Mengaku Kalah

43 5 1
                                    

GUMALA mengamati dirinya sendiri di depan cermin. Besar lengan, lingkar pinggang, perut, betis ..., kemudian gadis itu juga meraba kedua pipinya.

Sungguhkah ini aku? Apa benar ini aku?

Masih tidak percaya dengan penglihatannya sendiri, Gumala mengambil sesuatu dari kolong tempat tidur. Timbangan badan. Gadis itu sudah lupa kapan terakhir kali memakainya. Jika dulu hampir setiap hari mengecek berat badan, sejak memulai program diet 3L malah tidak pernah pakai sama sekali—karena takut hasilnya tidak sesuai harapan. Namun sekarang Gumala membutuhkan timbangan ini agar yakin. Ia naik ke atas timbangan sambil memejamkan mata, lalu menghitung sepuluh detik. Perlahan-lahan, dibukanya mata kembali.

Enam puluh.

Lama sekali Gumala mengamati angka di timbangan sampai terbengong-bengong.

“Gumala! Gumala!”

Mendengar suara itu, Gumala bergegas berlari membukakan pintu. Raifan tersenyum lebar sambil mengangkat tinggi sebuah kantong plastik besar di tangan. “Hei, tadi waktu pulang dari toko, di pinggir jalan aku melihat ada orang yang jual buah naga ....”

Kata-kata Raifan disambut oleh kehebohan Gumala. “Aaa ...! Raifan! Ini hebat! Luar biasa! Akhirnya aku berhasil! Enam puluh kilogram untuk orang dengan tinggi badan 168 cm, itu tidak terlalu gemuk, kan?”

“Benarkah?” Raifan menaruh oleh-oleh buah naga di meja ruang tamu. Ia memandang Gumala dari ujung rambut hingga ujung kaki. Pria itu merasa takjub sendiri. Karena setiap hari bertemu Gumala untuk menemaninya joging dan mengantarkan pesanan batik, Raifan pun seperti baru sadar dengan perubahan tubuh Gumala.

Gumala berlari masuk kamar dan kembali lagi dengan membawa timbangan badan. “Coba lihat!” Gumala naik ke atas timbangan dan menunjuk ke angka. “Enam puluh kilogram. Benar, kan?”

Raifan membungkukkan badan, ikut melihat angka timbangan. “Enam puluh setengah.” Setelah itu ia tersenyum dan mengulurkan tangan. “Selamat, Gumala. Kamu berhasil!”

“Enam puluh setengah atau enam puluh, selisihnya sedikit sekali! Tidak ada bedanya!” Gumala tidak hanya meraih tangan kanan Raifan, tapi dua-duanya. Digenggamnya erat-erat, lalu dibawa berputar mengelilingi ruangan. Ia tertawa-tawa dan berseru, “Aku berhasil! Dietku berhasil! Dietku berhasil! Yuhuuu ...!”

Wajah Gumala yang memancarkan cahaya kebahagiaan, dengan mudahnya menular pada Raifan. Pria itu tertawa lebar, ikut berputar keliling ruangan bersama Gumala. Keheranannya bertambah tatkala memandang Gumala dari jarak lebih dekat.

Sejak kapan dia menjadi sangat ..., cantik?

***

Sepeda Gumala meliuk-liuk menerobos kemacetan, menyusup di antara mobil-mobil dan truk, menghalau asap polusi, menyambut angin. Gadis itu heran mendapati dirinya yang sekarang bisa bergerak begitu lincah. Namun ia tidak punya waktu untuk narsis. Ada hal lebih penting yang harus diurus.

Sampai di depan rumah Raifan, Gumala menghentikan sepeda dan menunggu dengan tetap duduk di atas sadel. Ia melihat layar ponsel. Masih jam tujuh, seharusnya Raifan masih di rumah. Semoga saja Fanny tidak melihat Gumala ada di luar pintu pagar rumahnya—agar tidak terjadi keributan lagi. Baru membatin seperti itu, terdengar suara besi beradu—tanda ada seseorang yang akan membuka pagar. Gumala buru-buru memundurkan sepedanya.

Keluarlah seorang pria memakai celana jins hitam dan kemeja batik biru muda cerah lengan pendek. Sebuah tas punggung abu-abu tersampir asal di bahu kirinya.

“Raifan!” Gumala mengayuh maju sepedanya hingga tepat berada di samping pintu pagar.


“Kamu mau ke Java Batik, kan? Kenapa tidak bawa motor atau mobil?”

“Aku sering malas menyetir mobil atau motor sendiri, jadi lebih suka pesan ojol.”

“Oya?” Gumala terheran-heran. “Kalau begitu sekarang kamu membonceng sepedaku saja.”

“Eh ...? Kalau begitu biar aku yang kayuh sepeda, kamu yang bonceng di belakang.” Raifan memegang setang sepeda. Sebagai laki-laki, tentu saja ia merasa aneh kalau harus dibonceng perempuan.

“Tidak usah! Aku yang kayuh sepeda, kamu yang bonceng di belakang!” Gumala bersikeras. Ia sudah lebih dulu naik ke atas sadel.

“Tapi ....” Raifan masih ragu.
“Ayo! Tidak usah khawatir, aku pasti kuat membawamu,” Gumala meyakinkan.

Akhirnya Raifan duduk di boncengan belakang, sedangkan Gumala yang mengemudikan sepeda. Raifan merasa malu, apalagi setelah menyadari banyak orang-orang di jalan yang memperhatikan mereka. “Gumala, orang-orang sedang melihat kita! Ayo, tukar posisi saja! Aku yang di depan bawa sepeda, kamu yang membonceng!”

Gumala tidak peduli. “Memangnya kenapa? Bukankah kamu pernah bilang kalau kita tidak usah peduli dengan tanggapan orang?” Gadis itu semakin kencang mengayuh sepeda. Sampai di jalanan agak sepi, ia malah berakrobat dengan melepas pegangan pada setang. “Kita terbang! Yuhuuu ...! Terbang!”

Raifan terbawa suasana, ikut merentangkan kedua tangan sambil tertawa-tawa. “Terbang! Terbang!”

Gumala dan Raifan merasakan kegembiraan yang bebas, lepas, ringan tanpa beban, seperti anak-anak. Sayangnya, dalam keadaan senang waktu akan terasa lebih cepat berlalu. Tanpa terasa mereka sudah sampai di Java Batik.

Untuk merayakan keberhasilannya diet, hari itu Gumala membantu pekerjaan Raifan di toko. Jika sebelum-sebelumnya Gumala hanya bisa melihat-lihat baju batik dan memesan untuk pelanggan, sekarang ia berani memilih baju batik untuk diri sendiri. Raifan juga memperbolehkan Gumala mencobanya.

Rok terusan selutut lengan pendek warna putih, dengan motif batik bunga-bunga merah kecokelatan tampak menempel manis di tubuh Gumala. Ia membolak-balikkan tubuh di depan cermin dengan senyum lebar. “Kalau tubuhku masih gemuk seperti dulu, aku tidak bisa pakai rok ini. Meskipun belum periksa ke dokter, aku juga merasa lebih sehat.”

Kemudian Gumala berkeliling ke deretan rak aksesoris. Gadis itu mengambil tas, dompet, dan sandal motif batik dengan warna yang dipadankan dengan roknya. “Sebelum diet aku tidak terlalu peduli dengan barang yang dibeli. Semua asal ambil. Tapi sekarang sepertinya jadi suka mencocok-cocokkan aksesoris dengan baju yang dipakai, tas, dan sandal. Memang sudah kodratnya perempuan suka kecantikan, suka berdandan, suka belanja. Cuma kalau terlalu sering dan dompetku ikut diet, kan, malah bahaya.”

Raifan menatap Gumala tak berkedip. Senyum gadis itu tampak sangat menyilaukan, begitu memikat. Gumala seperti terlahir kembali, menjelma menjadi sosok yang baru.

“Aku suka rok ini. Cantik sekali. Tas, dompet, dan sandalnya sekalian juga, ya. Jadi berapa semua?”

Tak ada jawaban.

“Raifan!” Gumala memanggil keras.

Raifan tersentak. “Oh ..., eh ....”

“Kamu melamun, ya? Berapa semua ini?” Gumala mengulangi pertanyaannya.

“Tidak ada harganya.”

“Apa?” Gumala kebingungan.

“Tidak ada harganya. Sudah, kamu pakai saja. Anggap saja semua itu hadiah,” ujar Raifan santai.

Sebenarnya Gumala masih ingin protes, Kamu kan, sudah menghadiahiku sepeda. Masa mau memberi hadiah lagi?

Namun melihat jam dinding bandul kayu di belakang Raifan, gadis itu menutup mulut dengan ekspresi panik. “Ya ampun! Setengah jam lagi aku ada kelas memasak di HCC! Raifan, aku pergi, ya!” Baju, tas, dompet, dan sandal batik yang diambil dari toko langsung dipakai “dinas”. Kebetulan tadi dari rumah Gumala tidak membawa apa-apa kecuali sepeda, baju dan sepatu olahraga, serta uang yang asal diselipkan di saku celana.

Raifan menyusul Gumala yang setengah berlari menuruni tangga teras toko. “Hei, biar aku antar!”

“Antar pakai apa? Kamu, kan, tidak bawa kendaraan?”

“Pakai ini!” Raifan menepuk sadel sepeda yang ia hadiahkan pada Gumala. “Tadi kamu mengantarku ke Java Batik, sekarang giliranku yang mengantarmu ke HCC.”

“Tidak usah! Nanti repot!”

“Tidak repot! Aku antar kamu sampai HCC, setelah itu sepedanya kupinjam sebentar buat jalan-jalan. Kalau kelas masakmu sudah selesai nanti kujemput lagi, kuantar sampai ke rumahmu. Baru setelah itu aku pulang sendiri naik ojol.”

“Baiklah!”

Raifan menurunkan Gumala di halaman HCC. Sebelum masuk, Gumala berkata, “Di kelas memasak kali ini kami akan membuat kari ayam mentega. Aku akan menyiapkan satu porsi untukmu.”

“Wow! Aku sudah pernah beberapa kali makan kari di restoran, tapi aku yakin kari buatanmu pasti lebih enak.”

Dipuji seperti itu, pipi Gumala memerah. “Jangan terlalu yakin. Aku juga baru pertama kali mau mencoba membuatnya. Jadi selain Chef Hilda yang memang harus mencicipi untuk penilaian, kamu akan jadi kelinci percobaan.”

“Jadi kelinci percobaan pun tidak apa-apa, asalkan yang masak kamu!”

Aih ...! Menyebalkan sekali laki-laki ini!

“Sudah, ah! Aku mau masuk! Kalau kelasnya sudah selesai, aku akan telepon. Mungkin cuma satu setengah jam karena aku tidak ikut makan bersama.” Gumala mengambil tas batik dari keranjang sepeda.

“Karena kamu mau makan bersamaku?” Raifan masih saja menggodanya.

“Terserah!”

Saat Gumala masuk ke dalam gedung HCC, perhatian orang-orang langsung tertuju padanya. Kali ini bukan dengan pandangan merendahkan atau menghina, tapi rasa kagum bercampur takjub. Mereka nyaris tidak mengenali Gumala dengan rok terusan batik dengan rambut ikal panjang sebahu yang sebagian diikat ke belakang, sedangkan sebagian lagi dibiarkan terurai. Bahu kirinya menenteng tas batik, sepasang kakinya terkesan lebih panjang dengan sandal berlapis kain batik.

“Itu Gumala?”

“Mana? Ah, bukan! Masa sih, itu Si Gentong?”

“Benar, dia Gembrot!”

“Tapi badannya tidak gembrot lagi, lho. Sudah kurus.”

“Seperti foto model.”

Sekarang mereka membicarakan Gumala tidak dengan suara keras menyindir, tapi hanya berbisik-bisik. Karena sesungguhnya mereka tidak mau mengakui kecantikan Gumala.

Barangkali hanya Chef Hilda yang menunjukkan rasa kagum terang-terangan. “Dietmu rupanya berhasil, Gumala. Kamu tampak lebih muda, segar, dan sehat.”

Gumala tersenyum tulus. “Terima kasih, Chef. Ini berkat dukungan Chef  Hilda juga.”

Callista ikut mengamati sejak tadi. Ketika Gumala datang dibonceng sepeda oleh Raifan, lalu mereka berbincang tanpa melepas senyum dari wajah masing-masing, juga sama-sama memakai baju batik .... Belum pernah dirinya merasa sekesal ini, semarah ini, sebenci ini! Juga sesedih ini, seterpuruk ini!

Buliran bening tanpa sadar menetes di pipi Callista. Gadis itu cepat-cepat menghapusnya, lalu berkata lirih pada diri sendiri, "Baiklah ..., Gumala, aku mengaku kalah .... Kamu memang hebat ...."


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 15, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SIAPA LEBIH CANTIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang