Tentang "Dilema Cita-Cita"

425 18 9
                                    

Cita-cita adalah angan masa depan kita. Besok besar mau jadi apa. Semua orang sudah pasti punya cita-cita. Begitu juga aku. Pertama kali denger kata cita-cita, aku kira itu nama orang. Eh, ternyata malah bukan.  Aku inget banget waktu di playgroup, saat Bu Frida nanyain cita-citaku. Ekspresi beliau  berubah menjadi horor ketika aku menjawab pertanyaanya dengan penuh keyakinan.

“Besok besar kamu mau jadi apa?”

“(garuk-garuk pala)”

“Cita-citamu apa, sayang..”

“Em, mungkin jadi kapiten. Eh, iya kapiten.”

“(ekspresi horor dimulai dari sekarang.. 1,2,3 go..)”

“(ketawa gak jelas)”

Yah, mungkin sedikit nggak jelas, tapi itulah yang terjadi. Semua temenku bertepuk tangan. Kapiten. Aku nggak tau pasti kenapa aku pengen jadi kapiten. Katanya Omaku, dulu aku sering dengerin lagu “Aku Seorang Kapiten”. Entah kenapa, aku langsung kecanduan banget sama kapiten Mesti selalu dengerin lagu itu setiap hari. Nggak ada bosennya.

Sampek suatu hari, Bundaku bilang kalo jadi kapiten itu nggak enak.

“Kakak mau jadi kapiten, ya?”

“Ya.”

“Apa nanti Kakak nggak takut kalo denger suara PROK, PROK, PROK..?”

“Apa?”

“Kalo kapiten lagi jalan kan, ada suara yang keluar. Bunyinya PROK, PROK, PROK..”

“(kabur).”

Sejak saat itu, aku sangat membenci hal yang berhubungan dengan kapiten dan sama sekali enggak pernah dengerin lagunya.

By the way, anyway, busway, aku bercita-cita ingin menjadi dokter saat SD kelas 4. Di kelasku, hampir semua anak ingin jadi dokter. Bisa dibilang aku ini ikut-ikutan. Aku excited banget waktu kedua ortuku setuju aku jadi dokter besok (bukan besok, tapi insya Allah beberapa tahun kemudian). Tapi, kesenanganku memudar ketika salah seorang temenku bilang kalo..

“Del, kamu pengen jadi dokter, ya?”

“Mang napa?”

“Katanya sih, jadi dokter itu harus punya keberanian yang tinggi.”

“Ah, masa?”

“Kami harus berani buka tubuhnya orang-orang yang lagi sakit.”

“(mata melotot)”

“Dibelah perutnya, terus isi perutnya periksa. Kalo sudah selesai, dijahit lagi.”

“Jahit? Ah, ngaco. Masa dijahit?”

“Iya, dijahit pakek benang.”

“Terus diapain?”

“Dibuat jadi baju dan dijual. Kalo hasilnya bagus, boleh tu dijual sampek ke luar negeri. L.A, L.A, L.A, wassup L.A.”

“(muntah-muntah) Huwekk.. Huwekk.. BUNDA...!!!”

Saat kelas 6 SD, aku memutuskan untuk mengganti cita-citaku menjadi arsitek. Dan sekali lagi, aku tu ikut-ikutan temen. Kalo lagi booming dokter, ya dokter. Kalo boomingnya arsitek, ya ikutin ajalah. Lumayan, gratis. Aku tahu ujung-ujungnya aku bakal pindah cita-cita lagi. Tapi, itu sih, urusan belakangan. So,  jalanin aja apa yang ada dulu. Dan pada suatu hari, temenku bilang.. (orang yang sama)

“Jadi arsitek, nih.. Udah pindah ya, bro.”

“Iya, udah berhasil move on sama  dokter.”

“Ya, baguslah..”

“(senyum gaje).”

“Tapi, aku punya sedikit informasi buat kamu.”

“Apa?”

“Aku denger kalo jadi arsitek itu harus pinter matematika.”

What? Aku nggak salah denger, kan?”

“Iyya. Masa’ jadi arsitek nggak bisa matematika? (nyindir aku).”

“Bohong..”

“Ya, udah kalo nggak percaya. Kalo mau buat rumah, kita harus tahu panjangnya berapa, luasnya berapa. “

“Oke, oke. Makasih informasinya, tapi aku tetep mau jadi arsitek.”

Aku sebenernya bohong di kalimat terakhir itu. Jelas-jelas aku nggak bakal mau jadi arsitek. Kata-kata itu diperkuat karena aku sama sekali nggak jago pelajaran matematika. Aku sudah terlanjur isi di biodataku kalo cita-citaku adalah jadi arsitek. Udah nggak bisa diganti lagi. Buku kenangan SD-ku yang akan menjadi saksi kalo aku sempet bercita-cita jadi arsitek.

Setelah lulus SD, aku mulai memikirkan cita-cita apa yang cocok untukku. Aku tidak punya bakat terpendam. Malahan nggak punya bakat. Tapi itu nggak mungkin. Bundaku bilang semua orang itu punya bakat. Yang nggak punya bakat berarti dia.. kurang beruntung aja. Yah, aku kurang beruntung. Nggak bisa nemuin bakatku itu apa.

Bundaku nyaranin aku nulis apa yang aku alami di sebuah buku. Dan setelah itu, baru bisa liat, aku ini bakatnya apa. Aku mengikuti apa saran Bunda dan mulai menulis di buku tentang kegiatan sehari-hariku. Awalnya males, tapi karena udah kebiasaan, jadi gapapa.

Hari ke 35. Anak-anak di kelas pada rame dan aku nggak tau harus ngapain. Mending aku gambar-gambar aja di buku tulis.” tulisku di buku jurnal.

Bundaku membaca satu per satu dan katanya, sih menemukan bakatku.

“Kakak berbakat jadi penulis.. Kayaknya.” Aku paling males denger kata “kayaknya”.

Karena Bundaku bilang kalo aku berbakat jadi penulis, mulai sejak itu aku mulai menulis dan membuat cerpen. Penulis favoritku, sudah pasti Raditya Dika (nggak tanya). Dia itu bener-bener gokil (hadeh, nggak ada yang tanya). Sumpah (pakek sumpah lagi). Aku terinspirasi banget sama semua buku-bukunya (beneran ngefans ni anak).

“Eh, Del cita-citamu berubah lagi, ya?” kata temen SD waktu reunian.

“Ya, sekarang jadi penulis.”

“Hebat. Tapi katanya gaji para penulis itu lebih dikit dari dokter.”

“Ah, masa?”

“Iya, suwer. Aku nggak bohong kayak dulu lagi. Ups..”

“Apa? Jadi, kamu bohong waktu itu?”

“Kalo arsitek sih, aku nggak bohong.. Tapi,dokter.. Baru bohong. Hehehehe.”

“(memasang wajah senyum yang dipaksa dengan menggunakan jari telunjuk dan jempol).”

__________________________________________________________________________

Terimakasih buat readers karena udah baca ceritaku.

Hanya seorang penulis amatiran yang berharap ceritanya banyak digemari.
Hanya seorang reader yang selalu kasih vote+comment yang heboh ;)
(Di_cute)

Selalu hiasi wajah kalian dengan senyuman. Tertawalah, karena itu akan membuatmu 20 kali lebih muda.Bergembiralah karena itu adalah tujuan hidup. Bersyukurlah ketika kau mendapat kegembiraan yang tak terkirakan. Sampai bertemu di next chapter, ya. Vote and comment, please. Aku hargai itu.

 

This is My LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang