RyBL. 06

22 5 0
                                    

Nabila menutup buku catatan harian miliknya yang sudah usang seiring berjalannya waktu. Masih ingat dengan jelas buku catatan bersampul biru langit itu dulunya berwarna cerah, sekarang warnanya sudah mengabur.

Buku catatan harian miliknya sudah ada sejak kelas 10 SMA. Awal-awal ia menyukai Bagas, dirinya kerap sekali mengabadikan nama lelaki itu di dalam buku. Menorehkan seuntai kalimat yang begitu terlihat sangat memuja Bagas.

Di dalam buku itu juga terdapat beberapa kejadian—entah senang atau sedih—yang Nabila tulis. Jadi, ketika merindukannya, ia  cukup membuka buku catatan dan mengenang masa-masa dulu.

Seperti beberapa saat lalu, ia baru saja mengenang kejadian empat tahun lalu yang terjadi di bulan November. Hari ini sudah tanggal 13 November, lima hari lagi Nabila akan berulang tahun.

Memori pahit harus ia putar kembali. 18 November merupakan tanggal yang begitu menyakitkan untuknya karena masih terpatri dengan jelas kejadian apa saja yang dilaluinya empat tahun lalu, saat di mana Bagas mengungkapkan perasaanya pada Nabila, dan meminta gadis itu untuk tidak berharap lebih jauh padanya.

Meski sudah empat tahun, tidak membuat Nabila kehilangan ingatan yang menyakitkan. Bahkan apa-apa saja yang pernah ia lalui dengan Bagas semasa SMA tingkat 10 dulu, ia masih mengingatnya. Entahlah, semua sulit untuk dihilangkan, apalagi ditampik. Kenangan-kenangan itu enggan beranjak.

Nabila melingkari angka 18 di kalender kecil yang ada di atas meja belajarnya. Ia kemudian menatap angka itu dan tersenyum kecil. “Tuhan, kasih aku keberanian untuk menanyakan pada Bagas, bagaimana perasaan lelaki itu untukku. Apa masih sama atau justru sudah menghilang sejak empat tahun yang lalu?”

Nabila berjanji, setelah itu ia ingin bebas. Ia akan melepas perasaannya untuk Bagas yang sampai detik ini tidak menemukan jawaban. Meski nanti jawaban yang akan diberikan oleh laki-laki itu adalah sebuah jawaban yang menyakitkan, setidaknya ia sudah tahu, harus bertahan atau melepaskan.

***

14 November 2020.

Dosen tak kunjung memasuki ruang kelas, padahal hampir semua mahasiswa sudah datang. Sembari menunggu dosen masuk, Nabila mengerjakan naskahnya yang sudah mendekati bab akhir. Karena terlalu fokus pada layar laptop, ia tidak sadar, jika Bagas sudah duduk di hadapannya.

“Bil?” panggil Bagas.

Nabila sontak menengadah. Ia mendapati Bagas sedang duduk di kursi yang ada di hadapannya, memberikan seulas senyum.

“Serius banget, sih. Lagi nugas?” tanya Bagas.

“Kamu ngapain di sini, Gas?” Alih-alih menjawab, Nabila justru balik bertanya.

“Main aja. Siapa tahu dapat ide buat ngerjain makalah dari dosen.”

“Cari referensi, gitu?”

“Kayaknya iya?” Terdengar seperti pertanyaan yang Bagas lontarkan.

“Aneh.” Dengan perlahan Nabila mematikan laptopnya. Jangan sampai Bagas tahu apa yang sedang ia kerjakan.

“Dosen kamu belum masuk?” Bagas bertanya, lagi.

“Kelihatannya aja gimana, Gas,” sahut Nabila sambil  memasukkan laptop ke dalam tas yang ia bawa.

Bagas mengangguk dan mengamati sekitar, lalu beranjak. “Pergi dulu, ya, Bil,” pamitnya, lalu dibalas anggukkan oleh Nabila. Ia berjalan keluar dengan senyum yang sedikit mengembang. Entah karena apa.

Rasa yang Berujung Lara (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang