Aku terkejut, tentu saja. Ned sedang menyuruhku memecahkan kaca dengan mata berbinar-binar, wajahnya terlihat polos seperti tanpa dosa.
Wah, gila.
"Ken—"
"Jangan tanya, lempar saja sekuat tenaga, pastikan batunya menembus kaca. Arahkan ke kursi itu." Ia sekali lagi menunjuk ke arah Nyonya Pott, kali ini menunjuk kursi santai yang tadi didudukinya.
Aku mengedikkan bahu, tak yakin dengan apa yang kulakukan namun akhirnya tetap melemparkannya juga.
Suara kaca pecah yang memekakan telinga segera terdengar, aku memejamkan mata, kini menyesali keputusan bodohku untuk mengikuti perintah Ned. Oh, lihat di sana, Nyonya Pott muncul dengan wajah paniknya. Aku memandang beliau dengan rasa takut yang memenuhi sanubari.
"Oh astaga, Benedict. Kau dan permainan detektif-detektifanmu lagi." Nyonya Pott berkacak pinggang di balik kaca yang keadaannya semakin mengenaskan itu, Ned tersenyum puas memandang kaca yang malang "Peralatannya ada di basement tapi terlalu berat untuk kubawa ke sini, bisakah kau mengambilnya?"
"Biar aku saja, Nyonya Pott." Senada suara asing muncul, pemuda dengan rambut sebahu turut muncul bersamanya. Dan, oh, pemuda itu tingginya hampir sama denganku, mungkin dia masih dalam masa pertumbuhan.
"Halo, Justin! Rupanya kau," ucap Ned, menyapa si pemuda. Kurasa dia adalah anak laki-laki yang tadi dibicarakan oleh Nyonya Pott, pemuda itu terlihat manis sekali dengan senyum di bibirnya, rambut sebahunya berwarna kecoklatan tumbuh lebat dan sehat, aku yakin Ashley akan menyukai si Justin ini.
"Oh, Nyonya Pott melupakan namaku lagi? Aneh. Dia bisa menghapal tiap negara yang ada di dunia, tapi selalu melupakan namaku. Terakhir kali dia memanggilku Heston." Pemuda itu tertawa kecil lalu, "Halo," serunya sopan sembari menyetarakan tangan dan telinganya, menggerakan jarinya-jarinya cepat, ia menyapaku.
Kesan pertama yang ramah itu jelas berbeda dengan citra diri yang ditawarkan oleh Ned saat pertama kali datang ke rumahku. Orang macam apa yang meminjam kamar mandi tetangganya untuk menggosok gigi di hari pertama bertemu? Mungkin hanya Benedict seorang 'lah yang melakukannya.
Tangan Justin ditutupi perban putih, perban itu melilit tangan kirinya seperti sarung tinju. Kata Mama jika jari seseorang ditutupi perban seperti itu, maka ada dua kemungkinan : dia berandalan atau dia pekerja keras. Untuk sosok pemuda dengan senyum ramah dan sorot mata hangat ini, kemungkinan kedua lebih cocok untuknya. Benar 'kan? Atau mungkin, lupakan saja soal teori pekerja keras atau berandalan, bisa saja tangannya terluka saat sedang bermain panjat pohon dengan temannya.
Aku membalas sapaan Justin dengan senyum singkat, tak sempat menyapanya dengan kata-kata, si pemuda sudah terlebih dahulu berlalu pergi, sepertinya ke basement untuk mengambil peralatan yang akan digunakan untuk memasang kaca.
"Baiklah, bisakah kita kembali ke kaca ini?" Ned menyambar dengan cepat, bergerak maju mendekati kaca. Aku hanya bisa menggeleng keheranan menanggapi semangat namun mengandung krisis prioritas yang ada di dalam dirinya. Maksudku, ia baru saja memerintahkanku untuk memecahkan kaca Nyonya Pott, setelah Nyonya Pott muncul, ia bahkan tidak meminta maaf. Setelah memaksa seseorang untuk memecahkan kaca seseorang yang lain, seharusnya prioritasnya adalah meminta maaf 'kan? Kenapa bersikeras membicarakan posisi pecahan kaca?
Daripada bergunjing dalam kepala, ada baiknya segala keluhanku segera kusampaikan padanya secara langsung. Iyakan? "Hei, hei, tunggu dulu ... kau ini apa? Sherlock Holmes?"
Ned seketika tertawa, gelak tawanya terdengar seperti kuda yang dipecut. "Sherlock Holmes, ya? Tidak, aku tidak sepintar Sherlock Holmes. Aku bukan penggila misteri yang suka menangkap pembunuh, aku hanya suka mengamati untuk kemudian berusaha menarik kesimpulan." Dan kini pria itu kembali mengamati kaca, keningnya bergerak-gerak sampai kedua alisnya hampir menyatu "Jika aku Sherlock Holmes, maka kau John Watsonnya." Ia tiba-tiba berbalik dan tersenyum, menampakkan deret giginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpected
Mystery / Thriller(DISCONTINUED) Niat awal Finella hanyalah menjauhkan diri dari sang Ibu untuk menghindari rasa bersalah yang menyiksanya. Eastnovus, kota kecil tempat neneknya dulu tinggal tampaknya menjadi satu-satunya solusi. Siapa sangka kota yang begitu tenang...