"Kau tak perlu bekerja terlalu keras, Fin," ucap orang yang memintaku menyuapinya saat makan karena tangan kanannya terluka—menurut kabar itu terasa begitu sakit dan menyiksa sampai rasa-rasanya dia akan menangis saat si tangan kanan bersentuhan dengan sesuatu—dan makan menggunakan tangan kiri itu tidak etis. Kulihat cengiran nakal samar saat roti gandum beroleskan selai cokelat kudekatkan ke bibir Ned. Entah ia memang perlu bantuan atau hanya bersikap usil, yang pasti dia membuatku bekerja keras.
"Tidak, kok." Aku membalas ucapannya saat ia mengunyah roti dengan saksama, tampaknya si tuan tak mau tersedak. Tapi kurasa tak perlu begitu 'saksama', dia sudah dewasa, bukan anak kecil apalagi bayi yang akan tersedak saat makanan padat melintasi kerongkongan. Tapi tak sampai satu menit berlalu, dia batuk hebat sembari memukul dada, tak lama meraih gelas berisi susu tanpa ragu dengan tangan kanannya—tidak, dia tidak berteriak kesakitan atau menangis saat melakukan itu. Sadar kebohongannya terbongkar, segera setelah berhasil meredakan batuk, Ned menyambar sisa potongan roti di atas piring.
Bukan bermaksud kasar, tapi secara refleks bola mataku memutar jengah. Si pria kini tidak menatapku, ia memandangi alat pemanggang roti seakan benda elektronik itu adalah belahan jiwanya yang hilang, kurasa karena terlalu terbuai dengan kecantikan benda kotak berkulit putih, licin, dan halus itu, ia terlonjak kaget saat sepasang roti kecoklatan meloncat keluar.
"Maaf," gumamnya, suara yang keluar tak lebih nyaring dari kicauan burung di luar sana "jahitannya sudah dilepas beberapa hari yang lalu, kukira dengan begitu kita bisa jadi lebih dekat ... ya, maaf." Pemuda itu gagal menyelesaikan kalimatnya dan menggantinya dengan permintaan maaf saat didapatinya tanganku meraih pisau roti. Tidak, aku sama sekali tidak memiliki niat untuk berperilaku brutal, aku hanya mau mengambil roti dan membuang pinggirannya yang gosong. Laki-laki bersurai merah dihadapanku hanya ketakutan dengan prasangkanya sendiri.
Sebulan sudah berlalu sejak aku mengantar Ned ke klinik untuk menjahit lukanya. Dulu sekali, Ash pernah dapat jahitan di dahinya karena kepalanya menghantam aspal, seingatku hanya perlu dua minggu sampai jahitannya dilepas dan lukanya saat itu jauh lebih besar dari luka milik Ned, bahkan anak itu sudah bisa menyundul bola sepak dengan entengnya seminggu kemudian, jadi aku cukup bertanya-tanya kenapa jahitan Ned tak kunjung dilepas padahal susah satu bulan lamanya. Walaupun begitu, aku tidak pernah menyuarakan keherananku dan lihatlah, rupanya ia mengerjaiku.
Ned melepaskan perban putih samaran itu dari tangannya, perlu beberapa saat karena manusia yang satu itu menggulungnya di tangan dengan begitu rapi. Aku jadi semakin kesal dibuatnya, Ned sedang menunjukkan seberapa dedikasinya untuk 'bermain-main' denganku.
"Mau nonton? Aku yang traktir. Ayolah, kumohon jangan marah dan turunkan pisau roti itu, itu sedikit menyeramkan." Ned kini bertutur secepat rapper kenamaan. Aku mengikuti permintaannya dan memutuskan untuk melahap roti dengan pinggiran gosong.
•••
Malam yang indah, benar-benar indah. Maksudku, dengan hujan yang deras dan petir yang tak henti-hentinya menyambar, malam ini tidak bisa jadi lebih indah lagi, bukan?
Ned mengulum bibirnya kuat-kuat sedangkan matanya menatap nanar jalur air hujan di kaca jendela. Satu jam yang lalu aku sedang bersiap-siap untuk menyaksikan sebuah film di teater bersama Ned, sesuai dengan janji pemuda itu padaku. Awalnya aku menolak, tapi pria itu memaksa, katanya untuk menebus kesalahannya padaku. Ia berucap seolah dirinya tidak sengaja membakar rumahku.
Tiga puluh menit berlalu dan kami siap pergi, Ned mengeluarkan sepedanya dan entah bagaimana rantainya tiba-tiba putus. Kami saling memandang selama beberapa saat, menimbang-nimbang apa hal yang seharusnya kami lakukan. Aku hampir menyeret kakiku kembali masuk ke dalam rumah saat Ned meraih pergelangan tanganku dan menatapku dengan mata memelas, mengajakku untuk berjalan kaki menuju teater dan baru saja kami keluar dari blok tempat kastil berada, kilat menyambar dan langit mulai menangis.
Seolah kesialan hari itu diatur untuk membuat senyum di wajahku terbakar habis, hujannya begitu deras dan tak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.
Kini kami terjebak di sebuah cafe. Tak terlalu buruk sebenarnya, aku tidak pernah mengunjungi tempat ini, aku tidak keluar rumah terlalu sering—kecuali untuk ke kastil. Cafenya sepi, hanya ada aku, Ned, sepasang remaja tanggung di sudut lain, serta si pegawai cafe di sebalik konter sana. Kafenya megingatkanku pada bis yang dulu sering kutumpangi menuju sekolah, tapi ukuran cafe ini jauh lebih besar daripada bus.
Saat siang atau pagi hari aku sering melintasi cafe ini, tapi selalu tutup, mungkin hanya beroperasi saat malam. Aku tidak jadi kesal, cafenya cantik dan semakin lama suara hujannya semakin menenangkan.
Kesenanganku baru berlangsung beberapa saat hingga sosok serba hitam melintas cepat menerobos hujan disebalik kaca jendela, aku terlompat kaget dan kudapati Ned tak kalah terkejutnya—aku jadi teringat ekspresi terkejutnya tadi siang saat sepasang roti melompat keluar dari pemanggang. Kudapati mata sipit yang cukup familiar dari sebalik tudung jaket "Apa yang dilakukan Helena di tengah hujan?" celetuk Ned.
Helena? Oh, wanita di klinik.
Belum reda keterkejutanku, sosok berjaket dan tudung kembali lewat, kali ini jaketnya berwarna putih terang, tampak mencolok di gelapnya jalanan. Sosok yang satu itu berhasil kukenali, itu Justin dengan cengiran cerianya. Matanya bersitatap dengan milikku dan dengan cepat ia berputar arah ke cafe, tampaknya ingin bergabung dengan kami.
Berbicara tentang Justin, ini Justin yang sama dengan yang bertemu denganku di rumah Nyonya Pott. Sesuai tebakanku—yang berlandaskan teori milik Mum—Justin orang yang baik sekali, walaupun agak kikuk. Rupanya ia cukup dekat dengan Ned, sebelum libur musim panas tiba—dimulai dua minggu yang lalu—ia sering berkunjung ke kastil sepulang sekolah, ada gedung sekolah di depan kastil, sudahkah kukatakan? Katanya dia bosan sendirian di rumah.
Ada kejadian ... lucu tentang Justin. Saat minggu-minggu pertamaku di Eastnovus, suasana sekitar rumahku akan begitu ramai di pagi dan sore hari, para remaja tanggung sangat suka mengobrol dengan suara keras.
Suatu pagi aku pergi keluar tembok kastil untuk membuang sampah, kudapati Justin dan teman wanitanya tak jauh dari tempat sampah, berbicara berhadap-hadapan. Rupanya si remaja putri sedang menyatakan perasaannya, dan aku bersumpah aku tidak bermaksud menguping, hanya tidak sengaja terdengar, dan jawaban Justin saat itu adalah, "Maaf, aku gay." Pemuda itu berucap kikuk sembari menggaruk tengkuknya.
Seminggu kemudian, dalam kasus yang sama—membuang sampah—aku kembali mendapati Justin dalam posisi yang sama, kali ini dengan teman prianya. Temannya menyatakan perasaannya dan kali ini Justin menjawab, "Maaf, aku heteroseksual."
Aku menarik konklusi saat itu. Antara Justin tak mau menjalin hubungan atau hanya senang mengusili orang. Atau mungkin gabungan dari keduanya.
Kembali ke saat ini, Ned mulai berbincang dengan Justin saat aku sibuk melamun, kulihat Justin sibuk melepaskan jaketnya dan merasa cukup keheranan saat mendapati bagian dalam jaketnya tak kalah basah daeu bagian luar, beludru hitam itu tampak lusuh akibat air hujan. Jari-jarinya tak kalah menarik perhatianku, warna terang dan mencolok dari cat menutupi jari hingga kukunya.
"Ada apa dengan jaketmu, Justin?" Ned bertanya mewakilkan rasa penasaranku tentang jaket, Justin menjauhkan jaketnya dari meja, kurasa ia takut jaketnya akan membasahi kami.
"Hujannya deras sekali, airnya sampai masuk ke dalam jaketku," ucap Justin ringan. Ned tidak bertanya lagi sedangkan aku masih kebingungan, bukankah jaket Justin berbahan parasut yang tidak menyerap air, kenapa bagian dalamnya bisa basah? Lagipula jika hujannya sebegitu deras, kurasa airnya tidak akan membasahi punggung bagian dalam jaket, jelas kulihat tadi jaketnya dirisleting dan ia menaikkan tudung kepalanya, seharusnya itu cukup untuk memblokir air hujan untuk membasahi bagian dalam jaket, kan?
Tapi rasa penasaranku dibiarkan mereda beriringan dengan hujan, kami kembali ke tempat tinggal masing-masing, kulihat fajar mulai menyingsing saat melirik keluar jendela kamar.
[]
note,
Huwa maaf, ini membosankan sekali T^T
Chapter depan bakal masuk ke masalah inti (?) dari cerita, semoga gak makin makin membosankan :)
Tbh, aku mau nyerah saja nulis ini. Rasa rasanya aku gaada bakat buat nulis deh :)
it seems there's no point at all buat ngelanjutin cerita ini. Haha, malah curhat. Anw, wdyt? Aku unpublish aja kali ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpected
Mystery / Thriller(DISCONTINUED) Niat awal Finella hanyalah menjauhkan diri dari sang Ibu untuk menghindari rasa bersalah yang menyiksanya. Eastnovus, kota kecil tempat neneknya dulu tinggal tampaknya menjadi satu-satunya solusi. Siapa sangka kota yang begitu tenang...