Malam Pertama

22.9K 1.4K 56
                                    

Alana menatap pantulan dirinya di depan kaca

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Alana menatap pantulan dirinya di depan kaca. Entah sudah keberapa kali ia menghela napasnya kasar. Beberapa jam yang lalu, Alana resmi menyandang status sebagai istri dari pengusaha muda bernama Jeffry Devano, pria yang tidak lain adalah calon kakak iparnya dulu.

Seandainya saja kakak Alana yang bernama Almira tidak kabur sehari sebelum pernikahan mereka digelar, mungkin seharusnya bukan Alana yang ada di kamar Devan malam ini, duduk di sisi ranjang lengkap dengan gaun putih panjang yang masih melekat di tubuhnya.

Alana tidak mencintai Devan, begitu pun sebaliknya. Mereka mungkin akan menjadi pasangan paling buruk di dunia ini, paling tidak cocok satu sama lain. Tapi Alana sebisa mungkin menerima Devan sebagai suaminya.

Ia sudah merelakan segalanya, merelakan Bastian dan juga kebebasannya hanya untuk hidup bersama lelaki itu. Mungkin Devan akan menjadi pria paling menyebalkan di hidupnya, paling egois, dan paling dingin. Tapi itu tidak masalah selama ia tidak menyandang status sebagai seorang janda di usia muda.

Tidak.

Aku tidak akan membiarkannya.

Setiap perempuan pasti menginginkan pernikahan yang sempuran. Seperti mengucapkan janji pernikahan bersama pria yang mereka cintai. Menciumnya di depan penghulu dan saksi, dan saling mengungkapkan rasa cinta satu sama lain. Tapi, itu tidak berlaku untuk Alana, pernikahannya dengan Devan jauh dari kata sempurna. Semua dilakukan secara mendadak dan penuh paksaan.

"Ngapain di situ?"

Alana tersentak, ia menoleh dan mendapati tubuh Devan sedang berdiri di ambang pintu kamar sembari menatapnya tajam. Lelaki itu melangkah mendekat, memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana.

"Mas Devan?"

Devan menyeringai, memberi tatapan mengintimidasi. "Bukan Mas Devan ... tapi sayang," ledeknya yang sama sekali tidak terdengar seperti sebuah ledekan.

Seketika itu juga Alana merasa gugup. Kedua matanya mengerjap kaku, dan tenggorokannya terasa tercekat. Di kamar, berdua bersama Devan. Entah mengapa perasaannya mendadak tidak enak. Buru-buru Alana beranjak berdiri, menggenggam gaun pengantinnya dengan erat.

"A—aku ... mau mandi."

"Nggak perlu." Devan menarik tangan Alana saat gadis itu hendak melangkah masuk ke dalam kamar mandi, sontak aksinya itu membuat tubuh Alana berbalik hingga membuat pandangan mereka saling bertemu dengan jarak yang lumayan tipis.

Debar jantung Alana semakin terpompa cepat, dan aliran darahnya memanas seketika. Tentu hal itu semakin menyulut kegelisahan di hati Alana, apalagi begitu tangan Devan terangkat untuk menyentuh bahu telanjangnya, Alana dibuat semakin salah tingkah.

"M—mas ... mau apa?"

"Malam pertama."

Alana menegang, lalu terpaku menatap Devan yang semakin mempersempit jarak di antara mereka. Wajah Devan yang tampan membuat Alana teralih hingga ia kesulitan untuk mengerti arti dari ucapan pria itu.

"A-apa?"

"Mulai sekarang, penuhi semua kewajiban kamu sebagai seorang istri."

"Apa?" Alana mengerjapkan bulu matanya berulang-ulang, menyadarkan dirinya dari keterkejutan yang baru saja Devan berikan. "A—apa maksud Mas Devan?"

"Kegiatan yang dilakukan pasangan baru saat malam pertama."

Kedua mata Alana membulat sempurna. Tubuhnya mendadak kaku dan sulit untuk digerakan. Rasa gerah yang sebelumnya ia rasakan, berganti dengan rasa dingin dan ketakutan yang berdesir di hatinya saat tangan Devan mulai merambat naik pada balik punggungnya.

Kedua tangan Alana berhenti di depan dada Devan, berusaha untuk menahan cowok itu. "Tu—tunggu ..." ia menggigit bibir bawahnya takut-takut tanpa berani menatap mata Devan yang tajam. "Tapi aku belum siap, Mas."

"Aku gak pernah bertanya kamu siap atau nggak. Apa pun alasan kamu, aku akan tetap meminta hak aku, bahkan kalau pun kamu menolak melakukan itu."

Refleks Alana mendongak dengan wajah kesal. "Mas Devan gak bisa kayak gitu. Mas Devan gak bisa maksa aku."

"Kita sudah resmi menjadi sepasang suami istri, aku berhak atas tubuh kamu."

"Tapi—" kalimatnya terputus saat Devan menyatukan bibir mereka. Butuh beberapa detik untuk Alana sadar bahwa Devan sedang mencium bibirnya. Bahkan saat tadi lelaki itu selesai mengucap janji pernikahan di depan ayahnya, Devan hanya mencium kening Alana saja.

"Eugh..."

Alana melenguh, ciuman itu benar-benar terasa penuh dengan paksaan dan tuntutan. Ia berusaha untuk tidak membuka bibirnya, tapi saat satu tangan Devan menyentuh dadanya, saat itu juga bibir Alana terbuka dan membuatnya terpaksa membiarkan lidah Devan masuk membelai rongga mulutnya.

"Ahh ...." Gadis itu berusaha mati-matian menahan dada Devan, mendorongnya menjauh, hingga memukulnya sekuat tenaga, tapi sia-sia.

Devan menarik turun resleting gaun itu, membuat Alana membuka matanya terkejut saat gaun yang ia kenakan luruh begitu saja dari tubuhnya.

"Mas ...," lirihnya dengan napas tersengal. Alana berusaha menutupi kedua payudaranya yang masih tertutup kain berenda dengan kedua tangan. "Jangan."

Devan tetaplah Devan, pria datar dan dingin yang telah dicampakan oleh kekasihnya. Mendengar suara Alana yang bergetar justru membuat Devan tersenyum miring. Dengan lembut ia membelai bibir Alana yang merah dan membengkak sambil berbisik.

"Just calm down and enjoy it!"

****

EFEMERALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang