RyBL. 07

47 5 0
                                    

Malam ini Alsa berkunjung ke rumah Nabila dengan wajah yang kusut. Gadis itu saat ini tengah duduk di atas tempat tidur milik Nabila. Di atas tempat tidur ada satu kantung plastik berukuran sedang, berisi camilan dan minuman yang ia beli sebelum datang ke rumah Nabila.

Nabila sendiri duduk di samping Alsa dengan mata yang terfokus pada laptop. Jari-jarinya yang lentik terus menekan keyboard, menimbulkan suara yang mengisi keheningan di dalam kamar.

Entah kenapa sejak tadi Alsa tidak berceloteh seperti biasanya. Melihat Nabila yang sedang sibuk mengerjakan sesuatu, ia tidak tega untuk mengusik. Alsa hanya diam dan memakan camilan yang sudah habis dua bungkus. Tapi, lama-kelamaan dirinya merasa bosan.

“Bil, jangan fokus ke laptop mulu kenapa, sih?” Alsa memang cepat merasa bosan jika didiamkan. Ia tidak tahan, rasanya ingin mengobrol tentang apa pun itu.

“Gue lagi revisi naskah, Alsa. Empat hari lagi harus dikirim, dan gue lagi ngejar deadline,” ucap Nabila. Ia tidak menoleh sama sekali.

Ya, Nabila adalah seorang penulis novel yang masih awam. Gadis itu terjun ke dunia menulis hampir dua tahun yang lalu. Karena waktu itu bosan menunggu masa libur kenaikkan kelas tingkat 12, ia coba-coba saja menulis sebuah cerita yang mana dibuat tanpa persiapan apa pun.

Kemudian, lama-kelamaan Nabila mulai terbiasa dan menyukainya. Tulisannya mendapatkan respons baik dari para pembaca di salah satu platform menulis.

Karena semakin banyak yang membaca, dan isi dari tulisannya itu—katanya—bagus, salah satu penerbit indie menawarkannya kontrak kerja sama dengannya. Ya, memang hanya penerbit indie, tapi itu sudah membuatnya senang bukan main.

Pada akhirnya Nabila setuju, dan ia diberi waktu selama tiga minggu untuk merevisi apa saja yang harus diperbaiki, juga menambahkan beberapa part baru dalam ceritanya. Oleh karena itu, ia sangat fokus mengerjakan naskahnya sekarang ini. Tidak peduli kalau Alsa mati kebosanan karena diabaikan begitu saja.

“Emangnya empat hari lagi itu tanggal berapa?” tanya Alsa.

“Delapan belas.”

Alsa langsung membulatkan kedua matanya. Ia kemudian menatap Nabila dengan terkejut. “Itu hari ulang tahun lo yang ke sembilan belas, Nabila! Oh, my god! Lo hoki banget di bulan kelahiran lo karena cerita yang lo tulis dipinang sama penerbit! Mantap!” seru Alsa dengan wajah yang menandakan kalau ia sangat-sangat merasa senang.

Jujur, Nabila begitu hebat di mata Alsa. Berteman sejauh ini dengan Nabila membuat Alsa tahu banyak hal. Ia tahu bagaimana Nabila mengisi kekosongan waktunya dengan menulis. Ia sudah hafal ketika Nabila memintanya untuk diantar ke toko buku guna membeli novel baru, dan masih banyak hal lain yang ia ketahui dan pahami soal Nabila.

Nabila tersenyum. Lengkungan itu menandakan kalau ia juga merasa senang akan hal baik yang datang dalam hidupnya di bulan ini, apalagi sampai salah satu judul ceritanya dipinang oleh penerbit, rasanya senang sekali.

Alsa yang melihat Nabila tersenyum seperti itu langsung menyenggol lengannya. “Cie … mau jadi penulis terkenal!” godanya. Yang mana langsung membuat Nabila menoleh dan mendelik.

“Dih, nggak, eh! Belum, Alsa!”
Alsa tertawa lebar dengan kedua lengan yang melingkar di tubuh Nabila. Ia gerakkan tubuh mereka berdua ke kanan dan kiri. Mau tak mau Nabila harus menjeda aktivitasnya sejenak.

“Selamat, ya, Bila. Gue doakan semoga novel lo bakal laris! Banyak yang beli. Nanti, gue janji bakal beli novel lo juga. Beli dua aja, ya, Bil. Satu buat gue, satu lagi buat adik gue,” tutur Alsa sambil menaruh kepalanya di bahu Nabila.

Nabila mengelus lengan Alsa. “Iya, Al, makasih, ya. Lo  selalu dukung apa pun keputusan yang gue ambil. Gue gak akan maksa lo beli buku gue, karena gue tahu lo gak suka baca,” katanya.

Alsa melepas pelukannya. Gadis itu kemudian mengernyit. “Gak bisa gitu, dong, Bil! Gue beli itu bukan soal suka atau gaknya gue dalam membaca, tapi gue menghargai dan mengapresiasi karya yang lo tulis dengan susah payah. Urusan ada yang baca atau gaknya, pasti bakal ada yang baca. Jadi, lo tenang aja, udah pasti novel lo bakal dibaca banyak orang, dan bermanfaat.”

Nabila tersenyum lebar, hingga giginya terlihat. “Lo selalu reaslistis kayak biasanya, Al, gue gak salah punya temen, dan bertahan sejauh ini sama lo,” ucapnya, lalu tertawa geli.

Alsa berlagak ingin memukul Nabila. “Kebalik, dodol! Kalau gak ada gue, udah pasti hidup lo bakal suram. Kerjaannya galau mulu tiap hari. Mantengin layar hape yang gak ada notif apa pun dari itu orang. Atau yang paling parah, lo ngebatin karena perasaan lo gak kunjung menemukan jawaban.” Cukup sarkas, tapi Nabila tidak tersinggung sama sekali. Gadis itu justru mengangguk membenarkan.

“Tapi, tetap aja, Al.” Ucapan Nabila menggantung.

“Apaan?”

“Tetap aja kita itu saling menguntungkan satu sama lain. Ya, kan?” Nabila menaikturunkan alis.

Alsa melengos begitu saja. “Gak! Gak ada untungnya temenan sama masyarakat bucin kayak lo!”

Nabila melotot dan memukul lengan Alsa. “Alsa!” pekiknya.

Alsa terbahak dan merebahkan tubuhnya. Ia mengusap lengan yang mendapatkan pukulan dari Nabila tadi. “Parah! Kelihatannya doang lo pendiam, tapi aslinya bar-bar!” dumelnya.

“Gak bar-bar, gak war!” sahut Nabila, mulai fokus kembali pada laptopnya.

“Wadaw! Diajarin siapa lo?”

“Dari novel, banyak, bejibun gak bisa terhitung. Infinity.”

“Infinity?”

“Tidak terhingga, kayak perasaan gue buat Bagas, Al.”

Alsa mendengkus. “Minta digiling lo, Bil!”

Nabila hanya tertawa sebagai balasan. Entah kenapa ucapannya tadi keluar begitu saja dari mulutnya. Ah … ya sudahlah! Toh, itu juga kenyataannya kalau ia memang memiliki perasaan untuk Bagas yang tidak terhingga.

Rasa yang Berujung Lara (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang