BAB 3

3.2K 361 8
                                    

Sisa minggu itu berlalu dengan lambat. Jumat pagi, ia menanyakan pada dirinya sendiri terus menerus kenapa ia melanjutkan hidup dalam ketegangan ini. Pekerjaan ini memberinya gaji yang bagus dan beberapa keuntungan, namun tidak menghalangi antara Haechan dan keinginannya. Terutama setelah percakapan yang dilakukannya dengan putrinya malam sebelumnya.

Ia sedang meringkuk menonton sebuah film lama mencoba menjauhkan pikirannya dari bayangan Lee Jeno yang begitu mengancam ketika handphonenya berdering. Foto putrinya berkedip, dan ringtone khusus berbunyi memenuhi udara. “Hey, sayang. Apa kabarmu?”

“Pa. Coba tebak?” Lami berhenti sementara sebelum melanjutkan dengan suara meninggi. “Aku berhasil mendapatkan posisi R.A!!” katanya dengan nada antusias.

Haechan tidak tahu apa artinya, tapi dapat mengetahui bahwa itu mungkin sesuatu yang bagus. “Hebat, sayang. Apa itu R.A?”

Lami menjawab dalam kalimat yang terburu-buru. “Resident Advisor (Penasehat Asrama). Aku terlalu muda untuk dapat menduduki jabatan itu karena aku masih ada di tahun kedua. Tapi aku pasti mengesankan mereka karena aku tidak perlu datang lagi untuk wawancara kedua. Mrs. Choi, wanita yang bertanggungjawab di asrama, membaca C.V dan formulir aplikasiku dan mempekerjakanku saat itu juga.”

“Mempekerjakanmu untuk apa? Apa itu Penasehat Asrama?” Haechan bahagia untuk anaknya, tetapi ia tidak ingin anaknya terbebani dengan pekerjaan. Lami harus tetap memiliki nilai bagus, jadi uang beasiswanya tidak akan di cabut.

“Artinya aku akan tetap tinggal di asrama freshmen (mahasiswa tingkat pertama) tahun depan, dan jadi seperti kakak bagi mahasiswa baru. Mahasiswa baru akan mendatangiku kalau mereka punya masalah, atau hanya bertanya saja dan aku akan membantu mereka. Tentu saja, aku harus melaporkan penggunaan alcohol, narkoba atau sesuatu yang seperti itu, tapi kupikir tugasku takkan terlalu banyak karena aku belum pernah menemui masalah seperti itu tahun ini. Well, bukan di asrama mahasiswa baru.”

“Dan mereka akan membayarmu?” Tanya Haechan.

“Well, tidak juga. Aku cuma boleh tinggal-secara gratis. Yang harus Papa lakukan hanyalah membayar biaya makananku tahun depan. Dan kuharap setiap tahunnya setelah itu.”

Haechan merasa sebuah simpul yang menekan dengan sangat kuat telah terangkat dan digantikan dengan kelegaan. “Kau serius? Kita tidak harus membayar uang asrama? Dan kau tidak harus kerja sampingan apapun? Kau hanya wajib tinggal disana dan menjawab pertanyan-pertanyaan?”

“Yeah, Pa. Pada dasarnya memang seperti itu. Sebelumnya aku tidak mau bilang apa-apa padamu ketika aku melamar posisi itu karena aku tidak mau membuatmu berharap terlalu banyak. Tapi sekarang kita bisa merayakannya. Hore!!”

Haechan memikirkan kembali percakapannya dengan Lami kemarin malam dan masih tetap merasa takjub akan perasaan lega yang dirasakannya. Beban keuangan untuk kuliah Lami hampir sama sekali hilang sekarang. Ia merasa beruntung memiliki seorang anak gadis yang pintar dan bertanggung jawab. Dan sekarang ia bebas keluar dari pekerjaannya dan meninggalkan kantor yang memicu histeria ini. Jadi kenapa ia tetap disini? Itu membawanya pada pilihan yang harus ia ambil saat ini.

Ia bisa keluar dari pekerjaan ini atau… atau ia bisa berhenti menghindar dari Jeno dan membiarkan Jeno menangkapnya. Tiba-tiba banyak bayangan yang memicu keingintahuan Haechan. Jeno benar-benar pria terseksi dalam hidup Haechan. Jeno telah menjadi objek yang dikagumi bagi Haechan sejak pertama kali Haechan bertemu pandang dengannya.

Tidak diragukan lagi, Jeno menginginkannya. Haechan tidak bodoh. Haechan tahu tanda-tandanya. Jeno seperti banteng dengan kain merah di depan wajahnya. Berapa banyak yang harus dilakukannya untuk mendorong Jeno melewati batas? Bisakah Haechan melakukannya dengan begitu halus hingga Jeno tidak menyadari apa yang menyerangnya?

Haechan menggigit bibirnya dan berharap apakah ia harus mencobanya.

*****

Haechan mendapatkan kesempatannya sore itu ketika Jeno keluar dari kantornya, mencari berkas yang sedang dikerjakan Haechan. Haechan memulai godaannya dengan baik, tetapi berhenti di tengah jalan karena terlalu pengecut.

Menyerahkan berkas-berkasnya pada Jeno, Haechan mendorong kursinya menjauh dari meja untuk memancing mata Jeno pada kakinya ketika Haechan pelan-pelan menyilangkannya. Dengan gerakan halus, Haechan meraih ke bawah ke pahanya dengan tangan gemetar dan meluruskan kerutan yang tak kelihatan. Selagi pandangan Jeno mengikutinya, Haechan merendahkan tangannya ke pergelangan kakinya dan menariknya kembali ke atas ke pahanya lagi, kali ini sampai di bawah celananya dan menariknya beberapa inchi di atas lututnya sebelum mencoba berusaha menutupi kakinya.

Haechan mengangkat wajahnya kearah Jeno dan membeku. Pandangan mata Jeno terpaku padanya, cuping hidungnya mengembang dan rona merah merayapi tulang pipinya.

*****

Jeno merasakan tendangan di perutnya tepat di tempat sasaran yang Haechan incar. Dampak dari gerakan Haechan memukulnya. Mata Haechan menahannya selama dua detik dan kemudian menjauh.

Tetapi tidak cukup cepat.

Permainan baru saja berubah.

Nafsu langsung melanda diri Jeno. Ia meraih dan mengambil pulpen yang dipegang Haechan di jarinya. Jeno melihat Haechan tersentak dan berusaha menyembunyikannya. “Kau pikir kau mungkin bisa menang dariku, sayang?”

Haechan merasakan getar ketakutan merayapi tulang belakangnya. Ia tidak berharap Jeno akan seketika menanggapi. Ia belum siap untuk ini. Ia menggertakkan giginya dan mencoba menggertak. “Aku tidak mengerti apa maksudmu.”

“Benarkah? Kau makhluk kecil yang sempurna, tapi jangan pernah berpikir kau berharap bisa mempengaruhiku dalam waktu singkat.” Jeno meraih dagu Haechan diantara jari-jarinya dan mengangkat wajah Haechan. “Percayalah padaku. Kau takkan bisa mengatasi akibatnya.”

Jeno berbalik dan membanting pintu kantornya.

To be continued
don't forget to vote and comment thank you see next chapter sorry for typos don't forget to follow me...

40 vote dan 10 comment aku up

✓ Bedded By the boss | nohyuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang