai di balik lebat pepohonan, mendapati sekumpulan korbannya semakin mendekat.

Mata gelapnya memicing bengis, tangan berototnya terkepal menghantam batang pohon yang menyembunyikan sosoknya.

Dia melompat ke hadapan tubuh calon Lucterius yang terikat ke batang pohon besar. Gadis itu tampak tak sadarkan diri. Di bawah matanya terdapat luka memanjang yang meneteskan darah, siku serta lututnya juga tampak sobek dan dipenuhi cairan yang sama.

Rainy berdiri paling dekat, menghunuskan pedangnya yang memantulkan bayangan deret pepohonan dan seberkas cahaya matahari. Wajahnya mengeras, seperti mengisyaratkan bahwa dia siap bertarung bila diperlukan. Para Lucterius berdiri di belakangnya dengan berbagai macam senjata.

"Wah, wah, lihat siapa yang datang!" Makhluk itu berseru dan tertawa kegirangan. Dua tanduk mencuat dari atas kepalanya, matanya kelam, janggutnya menjuntai sampai ke dadanya yang tak tertutup kain apa pun. Rambut coklat tumbuh menutupi hampir semua bagian tangan dan juga kakinya yang bengkok dengan telapakan bundar berwarna lebih gelap. Sesosok Satyr.

"Lepaskan dia," seru Rainy, ujung pedangnya mengarah pada Veranda yang terduduk lesu dengan mata terpejam.

"Siapa yang berani memberiku perintah di wilayahku sendiri?" ucapnya tersenyum miring.

Hazael yang menyadari situasinya pun membelalakan mata, maju menerobos beberapa Lucterius di depannya dan segera menarik lengan Rainy menggunakan tangan kanannya yang kosong. Dia berbisik, "Kita dijebak."

Gadis itu awalnya tidak mengerti maksud Hazael, tetapi setelah menyapu pandangannya lebih jauh lagi ke belakang tubuh Satyr itu akhirnya dia paham. Tanah basah dengan berbagai bangkai hewan busuk menghitam, pepohonan tinggi menjulang dengan dedaunan berduri yang meneteskan getah beracun, serta bau busuk keringat dari tubuh-tubuh yang entah sudah berapa lama tidak membersihkan diri. Tidak ada kicauan burung, tidak ada bunyi berisik semak yang dilewati hewan-hewan kecil, bahkan tidak ada gemericik air ataupun desau angin. Benar-benar senyap.

MARALUCT: Into The UN-KnownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang