RyBL. 02

53 10 0
                                    

Pasar malam yang belum sepenuhnya buka itu menjadi tempat Bagas dan Nabila kunjungi. Beberapa hari yang lalu, Bagas juga mengajak Nabila ke sana. Itu sebabnya, Bagas mengajak Nabila ke sana lagi karena tidak tahu harus pergi ke tempat apa selain tempat itu. Nabila juga tidak mempermasalahkan ketika ia ajak ke manapun. Bagas sangat menyukainya karena Nabila asyik ketika ia ajak ke suatu tempat.

Bagas dan Nabila berjalan beriringan. Tidak ada apa pun yang terjadi selain itu. Tidak ada Bagas yang akan menggenggam tangan Nabila, atau Bagas yang merangkul bahu gadis itu. Tidak ada dan tidak akan pernah terjadi.

"Duduk di sana dulu aja, Bil," ucap Bagas pada Nabila sambil menunjuk satu bangku panjang yang ada di tepian jalan pasar malam.

Setelah duduk di sana, mereka berdua menatap lampu-lampu yang menyala satu per satu. Stan makanan dan minuman, serta tempat bermain mulai dibuka. Pukul enam sore, langit sudah menggelap sepenuhnya. Membawa angin yang mulai datang bertiup pelan.

Nabila menoleh ke arah Bagas yang masih menatap lurus ke depan sana. "Mau ngapain, sih, ke sini selain jajan?" tanyanya.

"Numpang duduk aja, sih, Bil. Kenapa emangnya? Kamu nggak suka? Bukannya kemarin kamu bilang kalau aku ajak ke sini lagi, kamu gak akan nolak?"

"Bukan itu, Bagas, maksud aku. Ya, aku emang suka diajak ke sini sama kamu. Cuma, kalau gak ada tujuannya, malas juga, sih."

"Ya udah, tujuannya jajan, Bil, kan aku udah bilang pas awal-awal tadi."

"Jajan yang kayak kemarin, Gas?"

Bagas mengangguk dan menatap Nabila. Kemudian, laki-laki itu berkata, "Eh, tapi, Bil, stan makanan yang kemarin kita beli itu, buka jam tujuh. Kemarin, kan, kita ke sini jam setengah delapan malam."

Nabila menekuk alisnya. "Terus, kita nunggu satu jam lagi supaya stan itu buka?" tanyanya tidak percaya.

"Iya. Itu juga kalau kamu mau nunggu satu jam lagi sampai kelaparan, Bil. Kalau aku, sih, enggak. Mending nyari makanan lain."

"Nggak apa-apa, sih, Gas, kalau nunggu satu jam lagi. Aku juga belum terlalu lapar."

"Ini nunggu lho, Bil, bakal mati kebosanan kamu di sini," kata Bagas, masih ingin menggoyahkan keinginan Nabila untuk menunggu stan makanan itu buka.

"Kan, sama kamu, Gas, jadi gak akan mati kebosanan. Kecuali kamu emang ninggalin aku di sini."

Bagas tersenyum tipis. "Hmmm ... kamu emang juaranya kalau urusan nunggu, ya, Bil?"

Nabila tidak harus menjawab karena sudah pasti Bagas tahu jawaban apa yang akan ia berikan.

><

Sejak empat tahun lalu, Nabila sudah begitu mencintai Bagas dengan alasan yang tidak pernah bisa ia jelaskan sampai kapanpun. Meski begitu, perasaan yang sudah lama tertanam dan bertumbuh semakin lebat itu tidak banyak orang yang tahu, termasuk Bagas-di masa sekarang. Setidaknya, itu menurut Nabila.

Selama ini, ketika ia mencintai Bagas, Nabila kira perasaan itu tidak akan bertahan lama. Perasaan yang kedatangannya tidak pernah ia duga itu, justru menjadi perasaan yang nyaman menetap dalam hati. Disingkirkan, tidak bisa. Apalagi untuk melepaskannya, sulit.

Sama ketika detik ini juga, debaran jantung itu masih sama, bertalu dengan kencang. Bahkan Nabila takut jika debarannya bisa terdengar oleh Bagas. Berada di dekat lelaki itu membuat dirinya seperti merasa aneh. Senang, tapi juga bingung di waktu yang bersamaan.

"Mungkin setelah ini aku nggak bakalan bisa ajak kamu ke pasar malam lagi."

Ucapan Bagas itu berhasil membuat Nabila memberhentikan kunyahan dalam mulutnya. Tangan yang memegang tusuk bakso bakar itu menggantung di udara begitu saja. Gadis dengan rambut yang beberapa helainya tertiup angin itu merasakan takut. Takut kalau Bagas akan mengatakan suatu hal yang di luar dari harapan dan keinginannya. Takut kalau Bagas tahu jika dirinya masih menyimpan perasaan untuk lelaki itu secara diam-diam.

"M-maksud kamu apa, Gas?" tanya Nabila dengan perasaan yang sudah tidak keruan. Pikirannya juga mulai berkecamuk di dalam sana.

"Ya, karena pasar ini bakal pindah ke lain tempat yang lebih jauh, jadi kita gak bisa lagi ke sini, Bila. Gitu maksudnya," jawab Bagas, menjelaskan.

Nabila langsung bernapas lega mendengar itu. Ia lanjutkan lagi aktivitas memakan bakso bakarnya. "Aku kira, apaan."

"Emangnya, kamu mikir apa?" Bagas menaikkan satu alisnya, cukup bingung karena ucapan Nabila.

Nabila dengan cepat menggeleng. "Nggak. Nggak papa kok, Gas." Setidaknya ia merasa lega karena Bagas tidak tahu apa-apa tentang perasaannya untuk lelaki itu saat ini seperti apa.

Ya, setidaknya untuk saat ini, aman.

><

Ya udah, nanti lanjut lagi, hiksssss

Indramayu, 11 Des 20

Rasa yang Berujung Lara (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang