RyBL. 01

121 13 19
                                    

November, 2020.

Seorang gadis dengan rambut yang diikat menjadi satu, menatap langit yang kian semakin gelap. Gadis yang bernama Nabila itu sudah berdiri sejak sepuluh menit yang lalu di tempat biasa ia menunggu angkutan kota. Setelah mata kuliah hari ini selesai, ia langsung berniat untuk pulang ke rumah. Apalagi ini sudah pukul setengah enam sore, dirinya sama sekali tidak ada niatan untuk mampir ke suatu tempat lebih dulu, atau bermain dengan temannya.

Di ufuk barat, senja mulai redup. Cahaya gelap kian mendominasi di atas sana. Nabila berdecak dan melirik arloji yang ada di pergelangan tangan kiri. Lantas, yang gadis itu lakukan setelahnya adalah mendesah pelan.

"Biasanya juga kalau jam segini itu angkot pada non gol. Kok, sekarang malah gak ada satu pun yang lewat, sih?!"

Nabila merasa kesal karena angkutan kota datang lama sekali sore ini. Ia sudah terbiasa menaiki angkutan umum. Tapi, yang paling sering ia naiki adalah angkutan kota. Selain murah dan datang di waktu yang cepat, ia juga kerap merasa tenang, terlepas dari ruang angkot yang sempit itu.

Suara klakson motor membuat Nabila berjingkat karena terkejut. Dengan wajah kesal, ia menoleh ke samping. Ia mendapati seseorang yang pernah membuat 'kenangan' dengan dirinya. Laki-laki yang duduk di atas motor matic itu melambaikan tangan dengan senyum yang tercetak di bibirnya.

"Sore, Bila," sapa lelaki itu. Yang mana langsung membuat Nabila menghilangkan raut kesalnya, digantikan dengan senang.

"Sore juga, Bagas," balas Nabila dengan senyuman lebarnya.

"Angkotnya belum datang juga?"

Nabila menggelengkan kepala. "Belum. Nggak tahu, tuh, kejebak macet di mana. Mungkin lampu merahnya gak berubah jadi warna hijau, makanya diam di tempat itu para angkot." Menjawab dengan wajah yang sedikit cemberut.

Bagas, laki-laki yang sejak empat tahun lalu mengisi ruang di hati Nabila itu terkekeh. Lantas, dengan cepat memberikan satu helm pada gadis itu. "Pulang sama aku, yuk, Bil. Kebetulan, aku mau ajak kamu jajan," katanya pada Nabila yang langsung menerima helm pemberiannya.

"Ke tempat yang kemarin kita datangin?"

"Iya. Kamu mau, kan, Bil?" tanya Bagas. Namun, dengan cepat laki-laki itu mengulang, "Ah, kamu kalau sama aku pasti selalu mau diajak ke manapun."

"Kalau kamu ajak aku mati, ya jelas aku nggak mau, Bagas."

"Hahaha ... iya, deh. Ya udah, ayo, naik!"

Ketika Nabila sudah naik ke atas motor, Bagas mulai melajukan kendaraan roda dua itu dengan pelan. Nabila memegangi kedua ujung jaket yang Bagas pakai. Bau harum minyak wangi yang Bagas pakai selalu membuat Nabila nyaman. Bahkan sudah empat tahun lamanya, Nabila selalu nyaman dengan harum itu. Entah nyaman karena harumnya atau memang karena sang pemakainya.

"Aku kira, kamu pulang jam tiga tadi, Gas." Nabila sedikit memajukan kepalanya ketika mengatakan itu. Yang ia tahu hari ini adalah Bagas memiliki mata kuliah hingga jam tiga sore sudah selesai. Namun, sepertinya tidak. Terbukti karena di jam sekarang, Bagas ada bersamanya.

"Ya, emang jam tiga, Bila. Cuma, aku tadi ada di gazebo taman."

"Lho, ngapain?"

"Main game, dong!"

Nabila memukul lengan kiri Bagas dan terkekeh. "Kirain sengaja nungguin aku, Gas," katanya. Padahal kamu tahu jadwal kuliah aku aja enggak, ia melanjutkan dalam hati.

"Aku aja gak tahu kalau kamu bakal pulang sore, tadi gak sengaja aja lihat kamu masih ada di tempat tunggu."

Lalu, yang Nabila lakukan setelah mendengar jawaban dari Bagas adalah terdiam. Kamu emang selalu kayak gitu, Gas. Selalu nggak tahu apa-apa tentang aku, termasuk perasaan aku ke kamu, batinnya. Lebih baik ia menatap jalanan daripada terus larut dalam pergulatan batinnya sendiri.

><

10 Des 20

Rasa yang Berujung Lara (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang