Cinta dan Luka

20 3 0
                                    

“KEADAAN Callista sekarang sangat kacau. Dia tidak bekerja, tidak mau makan, tidak bisa tidur...” Gumala menatap Raifan sekilas sebelum melanjutkan, “hanya memandangi ponsel mengharap telepon atau kiriman pesan darimu. Kamu membuatnya tersiksa siang malam.”

“Kamu mau bilang kalau Callista jadi seperti itu karena aku?” Raifan melemparkan pertanyaan retoris.

“Kalau bukan karena kamu, memangnya siapa lagi?” Nada suara Gumala kali ini naik beberapa oktaf. “Apa pun masalah di antara kalian, tidak seharusnya kamu mendiamkan Callista seperti itu! Lagi pula Callista hanya membagikan foto kalian di media sosial. Kalau kamu tidak setuju katakan baik-baik. Tidak perlu marah dan mendiamkannya.”

Kini giliran Raifan yang emosi. Pria itu menatap Gumala penuh selidik. “Callista cerita apa saja sama kamu?”

“Dia...”

Sebelum Gumala menyelesaikan kalimatnya, Raifan memotong, “Kamu tahu tidak, apa sebabnya aku marah sama Callista? Bukan soal foto. Aku tidak peduli dia mau menyebarkan fotoku di mana, bersama siapa... Aku sudah sering jadi model katalog untuk baju-baju produksi butik kami sendiri. Tapi yang jadi masalah adalah caption foto itu!

My darling...

Honey

Forever love

 

Callista mengaku-aku kalau aku dan dia berpacaran, padahal di antara kami tidak ada hubungan apa-apa!”

Gumala tersentak mendengar penjelasan Raifan. “Jadi maksudmu... Callista berbohong? Tidak! Tidak mungkin! Aku sudah lama kenal dia, Callista tidak mungkin sekonyol itu!”

“Kukira Callista salah mengartikan sikapku padanya. Sejak mengantarkan gorden Fanny ke rumah, Callista sering mengirim pesan dan meneleponku  membicarakan hal-hal yang sama sekali tidak penting. Dua kali, tiga kali, empat kali, aku masih menanggapi sebagai bentuk kesopanan. Lama-lama menyebalkan juga. Aku bilang sedang sibuk, dia tidak peduli. Mengajakku keluar makan, nonton bioskop, pergi ke mal... Daripada mengganggu terus, kadang kuturuti saja kemauannya. Tapi kejadian di pantai kemarin sungguh kelewatan. Callista menerima panggilan yang ditujukan ke ponselku. Dia memarahi penelepon perempuan, memintanya jangan menggangguku! Padahal perempuan itu adalah pelanggan butik. Ditambah foto-foto yang dia sebarkan di facebook dan instagram membuat banyak orang salah paham... Apa dengan semua kejadian itu aku harus diam saja dan tidak boleh marah?”

Gumala jadi serba salah. Di satu sisi ia tidak ingin membicarakan keburukan-keburukan sahabatnya, di sisi lain ia mulai percaya dengan kata-kata Raifan. Aduh, malu sekali! Gumala menemui Raifan berniat melabraknya, memarahinya, tapi ternyata justru Callista yang lebih pantas dimarahi (itu pun kalau Gumala tega).“Jika yang kamu katakan itu benar... aku... aku sungguh minta maaf sudah berprasangka buruk padamu.”

“Sedekat apa pun kita dengan seorang teman, sebaiknya jangan terlalu percaya seratus persen.”

Gumala tidak terlalu memperhatikan kalimat  dengan nasihat tersirat yang diucapkan Raifan. “Sekarang aku bingung bagaimana harus menghadapi Callista.”

“Dan sekarang aku bingung bagaimana harus menghadapi teman-teman yang sudah telanjur percaya berita tidak benar itu—bahwa aku pacaran dengan Callista,” Raifan tak mau kalah.

SIAPA LEBIH CANTIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang