Kepalaku bergerak maju mundur seiring Ned menginjak pedal sepedanya, jalanan beraspal kurang mulus membuat sepeda berguncang cukup keras, kepalaku menjengit terkadang tanpa sengaja menabrak punggung Ned. Dahiku mengernyit seiring perjalanan ke rumah 'Nyonya Pott', tak menemukan alasan kenapa Ned membawaku ke sana.
Pemuda itu bersenandung pelan, mengisi kesunyian di tengah udara musim panas. Pohon-pohon besar berbaris rapi di tepi jalan, melindungi kami dari terik sinar matahari, dedaunan bergemerisik pelan seolah mengiringi senandung riang Ned, aku kini agak bersyukur Ned mengajakku, kapan lagi aku bisa merasakan suasana setenang ini?
Sepeda merah cerah Ned acap kali berbunyi, mengeluarkan derit ria khas besi tua kurang pelumas. Rumah-rumah berpotongan serupa berbaris tak kalah rapi dari pohon, bersemayam indah di tengah halaman berumput hijau, aku yakin rumah-rumah ini tak kalah tua dari sepeda yang sedang kutumpangi sekarang.
Ned membuat sepedanya berbelok, mengurangi kecepatan sepeda dan mengarahkan setangnya agar memasuki halaman rumah pertama yang berada di simpangan kedua yang kami temui. Mataku sekilas menangkap plang besar bertuliskan 'cinema' di ujung jalan, sedikit tak percaya ternyata ada bioskop di kota yang tampaknya dipenuhi fosil dinosaurus ini. Ned terkekeh, membuatku berpaling menatapnya, ia menunjuk ke arah belakang-sisi seberang dari simpangan-seraya berucap, "Jangan salah, kami bahkan punya Bar di sana."
Aku ikut tertawa canggung sampai sesuatu yang terasa hangat dan berbulu menyapu kakiku, aku terpekik kaget tentu saja. Tawa Ned semakin nyaring, ia membungkuk dan mengambik 'sesuatu' yang tadi bergelayut di kakiku. Seekor kucing berbulu tebal-atau mungkin berlemak tebal-dengan warna oranye putih rupanya, menggemaskan.
"Ini Charlie, dia kucingnya Nyonya Pott."
"Benedict!"
Kami sama-sama melemparkan pandangan ke arah sumber suara, wanita baya namun masih tampak sangat tangguh berdiri di depan pintu sembari menyampirkan kedua tangan di pinggang, ekspresi kerasnya perlahan melembut seiring menyadari kehadiranku, aku berdeham.
Rambut cokelat yang telah berubah warna menjadi keabuan di beberapa tempat digelung rapi ke belakang, kacamata kecil dengan nyaman bersemayam di tulang hidungnya, membuatku teringat dengan Profesor Transfigurasi di Harry Potter. Wajah ramah namun tetap tegas itu menampilkan senyumnya padaku "Kau tidak bilang akan ada temanmu yang ikut berkunjung." Alun suaranya menyerang Ned.
Ned tersenyum simpul lalu berucap berucap, "Halo Nyonya Pott, ini Finella Whitlock. Dia baru pindah ke rumah di depan kastil."
Beliau menjulurkan tangannya padaku, dengan cepat kubalas dengan jabat tangan hangat "Emma Pott, nak. Sekarang mari kusambut kau dengan secangkir teh sementara Benedict bermain-main dengan kaca jendela." Dan aku mulai menyukai Nyonya Pott.
Nyonya Pott meletakkan tangannya di punggungku, bermaksud mengajakku masuk ke dalam rumah, Ned mengikuti di belakang. "Kau ingin langsung mulai atau menunggu anak laki-laki itu? Astaga, aku melupakan namanya lagi, aku benar-benar kesulitan mengingat namanya." Nyonya Pott bersuara seiring ia membukakan pintu, ia melirik Ned yang berdiri di belakang kami.
"Anak laki-laki?" Ned tampak kebingungan "anak laki-laki yang mana?" tanyanya. Nyonya Pott mengedikkan bahu tanpa melihat ke arah Ned lagi. Pintu rumah terbuka dan perapian bata berwarna merah segera menjadi fokus utamaku, bersih tentu saja, siapa yang mau menggunakan perapian di tengah musim panas. Gelap, ruangan itu gelap, sisi sebelah kanan ditutupi tirai berwarna merah marun, tampaknya dipasang secara asal-asalan. Nyonya Pott sepertinya tidak mau repot-repot menjelaskan perihal 'anak laki-laki itu' pada Ned, beliau melangkah menuju tirai itu, menariknya.
Kaca besar yang berlubang mengenaskan, pecah. Saat kuperhatikan lagi, sebuah kaca berukuran sama dengan kaca yang telah pecah itu tengah bersandar di sisi lain rumah. Sepertinya Ned akan mengganti kaca itu. Kini aku mulai bertanya-tanya, apa pria ini bekerja sebagai tukang reparasi jendela. "Nah, nak. Aku akan mengambilkan peralatan yang sekiranya diperlukan Benedict di gudang bawah, kau bisa duduk di sini dulu, maukah?" Nyonya Pott berucap halus sembari menatapku dan Ned, aku mengangguk dan beliau segera berlalu.
"Seseorang melemparkan batu ke jendela Nyonya Pott beberapa minggu lalu," jelas Ned padaku "syukurlah beliau sedang berada di ruangan lain, beliau bisanya duduk di sini dan batunya menuju tepat ke kursi ini." Ia duduk di salah satu kursi santai yang berada di ruangan ini, berada cukup jauh dari jendela. Aku mengangguk-angguk seperti boneka berleher per tekan di mobil. "Tapi ada yang aneh, bukan?" ucapnya lagi. Aku berbalik ke arahnya dengan dahi yang berkerut, apa yang aneh?
Ia tersenyum, menyeringai. Ekspresinya persis seperti malam tadi di rumahku, saat berbicara panjang lebar tentangku. Ned sama sekali tidak memandangku, matanya menatap lurus ke penjuru depan sedangkan punggungnya diistirahatkan pada sandaran kursi, ia bersedekap. Jujur saja, ia terlihat seperti sedang merencanakan sebuah hal besar, yang mengerikan. Serius.
"Maaf, tapi apa yang aneh?" Ya, tentu saja aku bertanya. Aku tidak bisa menemukan keanehan yang dimaksud olehnya. Kemungkinan besar ia sedang menertawakan kebodohanku dalam hatinya, tapi aku tidak peduli, aku penasaran pada hal 'aneh' yang dimaksudkannya. Dan lagipula aku memang bodoh, jadi apa salahnya? Ned meluruskan punggungnya, masih tidak menatap ke arahku dan mempertahankan senyumnya—atau aku dengan senang hati akan menyebutnya seriangaian. Oh, dia tampak menikmati peranku sebagai orang bodoh yang tidak bisa berpikir di sini
"Coba perhatikan kaca itu, lubang pecahan berada di kiri tengah, bukan?" Aku mendekat ke arah kaca begitu Ned menyelesaikan ucapannya. Ya, benar, tampaknya batu itu mengahantam kaca di bagian kiri. "Dan batunya berada di sini, kursi ini berada di sebelah kanan ruangan." ucapnya lagi. Pemuda itu bangkit dari kursinya, menghampiriku.
Ned mendekatkan kepalanya kepada kaca.
Dia ingin mencium kacanya?
Astaga Finella, pikiranmu.
Tapi aku serius, dia mendekatkan kepalanya ke arah kaca dengan intensitas tatapan gila-gilaan, seolah kaca itu adalah kekasih yang siap dikecupnya "Arahnya tidak cocok, kan?" Ned berhenti menatap kaca lalu berpaling haluan ke arahku, seringaian itu sudah hilang dari wajahnya, sekarang dahinya seperti pakaian yang kumasukkan asal-asalan, berlipat kumal.
"Bisa saja 'kan? Mungkin dia memang mengarahkannya ke kursi ini." Kali ini aku berusaha terdengar pintar, mungkin saja kalimat yang keluar dari mulutku berakhir menjadi sangat impresif dan memecahkan segala teori buntu dalam kepala Ned. Meski peluangnya sangat kecil, kalimatku berpeluang besar menjadi omong kosong yang sangat tak berguna. Dungu.
"Ya, bisa saja," ucapnya, membuatku hampir bersorak dan melompat bak kangguru "tapi ... coba ikuti aku." Ned langsung melangkah menuju pintu. Dan aku mendapatkan firasat bahwa aku akan benar-benar merasa bodoh jika mengikutinya. Tapi aku penasaran. Aku bimbang sekarang.
Ikuti? Tidak?
Dan kakikku dengan lancangnya bergerak mengejar Ned. Terkutuklah kau, rasa penasaranku.
Ned melintasi halaman luas Nyonya Pott sedangkan aku setia menjadi ekornya, mataku menyipit, matahari hari ini berpendar terik. Aku terus mengikuti langkah Ned sampai kami tiba di sisi luar dari jendela yang pecah. Pemuda itu sedang menunduk, memungut sebuah batu dari tanah saat aku tiba di hadapannya. Tumpukan kecil batu bermukim di bawah jendela itu. Ned memainkan batu yang dipungutnya, menatap isi rumah Nyonya Pott dengan serius, tampak sedang berpikir keras. Ia menyerahkan batu itu ke tanganku "Lempar," ucapnya sembari menunjuk rumah Nyonya Pott.
[]
note,
Huhuu, aku maunya update yang rajin, tapi gara gara draf gak kekumpul banyak, jadilah cuma bisa update sebulan sekali. Maaf kalo gak jelas, hshss. C u bulan depan!
KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpected
Misterio / Suspenso(DISCONTINUED) Niat awal Finella hanyalah menjauhkan diri dari sang Ibu untuk menghindari rasa bersalah yang menyiksanya. Eastnovus, kota kecil tempat neneknya dulu tinggal tampaknya menjadi satu-satunya solusi. Siapa sangka kota yang begitu tenang...