Bagian 2 : Orang asing malam itu

37 13 16
                                    

Suara kaki kursi yang bergesekan dengan lantai kayu memenuhi rungu, decitan burung yang berasal entah darimana menjadi pengiring siangku. Kaki kursi yang sedari tadi susah payah kuseret nampaknya akan meninggalkan bekas di lantai, namun siapa peduli. Aku tiba di teras rumah bersama kursi itu, meletakkannya di sana.

Lagi-lagi, mataku yang nakal melirik keberadaan kastil—yang jelas saja—berusia tua yang jauh berada di sisi kanan rumah. Aku takut. Oh, ayolah, siapa yang tidak takut dengan keberadaan kastil tua yang tampak begitu suram itu? Hanya aku? Mungkin aku memang penakut. Tapi aku serius saat mengatakan bahwa kastil itu tampak suram, lihat saja batu-bata keabu-abuan yang sepertinya sudah dijadikan tempat tinggal oleh lumut dan tumbuhan paku-pakuan. Aku bisa membayangkan slenderman keluar dari pintu besarnya.

Kata Mama kastil itu milik sebuah keluarga kaya, dijadikan sebagai tempat berlibur musim panas untuk mereka namun sepertinya sudah sangat lama tidak dikunjungi dan entah bagaimana nenek bisa membangun rumah di area kastil ini.

Omong-omong, Mama sedang pergi ke Eastnovus. Ya, Eastnovus yang itu. Beliau pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli bahan makanan serta barang lain untukku, aku lebih memilih untuk tinggal di rumah yang akan—atau mungkin telah—kutinggali ini untuk membersihkannya. Sudah sangat lama sejak Nenek meninggalkan rumah ini, dan sejak saat itu tidak ada yang tinggal di rumah ini, jadi jelas saja laba-laba dengan senang hati membangun sarangnya di dalam rumah. Syukurlah rayap tidak ikut bermukim di kayu-kayu pembentuk rumah.

Merasa jenuh karena menghirup debu halus di dalam rumah terlalu lama, kini aku memutuskan untuk memandang halaman kelewat luas yang dimiliki rumah ini. Barisan pohon—entah pohon apa—menjadi dekorasi di tengah hamparan rumput hijau, memanjakan mata. Namun, dasar kastil sial, aku gagal merasakan euforia di tengah padang rumput karenanya. Aku memutuskan untuk kembali ke dalam rumah, tak mau membiarkan diriku merinding terlalu lama akibat memandangi kastil itu.

Mama tiba bersama mobilnya dan bahan makanan sekitar satu setengah jam kemudian, memberitahuku bahwa diperlukan waktu tiga puluh menit untuk pergi ke kota Eastnovus—artinya perlu satu jam untuk perjalanan ulang-alik. Waktu menunjukkan pukul enam di sore hari saat Mama memutuskan untuk pulang, Mama awalnya mengatakan akan menginap untuk menemaniku, namun rupanya hatinya tidak yakin untuk meninggalkan Ashley dan Ayah berdua di rumah, akan terjadi kekacauan yang absolut.

Dan saat itulah ujian yang sebenarnya tiba. Tinggal sendirian di rumah tua yang berjarak sangat dekat dengan kastil menyeramkan.

Sudah kukatakan aku ini penakut, bukan? Aku penakut, dan entah kenapa setelah pernah mengonsumsi heroin dalam jumlah—kelewat—berlebih, aku jadi semakin penakut dan seringkali merasa curiga pada sekitar. Saat sendirian, terkadang suara air keran yang jatuh 'pun terasa seperti teror bagiku, karena itu aku benci ditinggal sendiri.

•••

Matahari sudah sepenuhnya tenggelam, berganti dengan rembulan yang rupanya bersinar terang malam ini. Suasana begitu tenang. Oh, mungkin ini lebih cocok disebut senyap. Tak seperti rumah lamaku yang kadang terdengar suara mesin kendaraan melintas, di sini benar-benar nihil. Awalnya aku berniat untuk duduk di beranda rumah seperti tadi siang, barangkali saja ada keramaian di luar sana, namun kastil itu benar-benar sukses menyurutkan niatku.

Aku memutuskan untuk mengambil handphone yang tergeletak di atas kasur serta earphone dari dalam backpack. Mendengar lagu sepertinya adalah solusi yang brilian untuk saat ini, setidaknya aku tidak diserang kesunyian lagi. Aku menimbang-nimbang apakah akan berbaring di tempat tidur atau di atas karpet beludru yang di bawa dari rumah, namun rupanya karpet lebih menarik hati. Beberapa kotak berisi perabot cukup penting kubiarkan bertumpuk di sepanjang lorong sana, entah kenapa merasa malas untuk mengeluarkan barang-barang itu.

UnexpectedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang