Aku duduk di kursi kayu ruang tamu sembari memerhatikan televisi tua yang sudah tidak berfungsi, beradu tatap dengan refleksi diriku yang ada di layar abu-abu televisi tabung di depan sana. Suara percikan air terdengar dari kamar mandi disusul dengan suara berkumur seseorang. Ya, pria berambut merah itu akhirnya kuizinkan untuk masuk ke rumah. Hatiku tidak tega untuk menolak permintaannya, apalagi dengan pandangan mata seperti anak anjing serta tangan yang menggenggan sikat gigi berpasta. Dia terlihat begitu putus asa dan aku tak kuasa untuk mengusirnya.
Sesosok pria dengan jubah tidurnya muncul dari lorong setelah serentetan bunyi ketukan telapak kaki pada lantai, aku melirik keberadaannya. Pria itu masih saja menggenggam sikat giginya, namun kali ini tanpa odol. Giginya yang tadi bersinar semakin bersinar, berusaha menjadi hiperbolis, maka mataku dibutakan oleh sinar dari giginya. Aku berniat untuk bangkit dari kursi ketika dia duduk di kursi lainnya, membuatku mengurungkan niatku.Jujur saja, laki-laki ini aneh.
"Kuharap aku tidak mengganggu."
Oh, jelas saja kau mengganggu.
"Tidak, tenang saja." Apa gelar yang biasanya kalian sematkan pada seseorang seperti aku, hipokrit? Kurasa benar, hipokrit. Suka berpura-pura, lain di mulut lain di hati. Aku memandang pemuda bersurai merah ini dengan pandangan cepatlah.pergi.astaga. Namun rupanya ia merupakan satu dari sekian banyak orang yang begitu tidak peka dengan perasaan manusia lain. Menyebalkan. Ia bahkan membalas pandanganku dengan senyum manis.
"Kau baru pindah ke sini?" Si Lelaki berambut merah kembali berujar.
Suara-suara dari hatiku telah berucap, "Tidak. Sudah sepuluh tahun sejak aku pindah ke sini, kebetulan saja kita tidak pernah bertemu."
Namun akal sehatku melarangnya. Itu terlalu kasar katanya. Aku mengangguk "Ya, rumah ini milik keluargaku." Sepertinya aku sudah melemparkan terlalu banyak informasi pada pria ini, bibirku seakan tak punya penyaring kata. Kemana krisis kepercayaan yang biasanya selalu tertanam pada dirimu itu, Finella? Kau menceritakan segala hal pada lelaki ajaib berambut merah ini.
"Selamat datang di Old Eastnovus." Ucapannya membuatku harus memaksakan segaris senyum di bibir. Walaupun merasa risih dengan kehadiran pemuda ini, setidaknya aku masih harus bersopan-santun. Aku mengangguk pertanda mengapresiasi sambutannya untukku setelah melirik keberadaan jam di atas televisi.
"Kurasa aku mengganggumu."
Ya, benar.
"Tidak, kau tidak mengganggu."
Pria itu bangkit dari tempat duduknya, sesaat setelah aku buka suara. Awalnya kukira ia marah namun labiumnya membentuk senyuman.
"Kau terus melihat ke arah jam, kau merasa bosan dengan apa yang kita lakukan di sini, kau merasa terganggu dengan apa yang kita lakukan sekarang. Ingin momen ini cepat berlalu." Masih dengan senyumnya, serentetan kalimat keluar dari bibirnya bagaikan kereta cepat, otakku perlu beberapa saat untuk menyerap serta memahami tiap kata yang terdengar oleh telingaku, mataku sekali lagi melirik jam yang berada di atas televisi, jam itu sudah berada di rumah ini puluhan tahun, aku hanya mengganti baterainya tadi siang, rupanya si jam masih berfungsi. "Selamat malam Nona Ambrose, maaf mengganggu waktumu."
Tunggu sebentar. Siapa Ambrose?
Lelaki itu melangkah menuju pintu, dan entah kenapa aku dengan bodohnya mengikuti. Dia berhenti tepat di depan pintu, aku juga berhenti tentu saja, aku tak mau menabrak punggungnya. Ia berbalik, menatapku "Ngomong-ngomong aku mencari seseorang untuk membersihkan kastil. Kau perlu pekerjaan dan uang untuk membeli barang itu, 'kan? Bekerjalah di kastil, akan kuberikan gajih." Dan kali ini ucapannya membuatku ingin menamparnya tepat di wajah.
Perlu pekerjaan dan uang untuk membeli barang itu.
Aku menahannya ketika ia lagi-lagi berbalik, bersiap mengambil langkah keluar dari pintu. Aku menarik pergelangan tangannya, Si Lelaki tertarik kembali ke dalam rumah, tangan kananku yang bebas bergerak sedemikian cepat untuk menutup pintu rumah. Lelaki berambut merah masih tersenyum menyebalkan.
"Dari mana kau mengetahui itu? Dan ... tolong, aku sudah tidak menggunakan barang itu lagi. Tidak.akan.pernah.lagi." Aku menekankan setiap kata yang ku ucapkan, aku tak yakin namun sepertinya suaraku terdengar penuh amarah sedangkan pria itu masih saja tersenyum, membuat emosiku kian tersulut.
Ia melirik pergelangan tangannya yang masih saja kugenggam dengan erat, aku sontak melepaskannya. Sedikit terkejut dengan bekas kemerahan yang tertinggal, tak menyangka aku bisa sekuat itu. Si Pria dengan santai menuju kursi kayu yang tadi didudukinya, tampak mengatur posisi agar dirinya nyaman lalu mulai berucap, "Nona Ambrose, kuasumsikan itu namamu karena kau katakan bahwa rumah ini milik keluargamu dan seingatku rumah ini dulunya dihuni oleh seseorang bernama Daisy Ambrose."
Kini aku ingat, Ambrose adalah nama nenek.
Jeda beberapa saat, aku kembali ke posisi yang sama seperti sebelumnya, di kursi kayu yang berseberangan dengan yang di duduki lelaki itu "Pindah ke sini atas kemauanmu, terlihat dari bagaimana kau melambaikan tanganmu pada orang yang tadi mengantarkanmu ke sini, tampak tidak ada paksaan."
Ia kembali menjeda, tampak menarik napas panjang sebelum kembali melanjutkan, "Kau belum membongkar barang-barangmu sama sekali, awalnya kuasumsikan bahwa kau belum punya waktu untuk membongkarnya namun kau bahkan belum mengeluarkan bajumu dari tas—aku melihat tas berisi pakaian di koridor tadi—tapi masih punya waktu untuk menempelkan foto-fotomu bersama keluargamu—kuasumsikan itu keluargamu karena kalian terlihat mirip—di kulkas tua dekat kamar mandi sana. Foto-foto yang mengingatkanmu akan lingkungan lama lebih penting daripada pakaian, kau ... mempertanyakan keputusanmu untuk tinggal di sini."
Kali ini ia menatapku—jika kau bertanya apakah sedari tadi ia tidak menatapku, jawabannya iya. Ia berbicara panjang lebar sembari menunduk—ia berfokus pada tanganku atau itulah tebakanku. Aku jelas saja tidak nyaman dengan itu "Nona Ambrose aku turut senang kau sudah tidak memakai barang-barang itu lagi." Ia tersenyum padaku, namun aku yakin itu bukan senyum tulus yang memberikan selamat. Ia melanjutkan kalimatnya, "Sedari tadi kau terus saja menutupi siku dalammu, aku sedikit mengintip tadi dan ada banyak bekas suntikan. Di bagian lain banyak luka, di wajahmu ada beberapa bekas luka juga. Kau menunjukkan ciri fisik yang sama seperti seseorang yang kukenal dan ia menggunakan—"
"Cukup." Aku memotong perkataannya. Rasa kesal memenuhi sanubariku, membuat keinginan untuk menendang pria ini keluar dari rumah meningkat pesat. Ia hanya memandangiku dengan ekspresi bagai tanpa dosa. Aku kesal karena tiap kata yang keluar dari bibirnya mengandung kebenaran, pria ini sedang pamer pengetahuannya tentangku dan itu menyebalkan. Tujuanku melarikan diri ke sini agar bisa memulai hidup baru, dan orang pertama yang kutemui di kota ini menyebutkan dengan jelas di hadapanku bahwa aku adalah seorang pengguna obat-obatan terlarang. Usahaku menjadi pribadi yang lebih baik terasa seperti sedang dihina sedemikian hina dan tentu saja bukan sesuatu yang baik.
Pandanganku memburam dengan cepat, air mata menghalangi pandanganku. Aku berdiri dengan kaki yang bergetar, berjalan menuju pintu dan memutar kenopnya dengan tangan yang juga bergetar hebat. Meminta pria itu untuk pergi. Syukurlah kali ini dia peka, ia segera bangkit dari kursi kayu itu dan melangkah keluar rumah.
Aku hampir menutup pintu rumah ketika suaranya kembali terdengar, "Namaku Benedict, kau bisa memanggilku Ned. Datanglah ke kastil jika kau menginginkan pekerjaannya, walaupun sudah tidak perlu uang untuk membeli barang itu, kau masih harus memenuhi kebutuhan hidup 'kan?"
Kini aku terdiam. Pria itu benar-benar tak bisa membaca situasi?
Dan malam itu, dua puluh menit setelah Si Pria bersurai merah kembali ke kastilnya, aku menurunkan semua jam dinding yang ada di rumah tua ini.
[]
note
tolong kasih tau kalo semisal ada typo, makasih♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpected
Tajemnica / Thriller(DISCONTINUED) Niat awal Finella hanyalah menjauhkan diri dari sang Ibu untuk menghindari rasa bersalah yang menyiksanya. Eastnovus, kota kecil tempat neneknya dulu tinggal tampaknya menjadi satu-satunya solusi. Siapa sangka kota yang begitu tenang...